Evaluasi Prolegnas 2015-2019

Oleh: Arbain

CATATAN PROLEGNAS JANGKA MENENGAH (2015-2019)

1. Penetapan Target Kurang Terencana Dengan Baik

Dari target program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah periode 2014-2019 sebanyak 183 RUU[2], DPR RI telah menyelesaikan 14 RUU (Di luar RUU kumulatif terbuka), sampai dengan 2016. Mengacu pada jumlah tersebut, artinya ada 169 RUU yang perlu diselesaikan dari 2017 hingga 2019 mendatang.

Sementara, masa efektif untuk legislasi selama 2017-2019 hanya 152 hari. Seperti diketahui, DPR RI telah menetapkan 2 hari legislasi dalam satu pekan. Artinya, dalam 1 bulan ada 8 hari legislasi. Masa bhakti DPR periode ini, tersisa Januari 2017 sampai dengan September 2019. Tahun 2017 dan 2018, ada lima kali reses (1 kali reses = 1 bulan), sedangkan pada 2019 kemungkinan hanya 4 kali reses.[3]

Bagaimana menyelesaikan 169 RUU dalam 152 hari? Berkaca pada kemampuan legislasi pada periode sebelumnya, maka kemungkinan besar target prolegnas periode 2014-2019 ini, tidak tercapai. Ini menunjukkan bahwa prolegnas jangka menengah ini, kurang matang, terpadu, dan sistematis.

2. Relevansi dan Urgensi Sejumlah RUU Perlu Ditinjau Ulang

Selain cukup ambisius menetapkan target, sejumlah RUU pada prolegnas 2014-2019, juga perlu ditinjau ulang dalam hal relevansi (kelayakan sebagai materi muatan UU), urgensi (kebutuhan hukum), dan kematangan konsepsi.  Terkait hal tersebut, kami mencatat beberapa hal penting. Pertama, ada sejumlah RUU, yang secara materi muatan, kurang tepat dan/atau tidak perlu diatur dengan UU. Antara lain:

  • RUU Wawasan Nusantara
  • RUU Kebudayaan
  • RUU Bahasa dan Kesenian Daerah
  • RUU Perekonomian Nasional
  • RUU Kewirausahaan Nasional
  • RUU Ekonomi Kreatif
  • RUU tentang Sistem Perbukuan
  • RUU Sanitasi
  • RUU Ketahanan Keluarga
  • RUU Peningkatan PAD
  • RUU Partisipasi Masyarakat
  • RUU Praktik Pekerjaan Sosial
  • RUU Penyelenggaraan Pemerintahan di Wilayah Kepulauan
  • RUU Rahasia Negara
  • RUU Perkelapasawitan
  • RUU Larangan Minuman Beralkohol
  • RUU Penilai
  • RUU tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah

 

Dalam pasal 10 ayat (1) huruf e UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa salah satu materi yang harus diatur dengan UU adalah pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Pasal ini merupakan panduan untuk memastikan bahwa UU yang akan dibentuk benar-benar dibutuhkan. Karena itu, perlu dipastikan tiga hal, yaitu:

1.      Kelayakan materi muatan UU

Apakah layak diatur sebagai sebuah masalah (clearly problem statement) dan apakah secara hierarkis tepat diatur dengan UU atau peraturan perundang-undangan lainnya.

2.      Kebutuhan akan UU baru

Apakah materi muatan RUU tersebut benar-benar belum diatur dengan/dalam UU lain (termasuk sanksi pidananya).

3.      Alternatif peraturan perundang-undangan lain

Apakah materi muatan RUU tersebut benar-benar tidak dapat diatur dengan peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah

Dengan demikian, tidak seluruh persoalan perlu diselesaikan dengan UU sehingga jumlah RUU dalam setiap prolegnas jangka menengah menjadi sedemikian banyak. Faktor selanjutnya adalah urgensi dari UU tersebut. Hal ini penting untuk memetakan pada tahun ke berapa RUU tersebut harus dibahas. Kedua, ada sejumlah RUU yang secara substansi potensial disatukan dalam sebuah UU. Antara lain:

