Reformasi Tata Kelola Informasi Publik di DPR RI

Resume

Tata kelola informasi publik, jantungnya ada di pendokumentasian dan pengarsipan. Pendokumentasian persidangan dan kegiatan DPR yang tertata dengan baik sulit terwujud tanpa dukungan dan sinergi dari semua jajaran pada Sekretariat Jenderal, Sistem Pendukung Fraksi, Sistem Pendukung  Anggota DPR dan Anggota DPR itu sendiri. Parlemen modern: transparan, menggunakan teknologi informasi dan peningkatan fungsi representasi, dengan demikian adalah gerakan internal DPR untuk demokrasi yang lebih berkualitas.

Pendahuluan

Keterbukaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah mandat konstitusional. Anggota DPR dipilih melalui proses pemilihan umum. Pemilih memberikan mandat. DPR terpilih berkewajiban melaksanakan mandat tersebut dalam fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Perwujudan pelaksanaan mandat tersebut mungkin terjadi jika ada relasi yang berkesinambungan antara DPR dan Anggota DPR dengan masyarakat dalam melaksanakan fungsinya, atau yang biasa kita kenal dengan fungsi representasi. Fungsi representasi akan bejalan efektif dan berdampak jika DPR terbuka. Keterbukaan DPR meliputi dua hal, yaitu terbuka dalam pelaksanaan kegiatan dan persidangan dan terbuka dalam mempublikasikan dokumen.

DPR terbuka karena ada relasi pemberi-penerima mandat yang diberikan pada saat pemilihan umum. Relasi ini harus dijaga kesinambungannya dalam pelaksanaan fungsi-fungsi DPR. Relasi biasa disebut sebagai relasi akuntabilitas. Ada proses pertanggungjawaban poltik dari penerima mandat kepada pemberi mandat yang diberikan pada saat pemilu. Pemberi mandat menilai apakah kinerja DPR baik atau tidak. Dan dapat melakukan komplain jika merasa tidak puas. Sementara DPR sebagai penerima mandat merespon untuk memperbaikinya di masa yang akan datang.

Dalam kerangka akuntabilitas, transparansi merupakan langkah awal dari proses akuntabilitas. Bagaimana mungkin warga konstutuen dapat turut berpatisipasi dalam proses kebijakan lalu berkontribusi positif terhadap kinerja wakil mereka jika tidak ada informasi mengenai para wakil yang terpilih, apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya.

Dalam kerangka akuntabilitas tersebut terdapat tiga tahap yang harus dilewati: (1) adanya arus informasi dan serial data yang disampaikan oleh penerima mandat kepada pemberi mandat. Informasi yang diberikan haruslah utuh (2) Terjadinya proses dialog dan intrograsi dalam sebuah forum atau ruang dialog publik yang resmi dan bisa dipertanggungjawabkan. Pada proses ini pemberi mandat dapat dengan leluasa mempertanyakan atas informasi yang telah diterima. (3) Adanya penilian dari publik mengenai kerja dari penerima mandat. Apakah dapat dirasakan manfaatnya atau tidak. (Mark Boven: 2003).

Mandat yang diberikan oleh rakyat kepada DPR diejawantahkan dalam fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi penganggaran. Sudah seharusnya pemilik sah kedaulatan memperoleh informasi proses dan hasil ketiga fungsi tersebut.

Dalam fungsi legislasi, DPR musti memastikan bahwa seluruh dokumen yang berkaitan dengan proses legislasi dipublikasikan. Mulai dari jadual sidang, Naskah Akademik, Draf RUU, hasil-hasil rapat pembahasan, tim pembahasan hingga RUU yang disahkan. Demikian halnya pada fungsi penganggaran dan pengawasan. Tanpa adanya serangkaian informasi tersebut, maka peluang dialog antara DPR dengan konstituen dan partisipasi publik secara lebih luas tertutup.

Dasar Hukum Transparansi DPR RI

 Secara garis besar, keterbukaan DPR terdiri dari jenis keterbukaan. Keterbukaan akses kegiatan persidangan-persidangan DPR dan keterbukaan dokumen. Membuka akses kegiatan merupakan fitrah DPR sebagai lembaga yang fungsinya adalah membentuk dan mengesahkan kebijakan publik. Bagai dua sisi mata uang, membuka akses dokumen sama pentingnya dengan keterbukaan kegiatan. Keduanya memiliki dasar hukum yang cukup kuat sebagaimana tergambar dalam tabel berikut.

