HYPER REGULATION
Kualitas pengelolaan sebuah Negara menggambarkan bagaimana kondisi legislasi di negara tersebut. Kondisi legislasi ini, sangat dipengaruhi oleh politik hukumnya. Politik hukum sendiri seharusnya didesain berdasarkan visi negara. Kekacauan legislasi bisa dilihat dari tidak sinkronnya antar undang-undang, jumlahnya yang banyak tapi tak implementatif, dan lain sebagainya. Secara jujur perlu kita akui bahwa kita mengalami apa yang disebut hyper regulation. Hal ini mengacu pada perbandingan jumlah UU yang dibuat pada orde baru dan era reformasi. Secara keseluruhan, sejak 1945 – 2012 terbentuk sebanyak 1515 UU. Dari jumlah itu, pada era reformasi (1999 – 2012) terbentuk 484 UU atau 37 UU per tahun. Sementara pada 1945 – 2012 hanya terbentuk 1031 UU atau 19 UU per tahun.
Sebenarnya, jumlah UU yang banyak belum tentu disebut hyper, jika memang menjadi kebutuhan hukum, materi muatannya tepat, dan sinkron dengan UU lainnya. Tapi faktanya tak demikian. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, mengajukan empat pertanyaan terkait prolegnas. Pertama, apakah semua judul RUU merupakan permasalahan yang harus diatur dengan UU. Kedua, apakah semua RUU itu telah dikaji dengan melihat pada materi muatan yang akan diatur di dalamnya. Ketiga, dari judul yang ditetapkan telah dilakukan harmonisasi sehingga kelak tidak akan tumpang tindih dengan UU lain. Keempat, apakah judul RUU hanya suatu judul-judulan. Silakan DPR merefleksikan diri.
SILANG SENGKARUT LEGISLASI
Kekacauan regulasi, dalam hal ini UU yang diurut-prioritaskan sedemikian rupa melalui prolegnas, bisa disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama. Paradigma terhadap prolegnas itu sendiri. Prolegnas seharusnya didesain dalam kerangka pencapaian visi bernegara (UUD, TAP MPR, RPJP Nasional, RPJM, RKP dan Renstra DPR). Karena itu, prolegnas harus dikonsultasikan secara sungguh-sungguh ke seluruh stakeholder terkait.
Kedua, saat ini, Badan Legislasi DPR RI sekadar menjalankan fungsi koordinasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 105 ayat (1) huruf b UU MD3. Karena itu, Pasal 162 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, belum bermakna secara kuat. DPR tidak memiliki kewenangan untuk menolak usulan RUU dari internal DPR, Kementerian, dan DPD yang tidak sesuai pada asas-asas pembentukan undang-undang, asas materi muatan, dan asas-asas lainnya. Di bawah ini, kami cantumkan sejumlah RUU yang menurut kami bermasalah.
Ketiga, adanya kesalahan paradigma terhadap Undang-Undang. UU dianggap sebagai solusi semua masalah. Padahal, ada kemungkinan sebuah masalah terjadi karena buruknya implementasi atau pengawasan regulasi. Kuantitas UU dianggap sebagai indikator kesuksesan kinerja DPR. Yang juga parah adalah, UU dianggap faktor penting untuk melahirkan anggaran (rapat, kunjungan kerja, studi banding, dll) bagi anggota DPR.
Keempat, lemahnya transparansi. Lemahnya Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di DPR RI. Hal ini diketahui dari ketersediaan informasi yang ada di situs DPR RI. Baik informasi terkait kelembagaan (DPR, Sekretariat Jenderal, Badan Keahlian Dewan) maupun fungsi DPR RI. Misalnya, informasi terkait proses legislasi. Publikasi Naskah Akademik, Draft UU, Laporan Singkat, dan Risalah Rapat, tidak berjalan dengan baik.
Faktor lainnya adalah terkait sistem kepartaian yang majemuk sehingga berpengaruh pada proses pembahasan sebuah RUU. Semakin banyak partai, semakin banyak pendapat dan kepentingan.
Kami akan menunjukkan sejumlah problem dalam RUU pada prolegnas periode ini. Sebelum itu, mari kita lihat sejumlah pendapat dan kasus terkait problem materi muatan dalam UU yang selama ini dibuat oleh DPR dan pemerintah.
Pertama, Tim Ahli Menteri Negara Lingkungan Hidup, pada Maret 2009, menegaskan ada 12 (dua belas) terkait pengelolaan sumber daya alam yang saling tumpang tindih dan tidak konsisten satu sama lain, yaitu:
- UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
- UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
- UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
- UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- UU No. 27 Tahun 2003 tentang Energi Panas Bumi
- UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
- UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
- UU No. 26 2007 tentang Penataan Ruang
- UU No. 27 Tahun 2007 tentang Penataan Wilayah Pesisir
- UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
Kedua, dalam Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012, disebutkan bahwa selama 2003 – 2012, ada 532 perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari jumlah tersebut, MK telah menyelesaikan 460 perkara. Jumlah penyelesaian ini terdiri dari 414 (90%) putusan dan 46 (10%) ketetapan. Adapun jenis amar putusan adalah: 127 dikabulkan, 154 ditolak, dan 133 perkara tidak dapat diterima. Sementara melalui ketetapan berupa: 45 perkara ditarik kembali dan 1 perkara tidak berwenang.