  • RUU tentang Perubahan atas UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan RUU tentang Perubahan atas UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
  • RUU tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, RUU tentang Pengawasan Ketenagakerjaan, RUU tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan RUU tentang Sistem Pengupahan.
  • RUU tentang Keamanan Nasional, RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan Negara, dan RUU tentang Keamanan Laut.
  • RUU tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia dan RUU tentang Zona Tambahan Indonesia.
  • RUU tentang Sistem Transportasi Nasional dan RUU tentang Jalan.
  • RUU tentang Perubahan atas UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU tentang Perubahan atas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan RUU tentang Perlindungan Umat Beragama.
  • RUU tentang Pemindahan Narapidana Antarnegara dan RUU tentang Ekstradisi (mengganti UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi).
  • RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, RUU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya, dan RUU tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik.
  • RUU tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan RUU tentang Geologi.
  • RUU tentang Pengembangan Pembangunan Daerah Kepulauan, RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RUU Tentang Pengelolaan Kawasan Perbatasan Negara, dan RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
  • RUU tentang Perubahan atas UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan RUU Kebidanan.
  • RUU tentang Praktik Kefarmasian dan RUU tentang Pembinaan, Pengembangan dan Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
  • RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  • RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, dan RUU tentang Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal.
  • RUU tentang Pertanahan, RUU tentang Sistem Penyelesaian Konflik Agraria, dan RUU tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
  • RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, RUU tentang Sistem Pelaporan, Pendaftaran, Pemeriksaaan dan Penentuan Status Hukum Gratifikasi dan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
  • RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPD dan RUU tentang Etika Penyelenggara Negara / RUU tentang Etika Lembaga Perwakilan.
  • RUU tentang Pengelolaan Ibadah Haji dan Penyelenggaraan Umrah dan RUU tentang Tabungan Haji
  • RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
  • RUU tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, RUU tentang Penghinaan Dalam Persidangan (Contempt of Court), RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
  • RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah

 

Ketiga, DPR perlu serius memperhatikan konsep solusi (problem solving) yang dituangkan dalam sebuah RUU. Hal ini penting mengingat jumlah UU di era reformasi yang masuk sebagai RUU Perubahan pada periode 2014-2019 ini cukup tinggi.

img7

Jika UU yang dihasilkan DPR periode ini, tidak serius memperhatikan hal tersebut, tidak tertutup kemungkinan UU yang dihasilkan akan segera masuk dalam daftar RUU Perubahan pada periode berikutnya. Salah satu cara mengatasinya dengan membuka ruang partisipasi secara maksimal pada para ahli terkait substansi masalah dan para pihak yang terdampak dalam RUU tersebut, serta dengan keterbukaan informasi. Di sinilah salah satu problem DPR.

CATATAN PROLEGNAS PRIORITAS TAHUNUNAN 2016

1. Capaian Rendah

Penetapan prolegnas jangka menengah yang kurang terencana dengan baik, berimbas pada prolegnas tahunan. Pada tahun 2016, DPR menetapkan 51 RUU dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahunan. Hasilnya, DPR mengesahkan 10 RUU prolegnas prioritas tahunan. Selain itu, ada 11 RUU yang merupakan kumulatif terbuka dan satu RUU yang telah diselesaikan tahun 2015, namun pengundangannya dilakukan pada tahun 2016. Dengan demikian, total RUU yang disahkan pada tahun 2016 berjumlah 22 RUU.

 

Daftar Capaian RUU Berdasarkan Jenis

  No                     Jenis RUU

Jumlah

Disahkan

Belum Disahkan

   1 RUU Prolegnas Prioritas Tahunan

51

10

41

   2 RUU Kumulatif Terbuka

11

11

0

   3 RUU yang telah diselesaikan tahun 2015 namun pengundangannya di tahun 2016

1

1

0

 Total

63

22

41

Daftar RUU Prolegnas Prioritas Tahunan 2016

No

Pengusul (Inisiator)

Jumlah

Disahkan

Belum Disahkan

1

DPR

30

5

25

2

Pemerintah

17

5

12

3

DPD

1

0

1

4

DPR dan Pemerintah

2

0

2

5

DPR dan DPD

1

0

1

Total

51

10

41

Dilihat dari jumlah RUU yang diajukan, DPR berkontribusi dalam rendahnya angka pencapaian tersebut.

