Mempertegas Peran DPD dalam Legislasi

Oleh: Sulastio

Pada penghujung akhir masa jabatan DPR RI biasanya dan sudah terjadi pada periode sebelumnya pembahasan dan penyusunan RUU akan meningkat hal ini dikarenakan karena beberapa alat kelengkapan di DPR dan juga Kementerian berlomba – lomba menuntaskan RUU yang belum selesai baik karna diajukan baru maupun sisa dari tahun sebelumnya, Hal ini justru berbanding terbalik dengan focus dan tingkat kehadiran anggota yang justru menurun yang antara lain disebabkan oleh focus perhatian yang mulai bergeser ke persiapan Pemilu Presidean (Pilpres) atau sebab lain.

DPR RI tentu saja tidak ingin terus menerus dikritik oleh public akibat gagal memenuhi target Prolegnas yang untuk tahun 2013 dipatok 70 RUU yang terdori dari : 27 usul Pemerintah dan 43 inisiatif DPR.

Penafsiran baru yang dibuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya No. 92/PUU-X/2012 terhadap beberapa pasal dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan telah memperjelas peran DPD dalam perencanaan dan pembahasan undang – undang.

Putusan tersebut seharusnya menjadi langkah awal bagi DPD untuk kemudian menyusun kerangka kerja advokasi agar putusan tersebut dapat benar – benar diaplikasikan. Kerangka kerja tersebut dapat diawali dengan melakukan analisis terhadap berbagai peraturan perundangan – undangan yang mengatur legislasi di negeri ini selain UU No. 12 Tahun 2011 dan UU No. 27 Tahun 2009, Peraturan Tata Tertib (tatib) DPR RI  dan tatib DPD sendiri.

Dalam perencanaan undang undang usul DPD penting untuk dirumuskan siapa yang memiliki hak mengusulkan apakah perseorangan anggota, alat kelengkapan atau apa ?  Bagaimana mekanisme DPD memberikan penjelasan serta pandangan dan lainnya.

Saat ini penyusunan perencanaan legislasi dan pembahasan undang – undang antara DPR dan Presiden (yang diwakili Pemerintah) diatur dalam tatib DPR sehingga hal yang pertama yang harus didiskusikan antara DPD dan DPR bagaimana merevisi tatib DPR dan memasukkan rumusan yang tercantum dalam Putusan MK kedalam Tatib tersebut. Selain itu momen pembahasan revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang saat ini sudah masuk dalam tahap pembahasan di tingkat Panitia Khusus (Pansus).

Guna mengawali rencana tersebut ada baiknya Pimpinan DPD membangun  komunikasi dengan Pimpinan DPR dan juga Pemerintah termasuk Presiden, masih belum jelasnya sikap DPR dalam menyikapi putusan MK tersebut hingga saat ini menunjukkan masih adanya komunikasi yang terhambat. Komunikasi yang terhambat tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa hal antara lain : pola komunikasi yang kurang tepat atau kurangnya melibatkan partisipasi public dalam hal ini, rasanya DPD perlu melihat kembali mereka mewakili siapa sehingga sangat tepat jika DPD juga kembali mengajak dukungan public dan stakeholders mereka dari daerah. Dalam kontek legislasi DPD juga dapat menjalin kerjasama dengan DPRD untuk saling mendukung dalam revisi UU MD 3 karena beberapa DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga masih mengalami kendala dalam Prolegda maupun inisiatif Perda baru.

Mulai dilibatkannya DPD dalam beberapa pembahasan seperti yang disampaikan pihak DPR ketika RDPU dengan Koalisi NGO harus diperkuat dengan aturan yang memadai dalam revisi UU MPR, DPR dan DPR dan Peraturan Tata Tertib DPR.

Putusan MK di satu sisi memang memberi harapan namun di sisi lain juga menimbulkan pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan agar putusan tersebut dapat segera diimplementasikan karna hingga saat ini pembahasan UU menggunakan mekanisme dan tata cara yang diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR sehingga tatib ini pulalah yang juga diprioritaskan untuk direvisi, revisi tatib DPR diatur dengan Pasal 310 dan 311 Bab XXIV.

Karena MK juga memberikan kewenangan kepada DPD untuk ikut menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dimana akan ada sejumlah Rancangan Undang Undang (RUU) yang diajukan maka DPD juga harus memiliki mekanisme dan tata cara penyusunannya dan ditempatkan dalam Tatib DPD karena bila merujuk ke Tatib DPD tahun 2010 yang sekarang masih berlaku belum secara rinci mengatur hal tersebut ini justru berbanding terbalik dengan DPR yang secara rinci mengatur tata cara, mekanisme serta alur perencanaan, pembahasan dan penetapan UU di tatibnya. Selain itu seperti apa dampak atas ditolaknya suatu RUU oleh DPD yang berasal dari Presiden dan DPR.

Idealnya antara DPR, DPD dan Presiden sebaiknya memiliki tata cara, mekanisme serta alur perencanaan dan pembahasan yang diatur secara bersama dan terpisah dari Tatib DPR hal ini diperlukan karena setelah amandemen UUD 1945, sudah tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara sehingga seluruh lembaga negara berdiri sejajar dalam peran dan kewenangannya masing – masing dan saling melakukan control terhadap yang lain (check and balances), sehingga sudah sepatutnya jika kewenangan yang dijalankan secara bersama diatur dalam aturan yang juga disepakati bersama.

Share your thoughts