Ketiga, Dr. Bayu Dwi Anggono, menemukan ada 14 (empat belas) UU dari 200 UU (di luar UU kumulatif terbuka) yang dibentuk pada 1999 – 2012 tidak memenuhi asas materi muatan yang tepat dengan menggunakan pengujian berdasarkan 12 butir materi muatan UU yang merupakan rangkuman pendapat dari para ahli, yaitu: A. Hammid S Attamimi, Soehino, Bagir Manan, Jimly Asshidiqie, dan Arifin P Soeria Atmadja. Analisa ini merupakan bagian dari disertasi di bawah bimbingan Prof. Dr. Maria Farida Indrati (saat ini menjadi hakim konstitusi MK). Empat belas UU itu adalah:
- UU No. 16 Tahun 2004 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
- UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
- UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
- UU No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
- UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan
- UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka
- UU No. 13 Tahun 2010 tentang Holtikultura
- UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
- UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
- UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
- UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
- UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
- UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
Perihal materi muatan, bisa dilihat pada pasal 10 ayat (1) UU 12/2011. Tetapi, secara pribadi penulis membedakannya menjadi dua kategori, yaitu substansi dan dasar pembentukan. Secara substansi, pembentukan UU dibutuhkan untuk mengatur: hak azasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara (Pasal 8 UU 10/2004) dan perjanjian internasional. Sementara secara proses (dasar pembentukannya), bisa jadi karena pengaturan lebih lanjut UUD, perintah UU, tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi atau pemenuhan kebutuhan hukum.
Adapun terkait prolegnas 2014-2019, penulis mencatat sejumlah RUU yang bermasalah.
Pertama, ada sejumlah RUU, yang secara materi muatan, tidak tepat dan/atau tidak perlu diatur dengan UU. Antara lain:
- RUU Wawasan Nusantara
- RUU Kebudayaan
- RUU Bahasa dan Kesenian Daerah
- RUU Perekonomian Nasional
- RUU Kewirausahaan Nasional
- RUU Ekonomi Kreatif
- RUU tentang Sistem Perbukuan
- RUU Sanitasi
- RUU Ketahanan Keluarga
- RUU Peningkatan PAD
- RUU Partisipasi Masyarakat
- RUU Praktik Pekerjaan Sosial
- RUU Penyelenggaraan Pemerintahan di Wilayah Kepulauan
- RUU Rahasia Negara
- RUU Perkelapasawitan
- RUU Larangan Minuman Beralkohol
- RUU Penilai
- RUU tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah
Sebagai contoh, kami cantumkan beberapa alasan lebih lanjut. Antara lain:
RUU Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara merupakan norma dasar. Karena itu, sebelumnya diatur dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973, TAP MPR No. IV/MPR/1978, TAP MPR No. II/MPR/1983. Bukan dengan UU. Wawasan Nusantara juga merupakan asas yang harus ada pada setiap UU, sebagaimana disebutkan padal pasal 6 UU ayat (1) huruf e dan huruf f UU PPP.
RUU Kewirausahaan Nasional
Materi ini tidak perlu diatur dengan UU karena materi muatannya sudah tersebar di UU lain, yaitu:
- UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah,
- UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan,
- PP No. 41 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda, Serta Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan,
- PP No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Pasal 8),
- PP No. 60 Tahun 2013 tentang Susunan, Organisasi Personalia dan Mekanisme Kerja Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda (LPKP)
- Perpres No. 27 Tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha
Gugus Tugas Kewirausahaan Nasional tidak dibutuhkan karena fungsinya dapat dijalankan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
RUU Perkelapasawitan
RUU ini berpotensi melanggar asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan UU harus memberi pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Pada April 2016, Presiden Jokowi menyatakan akan menerbitkan moratorium sawit. Namun hingga kini, aturan tersebut belum terbit. Hal ini respon atas kebakaran hutan di 6 provinsi tahun 2015 yang disebabkan ulah 439 perusahaan dimana 308 diantaranya adalah perusahaan sawit (Walhi, 2015). Dampaknya, 24 orang meninggal, lebih dari 600 ribu orang menderita ISPA, 60 juta orang terpapar asap. (BNPB, 2015)
RUU Minuman Beralkohol
Problem utamanya adalah tidak jalannya implementasi atas regulasi yang ada. Hal-hal terkait Minuman beralkohol diatur dalam sejumlah regulasi. Antara lain:
- UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
- UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan,
- UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian,
- UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
- dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Permendag No. 6/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Perizinan Minuman Beralkohol.
- Perpres No. 74/2013 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Problemnya adalah implementasi dan pengawasan terhada regulasi tersebut, bukan dengan membuat UU.
