DPD Perlu Berkaca

Oleh: Mimiyanti Yayubangkai

Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) sempat menjadi pusat perhatian publik. Irman Gusman, ketua DPR, tertangkap tangan oleh KPK atas kasus penyuapan oleh CV Sementa Berjaya untuk distribusi gula impor pada Sabtu (17/9/2016). KPK menyebut Irman Gusman memperdagangkan pengaruh sebagai ketua DPD untuk memperoleh imbalan berupa uang.

Berkali-kali kita mendengar DPD menuntut kewenangan yang setara dengan DPR. Namun, kasus di atas menunjukkan bahwa meskipun dengan kewenangan terbatas,  posisi ketua DPD bisa dijadikan alat bergaining dan lobbying, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan konstituen. Sebagaimana ketua DPR, ketua DPD juga tak kalah strategis.

Dalam kasus ini Irman Gusman, sebagai ketua DPD memberi rekomendasi kepada CV Semesta Berjaya agar CV tersebut memperoleh kuota gula impor. Irman mengklaim bahwa setelah turun surat rekomendasi itu, distribusi gula di Sumatera Barat meningkat sebanyak 1000 ton sehingga harga gula turun. Namun, di sisi yang lain, surat rekomendasi itu harus dibayar dengan OTT KPK.

Kasus seperti Irman Gusman ini bisa jadi merupakan pola baru DPD menyiasati kewenangan yang terbatas dalam kerangka memenuhi tuntutan konstituen. Kegigihan ini patut diapresiasi. Namun, yang perlu juga disadari, bahwa cara ini rawan untuk diselewengkan. Mengingat transparansi dan akuntabilitas lembaga perwakilan kita masih rendah. DPD sendiri tampaknya belum siap menghadapi problem yang muncul dari pola ini.

Tertangkapnya Irman Gusman  berimbas terhadap dinamika politik internal DPD. Muncul pro dan kontra terkait pemberhentian Irman Gusman sebagai ketua DPD RI. Dalam waktu singkat, DPD RI terbagi dalam dua kubu, yakni kubu yang merekomendasikan pemberhentian Irman Gusman segera dilakukan dan kubu yang ingin menunggu keputusan hukum hasil praperadilan yang diajukan Irman Gusman.

Rupanya mekanisme pengambilan kebijakan di DPD tidak bisa seluwes di DPR. Dulu, ketika kasus serupa menyasar Ketua DPR, Setyo Novanto, dalam kasus #papamintasaham Fraksi Golkar turun tangan untuk mengganti Setyo Novanto dengan Ade Komarudin. Cepat dan tidak terkesan berlarut-larut karena semua kepentingan dan  pengambilan kebijakan dikanalisasi di dalam fraksi. DPD belum bisa begitu, karena tata tertib mereka belum mengatur bagaimana membangun kanalisasi pengambilan kebijakan.

Dinamika politik internal DPD semakin terancam bertambah berlarut-larut karena aturan dan mekanisme pemberhentian dan pergantian Ketua DPD tidak  diatur secara tegas dan jelas. bahkan muncul tuntutan dari Irman Gusman yang menganggap pemberhentiannya tidak sesuai mekanisme dan melanggar aturan hukum.

Kondisi dinamika politik internal DPR memperburuk citra mereka sendiri. Ini akan  berimbas pada upaya DPD dalam menguatkan kewenangannya. Jika wajah yang ditunjukkan DPD tidak ada perbaikan, maka akan muncul sebuah pertanyaan “Perlukah amandemen konstitusi untuk penguatan DPD?”

DPD RI nampaknya harus mengevaluasi banyak hal dan mengambil pelajaran dari kasus suap Irman Gusman sebelum beranjak untuk melanjutkan upaya penguatan kewenangan lembaga. Beberapa hal  yang perlu menjadi perhatian besar para anggota seperti tidak menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi, mengutamakan kinerja dan tujuan lembaga sehingga tidak terjadi perpecahan internal yang tidak perlu dalam menghadapi keputusan dimasa depan, serta mengkaji dan membahas kembali aturan maupun mekanisme pengambilan keputusan sehingga lebih jelas dan tegas. Ketika secara internal lembaga DPD RI sudah memiliki posisi yang kuat, maka untuk penguatan kewenangan juga akan lebih mudah diwujudkan. []

Share your thoughts