“Refleksi Hari Kartini, Sejauh Mana Jaminan Kesejahteraan Perempuan Dalam Rancangan Legislasi?”
Opini ini dibuat Oleh : Chorissatun Nikmah
Koordinator Divisi Reformasi Parlemen Indonesian Parliamentary Center
Perihal Kartini
Selamat hari kartini, tiap tanggap 21 April diperingati sebagai harinya perempuan Indonesia. Yaps, hari lahirnya R.A. Kartini ini seringkali menjadi momen refleksi sejauh mana pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia. Kartini, diabadikan sebagai pahlawan Indonesia sebagai promotor emansipasi perempuan di bidang pendidikan. Pada waktu itu Kartini memperjuangkan kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan-perempuan di wilayahnya.
Kesetaraan akses pendidikan kini telah dirasakan perempuan Indonesia, namun tentu masih banyak bidang-bidang lain yang perlu diperhatikan untuk menjamin kesejateraan bagi perempuan Indonesia. Misalnya, di bidang politik, ekonomi, dan perlindungan sosial. Tahun ini, Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum serentak, yang salah satunya adalah pemilihan legislatif.
Di bidang politik, terdapat terobosan affirmative action bagi perempuan dalam pencalonan legislatif. Inovasi ini dijamin secara hukum dengan tujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di bidang politik. Sejak kebijakan ini diterapkan, fakta keterpilihan memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan keterwakilan perempuan di DPR dari tahun ke tahun.
Peningkatan keterwakilan perempuan.
Faktanya, Jumlah anggota DPR RI perempuan cenderung meningkat sejak affirmative action diterapkan sebgaai sebuah strategi untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik. DPR RI pada periode 1999-2004 memiliki 8,8% anggota DPR perempuan. Di pemiliu berikutnya, persentase perempuan di DPR semakin bertambah, yaitu sebanyak 11,8% perempuan terpilih pada periode 2004-2009. Sementara DPR RI periode 2009-2014 ke periode 2014-2019 mengalami penurunan persentase yang tipis, yaitu 17,8% menjadi 17,32%. Angka tersebut kemudian mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada periode 2019-2014 dimana 20,8% perempuan terpilih dan menjadi bagian dari 575 anggota DPR.
Peningkatan representasi perempuan secara kuantitatif di bidang politik diharapkan memunculkan kebijakan-kebijakan yang memperjuangkan kesejahteraan bagi perempuan. Jika merujuk pada pendapat Anne phillips, diutarakan bahwa peningkatan tersebut merupakan upaya menyelaraskan deskriptive representation untuk menghadirkan substantive representation. Sayangnya, tidak semua peningkatan keterwakilan deskriptif (standing for) menjadi jaminan munculnya keterwakilan substantive atau acting for (Ani Widyani Soetjipto, 2023).
Sejumlah kajian yang mendalami tentang deskriptif dan substantif represetation perempuan di parlemen berbagai negara, mempertanyakan hal yang sama, yaitu apakah peningkatan jumlah anggota parlemen perempuan berdampak positif terhadap legislasi yang berprespektif gender atau tidak. Di Rwanda misalnya, peningkatan representasi perempuan yang mencapai 48.75% tenyata berdampak pada isu-isu perempuan menjadi lebih diutamakan dalam fokus legislasi. Ini berbeda dengan penelitian serupa yang dilakukan di Parlemen Kamerun. Penelitian tersebut, berusaha untuk menganalisis hubungan antara anggota parlemen perempuan dan pengaruhnya terhadap decision making proces di parlemen. Hasilnya, peningkatan representasi perempuan tidak berpengaruh signifikan terhadap substantive representation dalam isu-isu perempuan. Lalu bagaimana dengan Parlemen Indonesia?