Jika diteliti lebih lanjut, maka jumlah di atas lebih banyak lagi. Dalam pasal 10 ayat (1) huruf e UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa salah satu materi yang harus diatur dengan UU adalah pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Ini bukan “pasal karet”, tetapi panduan untuk memastikan bahwa UU yang akan dibentuk benar-benar dibutuhkan. Karena itu, perlu dipastikan tiga hal, yaitu:
Kelayakan materi muatan UU. Apakah layak diatur sebagai sebuah masalah (clearly problem statement) dan apakah secara hierarkis tepat diatur dengan UU atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Kebutuhan akan UU baru. Apakah materi muatan RUU tersebut benar-benar belum diatur dengan/dalam UU lain (termasuk sanksi pidananya).
Alternatif peraturan perundang-undangan lain. Apakah materi muatan RUU tersebut benar-benar tidak dapat diatur dengan peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah
Dengan demikian, tidak seluruh persoalan perlu diselesaikan dengan UU sehingga jumlah RUU dalam setiap prolegnas jangka menengah menjadi sedemikian banyak. Faktor selanjutnya adalah urgensi dari UU tersebut. Hal ini penting untuk memetakan pada tahun keberapa RUU tersebut harus dibahas.
Kedua, ada sejumlah RUU yang secara substansi potensial disatukan dalam sebuah UU. Antara lain:
- RUU tentang Perubahan atas UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan RUU tentang Perubahan atas UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
- RUU tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, RUU tentang Pengawasan Ketenagakerjaan, RUU tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan RUU tentang Sistem Pengupahan.
- RUU tentang Keamanan Nasional, RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan Negara, dan RUU tentang Keamanan Laut.
- RUU tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia dan RUU tentang Zona Tambahan Indonesia.
- RUU tentang Sistem Transportasi Nasional dan RUU tentang Jalan.
- RUU tentang Perubahan atas UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU tentang Perubahan atas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan RUU tentang Perlindungan Umat Beragama.
- RUU tentang Pemindahan Narapidana Antarnegara dan RUU tentang Ekstradisi (mengganti UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi).
- RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, RUU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya, dan RUU tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik.
- RUU tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan RUU tentang Geologi.
- RUU tentang Pengembangan Pembangunan Daerah Kepulauan, RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RUU Tentang Pengelolaan Kawasan Perbatasan Negara, dan RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
- RUU tentang Perubahan atas UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan RUU Kebidanan.
- RUU tentang Praktik Kefarmasian dan RUU tentang Pembinaan, Pengembangan dan Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
- RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
- RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, dan RUU tentang Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal.
- RUU tentang Pertanahan, RUU tentang Sistem Penyelesaian Konflik Agraria, dan RUU tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
- RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, RUU tentang Sistem Pelaporan, Pendaftaran, Pemeriksaaan dan Penentuan Status Hukum Gratifikasi dan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
- RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPD dan RUU tentang Etika Penyelenggara Negara / RUU tentang Etika Lembaga Perwakilan.
- RUU tentang Pengelolaan Ibadah Haji dan Penyelenggaraan Umrah dan RUU tentang Tabungan Haji
- RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
- RUU tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, RUU tentang Penghinaan Dalam Persidangan (Contempt of Court), RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
- RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah
Ketiga, DPR perlu serius memperhatikan konsep solusi (problem solving) yang dituangkan dalam sebuah RUU.
Hal ini penting mengingat jumlah UU di era reformasi yang masuk sebagai RUU Perubahan pada periode 2014-2019 ini cukup tinggi.
Jika UU yang dihasilkan DPR periode ini, tidak serius memperhatikan hal tersebut, tidak tertutup kemungkinan UU yang dihasilkan akan segera masuk dalam daftar RUU Perubahan pada periode berikutnya. Salah satu cara mengatasinya dengan audiensi secara maksimal pada para ahli terkait substansi masalah dan para pihak yang terdampak dalam RUU tersebut, serta dengan keterbukaan informasi. Di sinilah salah satu problem DPR.
Rekomendasi
- Peningkatan pemahaman Anggota DPR RI terhadap Undang-Undang dan Program Legislasi Nasional
- Program legislasi nasional hendak benar-benar disinergiskan dengan Rencana pembangunan jangka panjang nasional; Rencana pembangunan jangka menengah; Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR.
- Penguatan kapasitas dan kewenangan Badan Legislasi DPR RI, sebagai pihak yang bertanggung jawab pada pembentukan UU bukan sekadar fungsi koordinasi, sehingga memiliki kewenangan untuk menyatakan menolak sebuah RUU yang tidak memenuhi kelayakan secara formil dan materil.
- Penguatan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengusulan legislasi di pemerintah.
- Penguatan kapasitas Panitia Perancang UU di DPD RI sehingga RUU yang diusulkan sesuai dengan fungsi lembaga dan memenuhi kelayakan sebagai materi muatan UU.
- Sinergisitas antara tenaga Ahli di DPR RI dalam proses legislasi (BKD, Baleg, Fraksi, dan Komisi)
- Penguatan struktur pengelola informasi publik DPR RI untuk menjalankan keterbukaan DPR RI
- Pembenahan sistem kepartaian melalui RUU Pemilu untuk menghasilkan DPR yang lebih efektif dalam menjalankan fungsinya.