2. Efektivitas Implementasi UU

Pembentukan Aturan Turunan

Dalam penjelasan Pasal 5 huruf d UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis (asas dapat dilaksanakan). Banyaknya aturan turunan dan pembentukan lembaga baru, berpotensi mempengaruhi efektivitas implementasi UU.

Dari 21 RUU yang disahkan tahun 2016, ada 168 aturan turunan yang diamanatkan untuk dibentuk, yaitu:

  1. 68 Peraturan Pemerintah (PP)
  2. 17 Peraturan Presiden (Perpres)
  3. 65 Peraturan Menteri (Permen)
  4. 18 Peraturan Lembaga lain

 

Sebenarnya, ada beberapa aturan turunan yang dapat diterbitkan dalam satu regulasi. Misalnya, di UU Jasa Konstruksi, ada sejumlah PP tentang penyedia jasa konstruksi asing yang dapat disatukan. Hal yang sama pernah dilakukan pada UU Pelayanan Publik. Meski diamanatkan untuk membentuk sebanyak 5 PP, namun pemerintah menggabungnya menjadi 1 PP.

Pembentukan Lembaga Baru

Selain banyaknya aturan turunan, 21 RUU yang disahkan tersebut juga mengamanatkan pembentukan 9 kelembagaan negara dengan berbagai tingkatan, yaitu:

  1. Badan Pengelola Tabungan Perumahan
  2. Komisi Nasional Disabilitas
  3. Komite Stabilitas Sistem Keuangan
  4. Komite Banding Paten
  5. Komite Banding Merek
  6. Komite Bersama Indonesia-Jerman
  7. Komite Bersama Indonesia-Vietnam
  8. Lembaga yang mewadahi partisipasi masyarakat dalam jasa konstruksi
  9. Badan Sertifikasi Jasa Konstruksi

 

Banyaknya aturan turunan dan pembentukan lembaga baru berpotensi mempengaruhi efektivitas dari segi pencapaian tujuan (doeltreffendheid), pelaksanaan (uitvoerbaarheid), dan penegakan hukumnya (hanndhaafbaarheid). Karena itu, DPR perlu mengawasi hal ini secara serius.

3. Ketertutupan Proses Pembahasan

Dalam Pasal 88 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 disebutkan, “Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan RUU, pembahasan RUU, hingga Pengundangan UU. Ayat (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.

Untuk itu, ada sejumlah informasi publik yang seharusnya disebarluaskan oleh DPR. Diantaranya adalah Naskah Akademik dan Draft (Rancangan) UU. Dari 51 RUU yang masuk dalam daftar prolegnas prioritas tahun 2016, DPR hanya mengumumkan 18 dokumen Naskah Akademik (35 %) dan 19 dokumen Rancangan Undang-Undang (37 %) di situs DPR RI. Selain itu, DPR juga perlu mengumumkan dokumen lainnya seperti laporan singkat, risalah rapat, aspirasi publik, daftar isian masalah, dan lain-lain.

Bagaimana transparansi pembahasan 10 RUU prolegnas prioritas yang disahkan tahun 2016 lalu? Berikut hasilnya.

 

UNDANG-UNDANG

INFORMASI

NA

RUU

RISALAH

LAPSING

ASPIRSI

DIM

PENDAPAT AKHIR PEMERINTAH

Tapera

1

1

X

5

X

X

x

Petani Nelayan

1

1

X

1

X

X

x

Jasa Konstruksi

1

1

X

5

X

X

x

Disabilitas

1

1

X

2

X

X

x

Sistem Keuangan

1

1

X

X

X

X

1

Pilkada

1

1

X

1

X

X

X

Pengampuan Pajak

1

X

X

2

X

X

X

Paten

X

1

3

10

5

X

X

ITE

X

X

X

X

X

X

X

Merek

X

1

8

9

X

X

X

Keterangan:

  1. Ada 2 UU yang tidak disertai dengan pengumuman NA dan Draft UU.
  2. Ada 1 UU yang disertai dengan pengumuman aspirasi publik, yaitu UU Paten.
  3. Ada 8 UU yang disertai dengan pengumuman laporan singkat rapat dan hanya ada 2 UU yang disertai dengan pengumuman risalah rapat.[4]
  4. tidak ada UU yang disertai dengan pengumuman DIM
  5. Hanya ada 1 UU yang disertai dengan pengumuman Pendapat Akhir Pemerintah, yaitu UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

