Rumah Aspirasi yang Tak Aspiratif

Oleh: Ahmad Hanafi

DPR kembali berulah. Kemarahan publik terhadap BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) yang mengusulkan dana aspirasi dan dana desa tampaknya tak membuat mereka bergeming. Seolah kemarahan publik dianggap tantangan untuk membuat usulan baru, rumah aspirasi. Sepertinya usulan tersebut manis. Tapi sejatinya ganjil.

Kebereadaan rumah aspirasi sepertinya menjamin semua aspirasi masyarakat dapat terserap dengan baik dan semua masalah selesai seketika. Masyarakat seolah menjadi perhatian utama bagi anggota dewan. DPR ingin menunjukkan bahwa aspirasi masyarakat adalah hal prioritas. Benarkah demikian?

Reses, dana tunjangan aspirasi dan studi banding ke luar negeri yang selama ini dipergunakan anggota dewan saja tidak jelas pertanggungjawabannya. Apa hasil penggunaan uang tersebut. Jika DPR meminta dana tambahan dari APBN sebesar Rp. 200 juta setiap tahun untuk rumah aspirasi, publik tentu berhak mempetanyakan kelayakannya.

BURT DPR tak perlu mengusulkan anggaran baru. Dengan kondisi yang sudah ada, rumah aspirasi bisa terwujud. Budiman Sujatmiko, Aria Bima dan Mahfudz Shiddiq contohnya. Untuk itu, DPR cukup menempuh dua langkah. Pertama, mendesain ulang dana tunjangan aspirasi dan dana reses  sebesar Rp 217,68 juta setiap tahun per orang plus dana studi banding ke luar negeri. Kedua, memanfaatkan infrastruktur partai politik di tingkat daerah.

Langkah pertama, rumah aspirasi cukup menggunakan dana ketiga item anggaran dan mereduksinya dalam satu mekanisme rumah aspirasi. Keberadaan rumah aspirasi dapat menjembatani persoalan jarak dan waktu yang tidak bisa diselesaikan dengan mekanisme reses. Masa reses, dengan demikian tak relevan lagi. Anggota DPR cukup datang secara terjadwal sesuai kebutuhan masyarakat daerah pemilihan di luar jadwal sidang dengan menggunakan tunjangan penyerapan aspirasi.

Pelembagaan rumah aspirasi akan semakin kuat jika diiringi dengan pembentukan mekanisme bagi masyarakat utuk memastikan bahwa aspirasi mereka sampai dalam struktur kebijakan. Karena, selama ini DPR belum memiliki mekanisme tersebut.

Langkah berikutnya adalah memanfaatkan infrastruktur partai politik. Selama ini, jika anggota DPR melakukan kunjungan ke daerah, tempat pertama yang dituju adalah kantor cabang partai di tingkat Kabupaten/Kota. Idealnya, partai politik sudah menyerap aspirasi masyarakat. Saat anggota DPR datang hasil penyerapan aspirasi sudah disiapkan oleh partai politik.

Tapi, kebanyakan anggota DPR berkunjung ke kantor cabang partai politik untuk meminta stempel laporan guna mengambil dana reses. Sebaliknya, kebanyakan pengurus partai menerima “bantuan dana” dari sebagian dana reses untuk keberlangsungan hidup partai.

Kondisi demikian tentu berdampak pada pola relasi yang tidak sehat antara partai dan anggota dewan. Relasi yang seharusnya mengarah pada pendidikan konstituen partai politik agar mereka mengerti kinerja anggota dewan berubah menjadi relasi semata “materi”.

Sementara konstituen kurang tersentuh secara langsung oleh anggota karena perjalanannya sudah terhenti di tingkat sebagian pengurus partai politik. Kalaupun ada, bentuknya berupa bantuan-bantuan sementara dan pertemuan-pertemuan untuk memenuhi formalitas laporan. Padahal, keluh kesah dan persoalan yang sedang dihadapi konstituen itulah aspirasi sesungguhnya.

Fraksi sebagai perpanjangan partai belum mampu mengefektifkan pengelolaan aspirasi yang muncul dari masyarakat. Aspirasi yang telah dihimpun tak mampu mengalir ke atas secara linear hingga ke proses kebijakan. Kewenangan fraksi terlampau besar sehingga mereduksi suara anggota.

Jika anggota DPR mau lebih kreatif, akumulasi penyerapan aspirasi tersebut dapat diintegrasikan dengan dana-dana penyerapan aspirasi dari anggota dewan sesama partai di tingkat Provinsi dan atau Kabupaten. Partai politik dengan demikian mempunyai sumber dana yang cukup untuk melaksanakan fungsi pendidikan politik. Sedang anggota dewan mendapat dukungan yang cukup dari partai untuk memperkuat fungsi representasinya.

Untuk itu, ungkapan Pius Lustrilanang bahwa usulan rumah aspirasi merupakan hasil dari studi banding ke Jerman dan Prancis tampaknya perlu dipertanyakan. Nyatanya, tidak lebih dari dua bulan pulang studi banding muncul usulan tersebut. Artinya, BURT DPR hanya copy-paste tanpa melakukan kajian mendalam agar dapat diaplikasikan. Apakah alasan-alasan yang sifatnya emosional dapat dijadikan dasar membuat kebijakan? []

*Penulis adalah peneliti IPC, warga Piramida Circle Jakarta

Share your thoughts