Tabel 1. Dasar Hukum Keterbukaan Parlemen

Jenis keterbukaan Dasar Hukum Pasal
Keterbukaan akses kegiatan Keterbukan RapatUU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Pasal 229Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 41.      …2.      Setiap orang berhak:

a)      melihat dan mengetahui informasi publik

b)      menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh informasi publik

c)      ….

Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 246(1)   Setiap rapat DPR bersifat terbuka, kecuali dinyatakan tertutup.(2)   Rapat terbuka adalah rapat yang selain dihadiri oleh Anggota juga dapat dihadiri oleh bukan Anggota, baik yang diundang maupun yang tidak diundang.

Pasal 215

Masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR dalam proses:

a. penyusunan dan penetapan Prolegnas;

b. penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang;

c. pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN;

d. pengawasan pelaksanaan undang-undang; dan

e. pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Keterbukaan LegislasiUndang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundangan Pasal 96(1)   Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.(2)   Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:

a)      rapat dengar pendapat umum;

b)      kunjungan kerja;

c)      sosialisasi; dan/atau

d)      seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3)   Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

(4)   Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Keterbukaan PenganggaranUUD 1945 Pasal 23Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Keterbukaan Pengawasan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Pasal 227(1)   Setiap anggota berhak mengawasi pelaksanaan APBN dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk di daerah pemilihan.(2)   Untuk melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPR berhak mendapatkan dukungan administrasi keuangan dan pendampingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(3)   Sebagai bahan dalam melakukan fungsi pengawasan, kementerian/lembaga wajib menyerahkan kepada komisi terkait bahan tertulis mengenai jenis belanja dan kegiatan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari setelah undang-undang tentang APBN atau undang-undang tentang APBNP ditetapkan di paripurna DPR.

(4)   Jenis belanja dan kegiatan yang diserahkan ke komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diakses oleh publik.

Keterbukaan Akses Dokumen Pengelolaan dan Pelayanan Informasi PublikUU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 71.      Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada dibawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.2.      Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.

3.      Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.

4.      Badan Publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik.

5.      Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.

6.      Dalam rangka memenuhi kewajiban ayat (1) sampai dengan ayat ( 4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.

 

Pendokumentasian dan pengelolaanUU Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Arsip Pasal 9(1)   Pengelolaan arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dilakukan terhadap arsip dinamis dan arsip statis.(2)   Pengelolaan arsip dinamis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. arsip vital;

b. arsip aktif;

c. arsip inaktif.

(3)   Pengelolaan arsip dinamis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab pencipta arsip.

(4)   Pengelolaan arsip statis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab lembaga kearsipan.

 

Pasal 6 ayat 5

 

(5) Tanggung jawab penyelenggara kearsipan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan kebijakan, pembinaan kearsipan, dan pengelolaan arsip.

Pelayanan Informasi PublikUU Nomor 25 Tahun 2009 Pelayanan Publik Pasal 8(1)   Organisasi penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan.(2)   Penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya meliputi:

a. pelaksanaan pelayanan;

b. pengelolaan pengaduan masyarakat;

c. pengelolaan informasi;

d. pengawasan internal;

f. penyuluhan kepada masyarakat; dan

g. pelayanan konsultasi.

(3)   Penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.

 

 

Terdapat sejumlah UU yang memberikan mandat kepada DPR agar membuka akses kegiatan kepada publik. Dalam hal ini, akses terhadap pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi penganggaran dijamin dalam UU. Pembukaan ruang partisipasi publik sebagai bentuk terbukanya akses terhadap kegiatan DPR diperjelas dalam tata tertib DPR dalam Pasal 210 Ayat 2

 

“Dalam melaksanakan representasi rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan, antara lain, melalui kunjungan kerja, pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat.”

 

Panduan umum mengenai akses kegiatan yang terbuka dimandatkan dalam UU MD3 pasal 229:

 

“Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.”

