Inga’, Inga’, Ting! Cerdas Merawat Memori Publik

Oleh: Erik Kurniawan

Kalimat itu sering muncul di televisi saat penyelenggaraan Pemilu 2014. Bagi kita yang menyaksikannyapun dengan sendirinya ikut mengucapkan itu danmengingat adanya pemilu dan kapan tahapan pentingnya.Di tahapan pendaftaran pemilu, iklan layanan masyarakat“Ingat-Ingat” mengingatkan dan mengajak masyarakat secara luas mendaftarkan diri sebagai pemilih. Banyak yang menilai ILM dari Komisi Pemiliah Umum (KPU) tersebut kreatif. Intinya, Pemilu Legislatif 2004 berhasil mengajak 80 persen lebih pemilih gunakan hak pilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS).

Sebagai penyelenggara pemilu, KPU juga mempunyai kewajiban mengkampanyekan pesta demokrasi. Inilah yang dimaksud sosialisasi pemilu sebagai tanggungjawab KPU. Selayaknya pesta, pemilu harus diupayakan mendatangkan banyak orang.

KPU di Pemilu 2014 mempunyai tantangan besar. Target partisipasi memilih sebanyak 75 persen terbilang berat. Hal ini mengingat terus turunnya partisipasi pemilih dari pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu 1999 pemilihnya lebih dari 90 persen. Pemilu 2004 lebih dari 80 persen. Pemilu 2009, sekitar 70 persen. Disederhanakan, penurunannya konstan 10 persen.

Jika KPU serius membalikkan kecenderungan itu KPU harus bekerja keras mengkampanyekan pemilu. Pemilu 2004, KPU-nya punya “Ingat-Ingat”. Lalu, apa yang akan dibuat KPU di Pemilu 2014 untuk bisa memunculkan demam pemilu di masyarakat. Bagaimana setiap orang tahu pada “9 April 2014” merupakan hari pemungutan suara.

Makna demam tak hanya mengetahui jam, tanggal, dan bulan pemungutan suara. Demam pemilu pun harus bermakna pemilih berkepedulian dan merasa bertanggung jawab untuk berpartisipasi memilih.

Memunculkan demam itu tak hanya tanggung jawab partai politik. Tanggung jawab KPU tak hanya membuat peraturan untuk lebih menjamin jalannya kampanye berjalan baik terhadap semua peserta pemilu. KPU juga bertanggung jawab untuk aktif mengkampanyekan pemilu, menyadarkan masyarakat untuk memilih. Keseriusan dan kreativitas dari KPU menjadi penting untuk mendorong munculnya terobosan.

Partisipasi dan kualitas pemerintahan

Di tengah masyarakat yang makin menurun perhatiannya terhadap pemilu, pertanyaan “untuk apa kita memilih?” harus disertakan KPU untuk menumbuhkan kembali kepedulian dan optimisme terhadap pemilu. Tentu saja dengan jawaban yang baik.

Sebetulnya, apa korelasi partisipasi memilih dengan pemerintahan yang baik? Bisa saja masyarakat menilai, pemilu saat Orde Baru sangat tinggi partisipasi tapi lahirkan pemerintahan dengan presiden Soeharto sebagai koruptor nomor satu dunia (versi Transparency International). Pemilu 1999 pasca-Reformasi dengan partisipasi memilih 90 persen malah menghasilkan pemerintahan tak stabil. Pemilu 2014 dengan 80 persen pemilih malah menghasilkan parlemen yang elitis, korup, dan berpihak kepada rakyat sehingga citra buruk parlemen menempatkan Pemilu 2009 sebagai pemilu yang paling rendah partisipasinya.

Perlu ada upaya memperluas pemahaman korelasi antara tingginya partisipasi memilih dengan pemerintah yang lebih baik. Sejatinya, partisipasi pemilih yang tinggi berarti tingginya legitimasi pemerintahan yang dipilih oleh, dari, dan untuk rakyat. Dari sini, demokrasi hendaknya takhanya dimaknai sebatas pemilu. Dasar ini akan memaknai, partisipasi pemilu bukan hanya memilih di bilik suara selama 5 menit untuk pemerintahan 5 tahun. Partipasi pemilu pun bermakna mempertanggungjawabkan pilihan tersebut setelah para calon legislator dan presiden terpilih dengan mengawasi jalannya pemerintahan.

Rakyat sebagai pengawas jalannya pemerintahan terpilih tentulah lebih mendorong tanggungjawab bagi rakyat yang memilih di pemilu. Lucu jika pengawas pemerintahan terpilih dilakukan rakyat yang tak memilih di pemilu. Perspektif demokrasi prosedural akan menilai, memilih di hari pemungutan suara merupakan partisipasi tingkat dasar. Partisipasi tingkat selanjutnya adalah partisipasi pascapemilu, ketika pemilih secara aktif mengontrol pemerintahan.

Kita tentu saja menyadari, jumlah yang memilih di pemilu bukan berarti jumlah yang mengawasi pemerintahan terpilih. Jika target KPU di Pemilu 2014 mencapai 75 persen pemilih, bukan berarti 75 persennya melakukan pengawasan atau kontrol publik pascapemilu. Tapi yang juga pasti, dari jumlah pemilih yang lebih banyak, lebih memungkinkan banyaknya jumlah orang yang akan mengawasi pemerintahan terpilih.

Argumen tersebut cukup menjadi dasar pentingnya partisipasi pemilih yang tinggi. Bukan soal sukses pesta adalah meriah dan banyak peserta. Bukan juga hanya soal partisipasi memilih merupakan legitipasi calon terpilih. Sejatinya partisipasi tinggi merupakan inti demokrasi. Saat banyak atau semua rakyat terlibat dalam demokratisasi. Tak hanya peduli dan bersikap saat pemungutan suara di pemilu, tapi sepanjang eksistensi negara dengan klaim demokrasi berdiri. Dari, oleh, dan untuk rakyat.

Penulis adalah peneliti Indonesian Parliamentary Center

Share your thoughts