 

Hasil di atas menunjukkan tiga hal. Pertama, komitmen DPR pada transparansi legislasi masih rendah. Padahal, selain hak publik, transparansi juga dibutuhkan untuk menghasilkan UU yang berkualitas.  Kedua, menajemen pengelolaan informasi di DPR tidak terkelola dengan baik. Ketiga, belum ada kesadaran DPR terhadap implementasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU ini, tidak hanya mengamanatkan keterbukaan Badan Publik tetapi juga aksesibilitas, validitas informasi, ketepatan waktu, sarana, dan bahasa yang mudah dipahami. Sementara DPR, masih belum memenuhi hal mendasar; keterbukaan.

Di Komisi pun demikian, tingkat kepatuhan untuk mempublikasikan risalah rapat, sangat rendah.

Komisi

Perihal Rapat

Total

Legislasi

Anggaran

Pengawasan

Aspirasi

I

21

1

7

0

29

II

3

3

7

1

14

III

8

1

12

3

24

IV

0

0

0

0

0

V

14

1

0

0

15

VI

0

0

0

0

0

VII

0

2

8

0

10

VIII

0

22

15

1

38

IX

0

13

24

0

37

X

0

0

0

0

0

XI

16

0

0

0

16

Tabel ini menunjukkan transparansi DPR dalam pembahasan legislasi (dan dokumen lainnya) sangat rendah.  Ada 6 komisi yang sama sekali tidak mengumumkan dokumen rapat legislasi. Komisi yang mengumumkan dokumen pun, secara jumlah, jauh dari angka sebenarnya. Bahkan tidak mencapai 50 %.[5]

 CATATAN PROLEGNAS PRIORITAS TAHUNAN 2017

 Pada tahun 2017, DPR menetapkan 49 RUU prolegnas prioritas tahunan. Kami mengklasifikasi RUU berdasarkan beberapa kategori.

1. Jumlah RUU Berdasarkan Pihak Pengusul

No

Pengusul/Inisiatif

Jumlah

Persentase

1

DPR

31

63 %

2

Pemerintah

15

15 %

3

DPD

3

3 %

 

2. Jumlah RUU Berdasarkan Tahun Pembentukan 

Tahun Pembahasan

DPR

Pemerintah

DPD

Total

Persentase

2015, 2016, 2017

18 RUU

5 RUU

1 RUU

24

49 %

2015, 2017

1 RUU

1

2 %

2016, 2017

8 RUU

6 RUU

1 RUU

15

31 %

2017

4 RUU

4 RUU

1 RUU

9

18 %

 

3. Jumlah RUU Berdasarkan Alat Kelengkapan Dewan

Dari data ini, beban per-AKD sebagai berikut:

AKD

RUU

Internal Komisi

RUU Bersama

Komisi lain

Total

Komisi 1

3

1

4

Komisi 2

4

5

9

Komisi 3

7

2

8

Komisi 4

3

2

5

Komisi 5

1

0

1

Komisi 6

3

1

4

Komisi 7

3

0

3

Komisi 8

4

3

7

Komisi 9

3

2

5

Komisi 10

2

0

2

Komisi 11

7

3

10

Badan Legislasi

1

0

1

 

4. Jumlah RUU Berdasarkan Ketaatan Pada Penyebarluasan NA dan Draft UU

Dokumen

18 RUU

(37 %)

28 RUU

(57 %)

2 RUU

(4 %)

1 RUU

(2 %)

Naskah Akademik

Naskah RUU

Keterangan:

  1. Ada 18 RUU yang disertai dengan publikasi Naskah Akademik dan Naskah RUU
  2. Ada 28 RUU yang tidak disertai dengan publikasi Naskah Akademik dan Naskah RUU

 

5. Jumlah RUU Berdasarkan Ketaatan Pada Penyebarluasan Laporan Singkat (Lapsing)

 Kami hanya mengidentifikasi 40 RUU luncuran dari periode sebelumnya sebab RUU tersebut pasti telah dibahas. Hasilnya sebagai berikut:

