Minimnya Transparansi dan Aksesbilitas Risalah Masih Menjadi Permasalahan DPR
Pewarta: Dwi Kurnia
Editor: Arbain & Bagus Pradana Subroto
Jakarta, ipc.co.id – Sepanjang 2017-2021, ada 4.198 permintaan informasi terhadap risalah rapat DPR. Besarnya angka tersebut, kemungkinan dipicu karena publikasi risalah di laman DPR yang sangat minim. Sebagai contoh, dari 402 rapat pembentukan undang-undang selama 2022, hanya ada 33 risalah yang diumumkan atau 0,08 persen. Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan Indonesian Parliamentary Center (IPC) di Hotel Sofyan, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (23/2).
Kinerja publikasi risalah di tingkat komisi juga memprihatinkan. Bahkan, menurut Pemantau Legislasi IPC, Putra Satria, selama 2022, ada dua Komisi yang tidak pernah mempublikasikan risalah, yaitu Komisi VIII dan Komisi IX. Komisi yang paling banyak mempublikasikan risalah adalah Komisi V (44 risalah), kemudian Komisi VII (31 risalah). Angka ini menurut Satria, masih jauh dari jumlah rapat yang sesungguhnya.
Peneliti IPC, Saufa A. Taqiya menegaskan risalah DPR merupakan dokumen yang wajib diumumkan, sebagai penerapan prinsip asas keterbukaan dalam pembentukan undang-undang. Selain itu, publikasi risalah juga diatur lebih lanjut di Pasal 302 ayat (2) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. “Di aturan itu disebutkan, risalah rapat yang bersifat terbuka diumumkan melalui media elektronik dan dapat diakses oleh masyarakat. Jadi, kalau DPR tidak mengumumkan risalah berarti DPR melanggar undang-undang dan tatib mereka sendiri,” ujar Saufa.
(Hasil Penelitian IPC, Jumlah Risalah yang Dipublikasikan per Komisi DPR RI)
Sebenarnya DPR memiliki beberapa sistem aplikasi penyimpanan dan penyedia informasi publik seperti Sistem Informasi Risalah (SIRIH), Sistem Informasi Legislasi (SILEG) DPR, dan SIAr.
Indah Kurniasari, Staf Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) DPR menjelaskan, klasifikasi penyimpanan risalah dibagi menjadi dua, yaitu active dan inactive. Penyimpanan active yaitu risalah rapat yang sedang berlangsung dan bisa diakses di laman SILEG. Sedangkan penyimpanan inactive, adalah risalah rapat yang sudah dibahas ada di SIAr dan jumlahnya sekitar 5.000-an pada 2022.
Banyaknya laman dan aplikasi penyedia informasi publik yang dimiliki DPR justru menyebabkan dokumen terpencar-pencar. Minimnya sosialisasi untuk layanan aplikasi tersebut pada masyarakat juga membuat capaian aksesibilitas informasi publik di DPR rendah.
“Website Risalah DPR bisa dibuat lebih friendly untuk masyarakat. Ada SIAr dan SILEG, namun banyak yang tidak tahu. Rakyat juga harus tahu apa yang dibahas oleh DPR dan DPRD, agar masyarakat bisa memastikan bahwa apa yang dibahas oleh DPR bukan sesuatu yang bercanda saja, tapi ada realisasinya,” ujar Yusila Fatmawati, ASA Indonesia.
Tidak hanya itu, Indah Kurniasari juga menjelaskan permasalahan dalam mempublikasikan risalah terdapat pada proses transkip yang membutuhkan waktu lama karena kekurangan anggota staff, penataan folder risalah di website yang masih kurang strategis dan birokrasi yang rumit.
Beberapa permasalahan di atas menjadi bukti masih minimnya aksesibilitas masyarakat untuk mendapatkan informasi risalah, sehingga DPR masih memiliki tugas yang belum selesai seperti, pengembangan sistem informasi melalui satu data, pengelolaan media sosial DPR sebagai wadah edukasi informasi, meningkatkan kapasitas dan kapabalitas sumber daya manusia, serta pembaharuan regulasi agar masyarakat dapat mengakses dan mendapatkan informasi dengan mudah.
Diskusi ini dihadiri oleh Perisalah Legislatif Ahli Muda DPR, PPID DPR, dan beberapa perwakilan masyarakat sipil diantaranya, Komisi Pemantau Legislatif (KOPEL), Indonesia Budget Center (IBC), Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ASA Indonesia, Open Parliament Indonesia (OPI), Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
CP: Choris Satun Nikmah: 089647883761