I. SISTEM PEMILU


IPC memandang bahwa pilihan terhadap sistem pemilu idealnya selaras dengan dua tujuan lain yang hendak dicapai dari misi IPC yaitu penguatan partai politik dan penguatan parlemen. Makna penguatan di sini adalah adanya kejelasan ideologi, visi, misi, values, dan posisi partai, serta berjalannya fungsi partai secara efektif dalam hal kaderisasi, rekrutmen, agregasi, scrunity, representasi, dan advokasi.

Dalam kajian IPC, sistem pemilu yang relevan untuk mencapai tujuan di atas adalah sistem proporsional daftar tertutup. Tantangannya adalah adanya pembenahan di internal partai itu sendiri, mencakup kejelasan proses pengambilan keputusan, termasuk dalam rekrutmen kandidat, sistem monitoring dan evaluasi anggota, kaderisasi, dan transparansi, dan demokratisasi internal partai.


II. PENGHITUNGAN ALOKASI KURSI PEMILU 2014


Penghitungan perolehan suara untuk dikonvesi menjadi perolehan kursi saat ini belum banyak dipahami oleh sejumlah pihak. Baik penyelenggara pemilu di tingkat daerah (Komisi Pemilihan Umum Daerah), pengawas pemilu (Badan Pengawas Pemilu), perserta pemilu (Partai Politik), pemutus sengketa pemilu (Mahkamah Konstitusi), pemantau pemilu, media dan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, perlu ada media komunikasi untuk meningkatkan pengetahuan stakeholders pemilu mengenai tata cara penghitungan kursi. Karena, akurasi dalam penghitungan kursi akan mempengaruhi tingkat keterwakilan di satu daerah pemilihan oleh partai politik. Disamping itu pengetahuan yang cukup mengenai penghitungan kursi bagi peserta pemilu juga bisa mengurangi konflik perolehan kursi.


Lalu apa dampaknya terhadap kinerja parlemen. Pengetahuan mengenai cara menghitung kursi dengan cara yang benar bisa dijadikan alat verifikasi bagi peserta pemilu dan stakeholder lainnya. Sehingga kontrol terhadap pelaksana pemilu juga semakin tinggi. Diharapkan dengan demikian akan mengurangi kecurangan. Dampaknya integritas pemilu 2014 akan lebih baik. Pemilu yang berintegritas akan menghasilkan parlemen yang berintegritas juga.


Atas dukungan IFES, IPC melaksanakan allocation seat program dengan tujuan untuk mencapai:

  1. Adanya informasi mengenai cara penghitungan kursi pemilihan umum legislative 2014 beserta dampak yang ditimbulkan dari penghitungan kursi tersebut kepada para stakeholders pemilu (KPU, Bawaslu, Partai Politik, Mahkamah Konstitusi, media dan masyarakat sipil).
  2. Meningkatnya kapasitas pengetahuan stakeholders pemilu mengenai penghitungan alokasi kursi sehingga mereka mampu menghitung dengan benar dan mengantisipasi masalah yang ditimbulkan oleh adanya kesalahan dan cara dalam penghitungan kursi pemilihan umum legislative 2014.

Untuk mencapai tujuan di atas, hingga kini IPC mengembangkan berbagai produk komunikasi. Diantaranya adalah modul tata cara penghitungan perolehan suara menjadi perolehan kursi, video tutorial, website aplikasi, buku dan leaflet.


III. KETERBUKAAN PEMILU 2014


Informasi yang cepat dan akurat dalam pemilu 2014 merupakan salah satu unsur penting dalam mendorong kredibiltas dan integritas pemilu. Informasi secara substansial akan memberikan dorongan bagi pemilih untuk turut berpartisipasi karena dengan informasi tersebut pemilih dapat menentukan calon mana yang dinilia akan mampu mewakilinya di parlemen. Secara prosedural, keterbukaan juga akan mampu memperkuat kedaulatan suara hingga tingkat pengitungan kursi. Pada akhirnya, keterbukaan merupakan salah satu unsur penting bagi terwujudnya pemilu yang berintegritas. Pemilu yang berintegritas akan menghasilkan parlemen yang berintegritas juga.


Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Meski KPU sudah memiliki PKPU nomor 23 Tahun 2010 mengenai Pedoman Pelayanan Informasi Publik dan SOP Pelayanan Informasi. Akan tetapi pada kenyataannya, KPU belum siap saat diminta informasi oleh peminta informasi dari masyarakat. Kondisi ini tentu perlu pehatian dari masyarakat sipil untuk mendorong mekanisme pelayanan informasi yang lebih baik di KPU dan KPUD.