 

No

Jumlah Laporan Singkat yang Dipublikasikan

Jumlah RUU Yang Mempublikasikan

1

0 Dokumen

22 RUU

2

1 Dokumen

1 RUU

3

2 Dokumen

4 RUU

4

3 Dokumen

3 RUU

5

4 Dokumen

3 RUU

6

5 Dokumen

1 RUU

7

6 Dokumen

2 RUU

8

7 Dokumen

0 RUU

9

8 Dokumen

2 RUU

10

9 Dokumen

0 RUU

11

10 Dokumen

0 RUU

12

11 Dokumen

1 RUU

13

19 Dokumen

1 RUU

 

Keterangan:

Ada 22 RUU yang tidak disertai dengan publikasi laporan singkat.

 

6. Jumlah RUU Berdasarkan Ketaatan Pada Penyebarluasan Risalah Rapat

Kami juga hanya mengidentifikasi 40 RUU luncuran dari periode sebelumnya. Hasilnya, tidak ada satupun RUU yang risalah rapatnya dipublikasikan.

Kondisi di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2017 ini, DPR belum menunjukkan komitmennya pada transparansi legislasi. Hingga saat ini, belum terlihat upaya DPR untuk memperbaiki ketersediaan informasi di situs DPR.

 

7. Materi Muatan RUU

Sebagaimana telah disampaikan di awal, bahwa ada sejumlah RUU pada periode 2014-2019 yang tidak perlu/tidak tepat menjadi materi muatan UU. Berikut ini merupakan RUU pada prolegnas prioritas tahunan 2017, yang menurut kami tidak perlu/tidak tepat menjadi materi muatan UU. Antara lain:

a). RUU Kewirausahaan Nasional

Kewirausahaan Nasional tidak perlu diatur dengan UU karena materi muatannya tersebar di UU lain. Diantaranya: UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Selain itu, juga ada PP No. 41 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda, Serta Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan, PP No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Pasal 8), PP No. 60 Tahun 2013 tentang Susunan, Organisasi Personalia dan Mekanisme Kerja Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda (LPKP) , Perpres No. 27 Tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha. Sementara itu, Gugus Tugas Kewirausahaan Nasional tidak dibutuhkan karena fungsinya dapat dijalankan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

b). RUU Ekonomi Kreatif

Ekonomi Kreatif Tidak perlu diatur dengan UU karena materi muatannya terlalu global. (Asas kejelasan tujuan). RUU ini justru membatasi makna kreativitas. Substansi RUU ini, sebagaimana substansi RUU Kewirausahaan, tersebar di berbagai regulasi. Badan Ekonomi Kreatif dan kementerian yang membidangi urusan Ekonomi Kreatif juga tidak dibutuhkan karena fungsinya dapat dijalankan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

c). RUU Sistem Perbukuan

Sistem Perbukuan cukup diatur dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Acuannya adalah UU Perpustakaan, UU Hak Cipta, UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Sistem Pendidikan Nasional. Sementara itu, Badan Perbukuan Nasional, juga tidak perlu dibentuk. Fungsinya dapat dijalankan oleh Kementerian Pendidikan.

d). RUU Wawasan Nusantara

RUU ini tentang norma dasar. Karena itu, sebelumnya diatur dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973, TAP MPR No. IV/MPR/1978, TAP MPR No. II/MPR/1983. Bukan dengan UUWawasan Nusantara sebagai sebuah asas yang harus ada pada setiap UU, sebagaimana disebutkan padal pasal 6 UU ayat (1) huruf e dan huruf f. Lembaga yang diusulkan Bawasantara, juga tidak diperlukan. Semua lembaga negara, seharusnya menginternalisasikan konsep Wawasan Nusantara.

e). RUU Perkelapasawitan

RUU Perkelapasawitan berpotensi melanggar asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan UU harus memberi pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Pada April 2016, Presiden Jokowi menyatakan akan menerbitkan moratorium sawit. Namun hingga kini, aturan tersebut belum terbit. Hal ini respon atas kebakaran hutan di 6 provinsi tahun 2015 yang disebabkan ulah 439 perusahaan dimana 308 diantaranya adalah perusahaan sawit (Walhi, 2015). Dampaknya, 24 orang meninggal, lebih dari 600 ribu orang menderita ISPA, 60 juta orang terpapar asap. (BNPB, 2015).

