TANTANGAN REFORMASI PARLEMEN: MENINGKATKAN EFEKTIVITAS FUNGSI LEGISLASI

Banyak pihak kecewa terhadap kinerja DPR RI Periode 2014-2019, terlebih pada akhir masa jabatannya memunculkan gelombang unjuk rasa dari mahasiswa dan unsur masyarakat lainnya. Berdasarkan kajian singkat Indonesia Parliamentary Center, ada total 78 RUU yang disahkan oleh DPR sampai pada tanggal 1 Oktober 2019. Apabila ditambahkan dengan 11 RUU yang disahkan pada masa sidang V maka akan berjumlah 89 RUU.

Realisasi tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan pada Program Legislasi Nasional 2015-2019. 189 RUU prioritas yang ditarget pada awal masa jabatan DPR RI periode 2014-2019. Namun realisasinya hanya dapat tercapai 25 UU Prioritas dan 53 lainnya UU Kumulatif Terbuka.

Perbandingan angka diantara kedua data ini tentu menimbulkan pertanyaan terkait hambatan apa yang menjadi penyebab rendahnya realisasi RUU. Melalui identifikasi dokumen pada website www.dpr.go.id IPC menemukan kendala berupa ketidaktersediaan dokumen seperti Laporan Singkat dan Risalah Sidang sehingga tidak dapat mengambil kesimpulan terkait hambatan realisasi RUU.

Fenomena lainnya ditemukan IPC berupa Komisi yang ternyata tidak mampu menghasilkan satupun UU selama periode 2014-2019. Komisi VI dan Komisi VII patut mendapatkan evaluasi pada DPR RI periode 2019-2024 berkaitan dengan tugas dan fungsi serta mitra kerja. Berdasarkan kesimpulan awal IPC, beban kerja yang terlalu luas dan berat menjadi penyebab tidak mampunya Komisi VI dan Komisi VII merealisasikan Rancangan Undang-Undang.

Hal lainnya yang patut menjadi sorotan adalah ketidaktersediaan Dokumen untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang. Hal ini merupakan bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mewajibkan DPR melakukan penyebar luasan sejak penyusunan Prolegnas, Penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang hingga Pengundangan Undang-Undang.

Apabila DPR tidak mampu menjadi penjamin hak masyarakat untuk berpartisipasi, maka tidak heran apabila setiap hasil legislasi akan menimbulkan pertentangan dari masyarakat dan akan diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Maka dapat dinyatakan bahwa kegagalan DPR dalam mengelola Sistem Informasi Legislasi yang aktual dan transparan akan berdampak pada kegagalan DPR dalam memberikan pemahaman politik.

Demi terciptanya hasil legislasi yang partisipatif maka IPC merekomendasikan beberapa hal:

  • Peningkatan Partisipasi Masyarakat harus menjadi target utama bagi DPR RI 2019-2024. Pemberian kemudahan akses masukan masyarakat melalui media informasi website dapat menjadi alternatif di saat keterbatasan waktu untuk menjemput aspirasi ke daerah-daerah.
  • Adanya mekanisme evaluasi dan pembahasan untuk Program Legislasi Nasional dan Program Legislasi Nasional Tahunan.
  • Adanya tim pembahasan yang menganalisa setiap RUU usulan untuk Prolegnas dan menghasilkan atau memberikan pertimbangan terkait usulan tersebut cukup di peraturan perundang-undangan di bawah UU saja.
  • Mempercepat agenda dan aksi Sistem Informasi Legislasi pada pelaksanaan Open Parliament Indonesia oleh DPR RI Periode 2019-2024.
  • Adanya kewajiban bagi DPR RI untuk menginformasikan partisipasi masyarakat sebelum pembahasan suatu RUU dan kewajiban mempublikasikan setiap Naskah Akademik baik dari DPR, DPD, Pemerintah dan Masyarakat untuk mendapatkan Naskah Akademik yang bertanggung jawab dan menjawab kebutuhan hukum di masyarakat.
  • Memperkecil ruang konflik kepentingan dengan cara membangun deklarasi dan transparansi konflik kepentingan.

Share your thoughts