Dengan dukungan The Asia Foundation, IPC mendorong keterbukaan informasi publik dengan tujuan untuk mencapai:

  1. Adanya pembelajaran untuk perbaikan mekanisme pelayanan, pengelolaan, klasifikasi dan infrastruktur keterbukaan informasi di KPU/KPUD sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008. Outcome ini dihadirkan karena wilayah advokasi yang diselenggarakan di tingkat KPUD, sementara kewenangan membuat aturan-aturan pemilu berada di KPU Pusat. Dengan adanya hasil ini diharapkan pembelajaran-pembelajaran untuk perbaikan mekanisme keterbukaan informasi di KPU/D dapat dijadikan pijakan oleh KPU pusat dan DPR dalam menyusun kebijakan di masa yang akan datang. Adapun pembelajaran yang dimaksud adalah merekam dan mencatat praktek-praktek yang selama ini dilaksanakan dan hasil uji coba usulan perbaikan kebijakan keterbukaan informasi di KPU oleh masyarakat sipil.
  2. Peningkatan pemahaman dan kemampuan jaringan masyarakat sipil dalam menggunakan UU No. 14 Tahun 2008 untuk kegiatan pemantauan dan pendidikan pemilih dalam pemilu. Yang dimaksud dengan peningkatan dan kemampuan dalam konteks program ini adalah bahwa isu-isu keterbukaan informasi publik dijadikan sebagai paradigma dan strategi aksi dalam kegiatan-kegiatan pemantauan  dan pendidikan pemilih oleh jaringan masyarakat sipil pemantau pemilu dan pendidikan pemilih.

IV. PANDUAN PILKADA UNTUK MASYARAKAT ADAT


Pada tahun 2018, Indonesia akan mengadakan pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) secara serentak di 171 provinsi, kabupaten, dan kota. Kita semua berharap ajang ini dapat menjadi sarana Masyarakat Adat untuk memperjuangkan terpilihnya Kepala Daerah yang merepresentasikan identitas dan kepentingan Masyarakat Adat.


Mengapa IPC menjadikan Masyarakat Adat sebagai salah satu fokus studi dan advokasi? Karena kami melihat, Masyarakat Adat sebagai sebuah komunitas dengan jumlah yang besar dan berbagai karakteristik khasnya, tidak terwakili dengan baik di eksekutif dan legislatif. Salah satu tantangan yang harus dijawab adalah membangun kapasitas Masyarakat Adat sendiri agar peduli, berani, dan terampil memperjuangkan representasinya, salah satunya Kepala Daerah.


Kepala Daerah sangat menentukan lahirnya produk hukum daerah, baik berupa perda maupun peraturan Kepala Daerah sebagai dasar untuk mendapatkan penetapan dan pengukuhan keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat.Misalnya, untuk mendapatkan pengakuan atas tanah dan hutan adat. (sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; Permen LHK No. 32/2015 tentang Hutan Hak; serta Permen ATR/BPN No. 10 Tahun 2016). Jumlah produk hukum daerah tentang Masyarakat Adat yang telah ditetapkan sebanyak 216. Dari data tersebut, 77 diantaranya ditetapkan Pasca Putusan MK No. 35 tahun 2012 dan 32 daerah lainnya sedang berproses.


Akibat tidak adanya produk hukum daerah sebagai dasar pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, maka lahirlah sejumlah kebijakan yang mencerabut hak-hak Masyarakat Adat, menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat, dan pengabaian hak-hak dasar, seperti pelayanan publik.


Untuk mendapatkan pengakuan, penghormatan, dan pemenuhan (pelayanan) hak-hak Masyarakat Adat dari Negara dalam bentuk produk hukum daerah serta menyelesaikan konflik-konflik dan kriminalisasi yang terjadi pada Masyarakat Adat, maka Masyarakat Adat perlu mengupayakan adanya Kepala Daerah yang memiliki keberpihakan pada Masyarakat Adat. Karena itulah, dibutuhkan partisipasi dalam pilkada.


V. PENULISAN BUKU PANDUAN BAGI RELAWAN PEDULI PEMILU KPU


“Buku Manual Bagi Relawan Peduli Pemilu dan Demokrasi ” dibuat sebagai bagian dalam menguatkan pembelajaran partisipasi pemilih dalam pemilu. Dalam buku akan dibedah makna relawan, komunitas, dan partisipasi, partisipasi, peluang partisipasi masyarakat, menyusun agenda partisipasi, mengkomunikasikan agenda tersebut secara efektif di komunitas, hingga merencanakan dan mempersiapkan kegiatan, serta monitoring dan evaluasi.  Buku “Manual Bagi Relawan Peduli Pemilu dan Demokrasi” ini didesain untuk jaringan Relawan demokrasi yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Relawan tersebut direkrut sebagai bagian dari komunitas, baik komunitas pemuda, mahasiswa, kelompok disabilitas, dan komunitas lain yang peduli terhadap pemilu yang lebih berintegritas.


VI. PENULISAN BUKU PEMILU UNTUK PEMULA


Pemilih pemula merupakan pemilih yang baru pertama kali melakukan pemilihan pada Pemilu atau Pilkada. Pada umumnya, pemilih pemula identik dengan dua kondisi saja yaitu pemilih pemula karena faktor usia dan pensiunan TNI/Polri. Namun sebenarnya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi mengapa seseorang menjadi pemilih pemula.


FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI SESEORANG MENJADI PEMILIH PEMULA


Buku ini akan difokuskan pada pemilih pemula karena faktor usia (untuk selanjutnya disebut pemilih pemula). Pemilih pemula karena faktor usia pada Pemilu 2019 ini, memerlukan perhatian khusus. Mereka adalah anak-anak muda yang hidup dalam kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan generasi sebelumnya karena teknologi informasi yang semakin pesat, luas, dan terjangkau. Sejak balita bahkan batita, sebagian mereka telah menjadi pengguna dari berbagai perangkat teknologi. Kondisi ini membentuk karakteristik tersendiri yang berbeda dari generasi sebelumnya. Karena itu, perlu perlakuan khusus untuk mereka.

NO

FAKTOR

KETERANGAN

1

Usia

Yang bersangkutan telah berusia 17 tahun atau lebih

2

Pernikahan

Yang bersangkutan telah menikah, meskipun usia belum mencapai 17 tahun

3

Berakhirnya Status TNI/Polri

Yang bersangkutan telah pensiun, mundur, diberhentikan dari TNI/Polri

4

Kecakapan hukum

Yang bersangkutan baru memiliki kecakapan hukum untuk ikut melakukan pemilihan. Misalnya, baru sembuh dari kondisi kejiwaan yang tidak memungkinkan untuk memilih

5

Administrasi

Yang bersangkutan baru memenuhi persyaratan admnistrasi sebagai Warga Negara Indonesia, meskipun telah lama berusia 17 tahun

6

Hak Politik

Yang bersangkutan baru mendapatkan pemulihan hak politik setelah sebelumnya dinyatakan dicabut oleh pengadilan

7

Pilihan sadar

Yang bersangkutan baru memiliki keinginan untuk mengikuti Pemilu atau Pilkada meskipun sebelumnya telah memenuhi syarat untuk menjadi pemilih.


Lalu seberapa besar jumlah pemilih pemula dari sisi usia ini? Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencatat, ada 5.035.887 pemilih pemula atau warga negara yang berusia 17 tahun pada rentang waktu tanggal 1 Januari 2019 hingga 17 April 2019 nanti. Namun, jika ukurannya adalah mereka yang baru memilih pada Pemilu 2019 mendatang (tidak termasuk Pilkada), maka sebenarnya pemilih pemula adalah mereka yang berada pada usia 17 sampai dengan 22 tahun pada 17 April 2019. Mereka yang berusia 17 tahun pada 17 April 2019, masih berusia 16 tahun pada Pemilu sebelumnya, yaitu 9 April 2014 (kurang 7 hari menuju 17 tahun), sehingga belum bisa menjadi pemilih pada saat itu.


PEMILIH PEMULA BERDASARKAN USIA


NO

TAHUN

USIA

1

2014 (Pemilu, 9 April 2014)             

12

13

14

15

16

17

2

2015

13

14

15

16

17

18

3

2016

14

15

16

17

18

19

4

2017

15

16

17

18

19

20

5

2018

16

17

18

19

20

21

6

2019 (Pemilu, 17 April 2019)

17

18

19

20

21

22


Ini menunjukkan bahwa sebenarnya jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2019 cukup besar. Bukan hanya mereka yang berusia 17 tahun pada 17 April 2019, tapi juga mereka yang berusia 18, 19, 20, 21, dan 22 tahun pada tanggal tersebut.

Untuk mendesain sosialisasi Pemilu yang tepat, baik metode, pendekatan, maupun substansi bagi pemilih pemula, penyelenggara perlu memahami pandangan, karakter, dan kebutuhan pemilih pemula. Untuk itu, kita dapat menggunakan teori, riset, dan kajian psikologi terkait mereka yang berada pada rentang usia tersebut.

Dalam Teori Generasi (Generation Theory), Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004), menyebutkan bahwa rentang usia 17 sampai dengan 22 tahun ini, masuk pada kategori generasi Z. Berikut klasifikasi lengkap generasi menurut Generation Theory


TEORI GENERASI


NO

GENERASI

TAHUN LAHIR

USIA PADA TAHUN 2019

1

Generasi Baby Boomer

1946 – 1964

55 – 73 Tahun

2

Generasi X

1965 – 1980

39 – 54 Tahun

3

Generasi Y (Millenial)

1981 – 1994

25 – 38 Tahun

4

Generasi Z (GenerasiNet)

1995 – 2010

09 – 24 Tahun

5

Generasi Alpha

2011 – 2025

00 – 08 Tahun


Seperti disampaikan, mengacu pada Teori Generasi di atas, maka pemilih pemula adalah mereka yang lahir antara tahun 1995 – 2010 atau yang disebut dengan generasi Z, iGeneration, generasi net atau generasi internet. Sebagian generasi Z ini telah mengikuti Pemilu pada tahun 2014 (mereka yang berusia 23 dan 24 tahun).

Karena keunikan karakter ini, berbagai lembaga riset melakukan penelitian terhadap mereka, mulai untuk dunia pemasaran, karir bisnis, hingga politik.  Buku ini mengambil pembelajaran dari sejumlah riset tersebut untuk diterapkan dalam sosialisasi Pemilu untuk pemilih pemula.