f). RUU Larangan Minuman Beralkohol

Problem utamanya adalah tidak jalannya implementasi atas regulasi yang ada. Hal-hal terkait Minuman beralkohol diatur dalam sejumlah regulasi. Antara lain: UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,  UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Permendag No. 6/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Perizinan Minuman Beralkohol. Perpres No. 74/2013 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Problemnya adalah implementasi dan pengawasan terhadap regulasi tersebut, bukan dengan membuat UU baru.

g). RUU Kebudayaan

Materi muatan ini terlalu global tidak sesuai dengan asas kejelasan tujuan. Dalam RUU disebutkan, kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusia yang dikembangkan melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya yang berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tapi di pasal lain justru dibatasi bahwa Pengelolaan Kebudayaan diselenggarakan pada segenap unsur Kebudayaan yang meliputi: a. bahasa; b. kesenian; c. sistem pegetahuan;  d. nilai dan adat istiadat; dan e. cagar budaya. Pengaturan hal tersebut telah tersebar di UU lain. (Antara lain: UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Dewan Budaya Nasional tidak dibutuhkan. Fungsinya bisa dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Pariwisata,

h). RUU Peningkatan PAD

Peningkatan PAD tidak perlu diatur dalam UU karena materinya tersebar di UU lain di antaranya UU 29 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Migas & UU Minerba, terkait dana bagi hasil SDA, UU Pemda terkait BUMD. Selain itu, Pemerintah Daerah juga bisa secara membuat Perda terkait sektor-sektor tertentu dalam rangka peningkatan PAD.

i). RUU Penyelenggaraan Pemerintahan di Wilayah Kepulauan

Penyelenggaraan Pemerintahan Di Wilayah Kepulauan, tidak perlu diatur dengan UU khusus. Cukup mengacu dengan UU No. 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Jika pemerintah merasa perlu pengaturan khusus cukup dengan Peraturan Pemerintah.

 

8. Usulan RUU Prioritas

Dengan mempertimbangkan ketersediaan waktu legislasi, maka sebaiknya DPR memprioritaskan pembahasan RUU tertentu, yang secara materi muatan layak menjadi UU dan mendesak. Antara lain: 

NO

BIDANG

RUU

1

Politik
  1. Penyelenggaraan Pemilu
  2. Perubahan UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3
  3. Perubahan UU No. 32/2002 ttg Penyiaran (Terkait keadilan frekuensi publik bagi semua partai politik)

2

Hak Masyarakat
  1. Pertanahan
  2. Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
  3. Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri

3

SDA
  1. Perubahan atas UU No. 22/2001 ttg Minyak dan Gas Bumi
  2. Perubahan atas UU 4/2009 ttg Pertambangan Mineral & Batubara

4

Hukum
  1. KUHP

 

PENYEBAB KONDISI LEGISLASI DPR RI

 Potensi Masalah Paradigmatik dalam Melihat Undang-Undang

  1. UU dianggap sebagai solusi semua masalah. Padahal, ada kemungkinan sebuah masalah terjadi karena buruknya implementasi atau pengawasan regulasi
  2. Kuantitas UU dianggap sebagai indikator kesuksesan kinerja DPR
  3. UU dianggap faktor penting untuk melahirkan anggaran. (Rapat, kunjungan kerja, studi banding, dll)

 

Potensi Masalah Paradigmatik dalam Melihat Prolegnas

  1. Prolegnas dipandang sebagai sesuatu yang otonom, kuasa mutlak dari DPR untuk membentuk UU.
  2. Prolegnas seharusnya didesain dalam kerangka pencapaian visi bernegara (UUD, TAP MPR, RPJP Nasional, RPJM, RKP dan Renstra DPR).

 

Lemahnya Kewenangan Badan Legislasi DPR RI

  1. Saat ini, Badan Legislasi DPR RI sekadar menjalankan fungsi koordinasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 105 ayat (1) huruf b UU MD3
  2. Karena itu, Pasal 162 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, belum bermakna secara kuat
  3. DPR tidak memiliki kewenangan untuk menolak usulan RUU dari internal DPR, Kementerian, dan DPD yang tidak sesuai pada asas-asas pembentukan undang-undang, asas materi muatan, dan asas-asal lainnya. Termasuk menegur jika Pemerintah lamban dalam proses pembahasan sebuah UU.