Nasib rancangan legislasi tentang perempuan di Indonesia
Kinerja perempuan di parlemen Indonesia cenderung tidak terlihat. DPR RI periode 2014-2019 memiliki 97 perempuan terpilih dan menduduki kursi di parlemen, akan tetapi pengesahan RUU yang isu nya fokus terhadap perempuan malah mengalami kendala. Salah satu penyebabnya adalah peran anggota DPR perempuan tidak kelihatan. Hal ini juga terjadi pada DPR RI periode 2019-2024 yang belum menyelesaikan sejumlah RUU yang berdampak langsung terhadap perempuan. Ani Soetjipto mengartikan keadaan ini dengan kesimpulan bahwa keterwakilan 20,8% perempuan di DPR saat ini belum mampu melahirnya undang-undang yang berkaitan dengan isu kelompok perempuan.
Mari kita lihat bagaimana nasib rancangan legislasi yang mengandung kepentingan perempuan pada prolegnas long list DPR periode 2019-2024. Setidaknya terdapat, tujuh rancangan legislasi yang berdampak langsung terhadap perempuan. Misalnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (disahkan menjadi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual), RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Ketahanan Keluarga, RUU Kesetaraan Gender, RUU Hukum Materiil Perkawinan, dan RUU Pengasuhan Anak.Sayangnya, baru satu RUU yang berhasil disahkan pada periode ini, yaitu UU TPKS. Sementara nasib RUU lainnya, tak kunjung dibahas dan diselesaikan.
Salah satu hal yang dapat diapresiasi dalam kinerja legislasi DPR periode ini adalah UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Kekerasan Seksual (TPKS). Meskipun sebenarnya, pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang, bukanlah perjalanan singkat. Perlu waktu lebih dari 16 tahun bagi DPR memerlukan waktu untuk mengesahkan RUU ini. Namun, disisi lain sejumlah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan gender equity selalu mengalami kemandegan, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah 20 tahun dan tak kunjung diselesaikan.
Rancangan undang-undang yang memiliki dampak secara langsung terhadap kesejahteraan perempuan, memiliki nasib yang berbeda-beda. RUU PPRT tak kunjung dibahas lagi sejak disetujui menjadi RUU inisiatif DPR pada awal 2023. Meskipun RUU ini rajin masuk prolegnas prioritas, namun progres perkembangannya stagnan hingga saat ini. Berbeda dengan PPRT, RUU kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) dapat sedikit bernafas lega karena Komisi VIII DPR RI dan Pemerintah telah menyetujui agar RUU KIA dapat diproses lebih lanjut dalam pengambilan keputusan di tingkat II rapat Paripurna DPR RI (25/4). Artinya, RUU KIA akan segera disahkan menjadi undang-undang. Sementara itu nasib tragis dialami oleh RUU Ketahanan Keluarga dan RUU kesetaraan gender yang belum pernah tersentuh pembahasannya.
Berdasarkan fakta diatas, menghadirkan jaminan kesejahteraan perempuan melalui pengesahan rancangan undang-undang ternyata tidak berjalan mulus. Perlu waktu yang lama hingga tak tersentuh sama sekali menjadi kemungkinan-kemungkinan yang paling sering dialami oleh RUU yang berdampak langsung pada perempuan. Pembahasan RUU di parlemen hakikatnya memang pergulatan berbagai ideologi dan kepentingan antar anggota dan fraksi di dalamnya. Dengan demikian, keadaan ini dapat memvalidasi pernyataan Ani Soetjipto, bahwa peningkatan deskriptive representation, yaitu jumlah DPR perempuan yang bertambah dapat menjamin munculnya substantive representation.
Satu hal positif yang dapat diambil adalah walaupun perlu waktu yang lama untuk mengesahkan RUU yang berdampak terhadap perempuan, namun perjuangannya seakan pelan tapi pasti. Seakan terseok tetapi tetap berjalan sebab sebagian besar RUU tersebut membutuhkan desakan publik agar menjadi atensi parlemen. Sehingga, perjalan RUU-RUU tersebut selaras dengan upaya pendidikan, kampanye, dan advokasi isu-isu yang berkaitan. Semoga saja perkiraan peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI berdasarkan hasil pemilu 2024, yaitu akan ada 127 orang atau 21,9% perempuan terpilih di DPR RI dapat membawa semangat baru untuk jaminan kesejahteraan perempuan yang lebih subtantif.