Ambang Batas Parlemen DPRD
Oleh: Erik Kurniawan
Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara uji materi Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu). Dalam putusan No. 52/PUU-X/2012, MK membatalkan kententuan pasal 208 sepanjang frasa “DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dengan demikian pemberlakukan ambang batas parlemen secara nasional tidak konstitusional.
Sebelumnya, pasal 208 UU Pemilu mengatur pemberlakuan ambang batas 3,5 secara nasioanal. Artinya, untuk diikutkan dalam penghitungan baik di DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, partai harus memperoleh minimal 3,5 suara nasional. Ketentuan inilah yang kemudian digugat oleh 17 Partai politik non parlemen dan Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Amankan Pemilu 2014.
Para pemohon mendalilkan dalam permohonanya bahwa pemberlakuan ambang batas secara nasional bertentang dengan prinsip pemilu yang jujur dan adil seperti diatur dalam UUD 1945. Tidak hanya itu, pemberlakuan ambang batas juga dianggap memberangus aspirasi lokal, merusak keaslian suara dan mencederai kedaulatan rakyat. Bahkan Didik Supriyanto, salah satu ahli yang dihadirkan dalam persidangan menyatakan pemberlakuan ambang batas nasional merupakan kejahatan politik.
Apa yang menjadi keptusan MK memang patut mendapatkan apresiasi. Selama ini, MK cukup konsisten menjaga prinsip-prinsip demokrasi. Dalam pertimbangan hukum, MK menyebutkan bahwa pemberlakuan ambang batas berdasarkan pasal 208 dan penjelasannya bertujuan untuk penyederhaan partai politik. Akan tetapi, tidak mengakomodasi semangat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman.
Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi di tingkat daerah. Karena secara empirik, ada kemungkinan partai politik tidak memenuhi ambang batas 3,5% ditingkat nasional. Akan tetapi, memperoleh suara yang signifikan auatu bahkan menang mutlak baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Berdasarkan data perolehan suara partai politik Pemilu legislatif 2009 untuk DPRD Provinsi, memperlihatkan jika ketentuan pasal 208 diberlakukan akan berdampak pada sedikitnya delapan partai politik yang perolehan suaranya sama dengan atau di atas angka 3,5 persen. Delapan partai tersebut tersebar pada 16 Provinsi dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia. Pada titik inilah, pemberlakuan ambang batas secara nasional berdasarkan Pasal 208 dianggap memberangus aspirasi lokal, merusak keaslian suara dan mencederai kedaulatan rakyat.
Penerapan ambang batas secara nasional memang melanggar Prinsip pemilu yang demokratis. Akan tetapi, penerapan ambang batas untuk wilayah propinsi atau kabupaten/Kota sah-sah saja untuk menyederhanakan partai dan membentuk pemerintahan yang efektif.
Hasil Pemilu 2009 menunjukkan jumlah dan tingkat penyebaran partai politik di DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota sangat tinggi. Jika ambang batas 2,5% diterapkan, hanya mampu menyeleksi rata-rata 10 partai saja di DPRD provinsi dan 10 – 13 partai di DPRD Kab/kota di 30 provinsi (August Mellaz, 2011). Penerapan ambang batas sebesar 2,5% ternyata belum mampu menyederhanakan jumlah partai di parlemen. Pertanyaan berapakah idealnya jika penerapan ambang batas diterapkan di tingkat DPRD Propinsi dan kabupaten/Kota?
Tidak mudah memastikan berapa ambang batas optimal. Sebab hampir semua negara mebagi wilayahnya dalam banyak daerah pemilihan termasuk indonesia yang membagi dalam 77 dapil. Michael Gallagher dan Paul Mitchel menilai dari sekian banyak formula ambang batas yang dirumuskan ahli pemilu, Formula yang dibuat Rein Taagapera merupakan formula ambang batas yang paling optimal. Formula Taagapera beranjak dari tiga variabel kunci; rata-rata besaran daerah pemilihan, jumlah kursi parlemen, dan jumlah daerah pemilihan.
Didik Supriyanto dan August Mellaz dalam buku Ambang Batas Perwakilan menjelaskan berapa besaran ideal penerapan ambang batas di DPRD. Berdasarkan formula Taagapera, dari 10 Propinsi dan 10 Kabupaten/Kota yang disimulasikan, formula ambang batas optimal untuk DPRD Propinsi yaitu 2,84%. Dan ambang batas optimal untuk tingkat Kabupaten/Kota sebesar 3,14%. Atas dasar ini dan urgensi penyederhanaan partai di tingkat DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota maka penerapan ambang batas secara berjenang pada masing-masing tingkatan bisa dilakukan.
Berdasarkan kenyataan diatas, jelas urgensi penyederhanaan partai di tingkat DPRD, bahkan lebih besar dibanding DPR RI. Bisa dibayangkan, dengan banyaknya partai di DPRD bisa dipastikan pemerintahan di daerah akan berjalan tidak efektif. Mengingat sistem pemerintahan yang dianut menghendaki adanya kolaborasi antara eksekutif dan legislatif. Kepala Daerah akan disibukan untuk melakukan ‘negoisasi’ dengan banyak partai yang ada di DPRD untuk memuluskan kebijakanya. Pada akhirnya rakyat yang menjadi korban dengan mandeknya pemerintahan.
Penulis adalah peneliti Indonesian Parliamentary Center