 

Sistem Kepartaian di DPR yang menyebabkan proses pengambilan putusan berjalan secara tidak efektif

Lemahnya Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di DPR RI

  1. Hal ini diketahui dari ketersediaan informasi yang ada di situs DPR RI. Baik informasi terkait kelembagaan (DPR, Sekretariat Jenderal, Badan Keahlian Dewan) maupun fungsi DPR RI.
  2. Misalnya, informasi terkait proses legislasi. Publikasi Naskah Akademik, Draft UU, Laporan Singkat, dan Risalah Rapat, tidak berjalan dengan baik.

 

REKOMENDASI 

  1. Peningkatan pemahaman Anggota DPR RI terhadap Undang-Undang dan Program Legislasi Nasional
  2. Program legislasi nasional hendaknya benar-benar disinergiskan dengan Rencana pembangunan jangka panjang nasional; Rencana pembangunan jangka menengah; Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR.
  3. Penguatan kapasitas dan kewenangan Badan Legislasi DPR RI, sebagai pihak yang bertanggung jawab pada pembentukan UU bukan sekadar fungsi koordinasi, sehingga memiliki kewenangan untuk menyatakan menolak sebuah RUU yang tidak memenuhi kelayakan secara formil dan materil.
  4. Penguatan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengusulan legislasi di pemerintah.
  5. Penguatan kapasitas Panitia Perancang UU di DPD RI sehingga RUU yang diusulkan sesuai dengan fungsi lembaga dan memenuhi kelayakan sebagai materi muatan UU.
  6. Sinergisitas antara tenaga Ahli di DPR RI dalam proses legislasi (BKD, Baleg, Fraksi, dan Komisi)
  7. Penguatan struktur pengelola informasi publik DPR RI untuk menjalankan keterbukaan DPR RI
  8. Pembenahan sistem kepartaian melalui RUU Pemilu untuk menghasilkan DPR yang lebih efektif dalam menjalankan fungsinya.

 


[1] Disampaikan pada Forum Legislasi DPR RI, 24 Januari 2016 di Press Room DPR RI

[2] Pada situs www.dpr.go.id, tertulis 182 RUU. Ada kesalahan penulisan nomor. Nomor 14 ditulis sebanyak dua kali. Jumlah yang benar adalah 183 RUU.

[3] Penghitungan waktu legislasi 2017-2019

          Tahun

          ∑ reses

          ∑ Masa Sidang (MS)

          MS X Hari Legislasi/bulan

          ∑ Hari Legislasi

          2017 (12 bulan)

          5 kali (5 bulan)

          7 bulan

          7 x 8

          56

          2018 (12 bulan)

          5 kali (5 bulan)

          7 bulan

                        7 x 8

                        56

          2019 (9 bulan)

          4 kali (4 bulan)

          5 bulan

                        5 x 8

                        40

                        Total Hari Legislasi 2017-2019

                        152

 

[4] Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, Pasal 273, ayat (1) Sekretaris rapat menyusun risalah untuk dibagikan kepada anggota dan pihak yang bersangkutan setelah rapat selesai. Ayat (2) Risalah rapat terbuka dipublikasikan melalui media elektronik dan dapat diakses oleh masyarakat.

[5] Dalam satu minggu, ada 5 hari kerja di DPR. Satu hari untuk rapat paripurna, satu hari untuk rapat fraksi. Sisanya, ada 3 hari untuk rapat Komisi, yang digunakan membahas legislasi, anggaran, pengawasan dan menerima audiensi. Jika dalam satu minggu ada 3 kali saja rapat Komisi, maka dalam satu bulan ada 12 kali rapat Komisi. Dalam satu tahun ada 4 atau 5 kali masa reses selama satu bulan. Jadi, dalam setahun ada sekitar 7 bulan lamanya masa sidang. Maka, 12 x 7 = 84. Ada 84 dokumen terkait rapat-rapat di Komisi.

 

Share your thoughts