 

Pada pasal tersebut memberikan dasar yang kuat bahwa seluruh rapat DPR terbuka. Sesuai aturan dalam UU KIP, rapat terbuka dapat dikategorikan sebagai pertemuan publik yang terbuka untuk umum. Publik dapat mengakses seluruh rapat legislasi, pengawasan dan penganggaran yang dinyatakan terbuka.

 

Namun, ketentuan “rapat yang dinyatakan tertutup” tidak diatur lebih lanjut apa yang disebut dengan rapat tertutup. Dalam Tata Tertib DPR, rapat yang dinyatakan tertutup hanya boleh dihadiri oleh Anggota DPR dan pihak yang diundang dalam rapat. Publik tidak dapat mengakses rapat tetutup. Akses publik semakin terbatas karena orang yang menghadiri rapat tersebut juga tidak boleh menginformasikan kepada publik mengenai hasil rapat tersebut kecuali setelah ada kesepakatan.

 

Demikian halnya dengan dokumen hasil rapat tertutup adalah dokumen tertutup (Tata Tertib DPR Pasal 246, Pasal 247 dan Pasal 248). Padahal, dalam UU KIP, untuk menutup dokumen harus melalui uji konsekuensi terlebih dahulu. Disamping terdapat masa retensi, masa kadaluarsa dokumen ditutup. Jadi harus ada alasan yang kuat mengapa dokumen harus ditutup.

Pada kenyataannya, frasa “kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup” sering digunakan pada rapat-rapat yang sifatnya strategis. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mencatat bahwa mafia anggaran bekerja pada saat rapat-rapat tertutup digelar (FITRA: 2013). Dengan akses yang terbatas tersebut, mafia anggaran bekerja leluasa tanpa dapat dipantau oleh publik.

Merujuk pada UU KIP, pengecualian informasi bersifat ketat dan terbatas. Ketat artinya berdasar standar tertentu dan terbatas artinya hanya sedikit yang dikecualikan. Pencantuman frasa “selain rapat tertentu yang dikecualikan” tanpa pengaturan yang lebih rinci mengenai apa dan bagaimana “rapat tertentu” tersebut “dikecualikan” maka potensi menutup rapat sangat terbuka lebar.

Definisi rapat tertutup seharusnya mengikuti UU KIP.  Pengecualian rapat didasarkan pada substansi yang sedang dibahas, bukan jenis rapat. Pasal 17 dan 18 UU Keterbukaan Informasi Publik (14/2008) dapat dijadikan dasar dalam mengecualikan rapat. Ada 3 jenis pengecualian substansial: (1) kerahasiaan negara (2) kerahasiaan pribadi (3) kerahasiaan untuk perlindungan persaingan usaha sehat.

Akses terhadap rapat yang dikecualikan tanpa pengaturan yang lebih ketat ini berdampak pada:

  1. Menghilangkan hak warga negara untuk tahu mengenai kegiatan-kegiatan di DPR. Padahal, bisa jadi dalam rapat tertetup tersebut terdapat informasi yang bermakna dan menentukan bagi warga negara.
  2. Menimbulkan spekulasi dan persepsi publik tentang DPR yang “main mata” dengan sejumlah pihak tertentu dalam proses-proses kebijakan. Munculnya berbagai kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah Anggota DPR belakangan ini, semakin membuka spekulasi tersebut di mata publik. Pada akhirnya ini bertentangan dengan keinginan DPR untuk membangun citra publik.
  3. Membatasi partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan strategis. Karena sebagian rapat-rapat tertutup tersebut adalah rapat strategis yang berdampak langsung bagi publik.

Dalam UU MD3 menyebutkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Ketiganya dilaksanakan dalam kerangka representasi rakyat (Pasal 69). Dalam penjelasan undang-undang tersebut disebutkan bahwa kerangka representasi dilakukan diantaranya melalui pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat. Artinya, dalam UU MD3 transparansi menjadi satu prinsip yang harus dijalankan oleh DPR. Meski UU MD3 sendiri tidak merinci mengenai implementasi prinsip transparansi dalam fungsi, namun di UU lain memberikan panduan sebagaimana yang dijelaskan dibawah ini:

Keterbukaan dalam Fungsi Legislasi

Dalam fungsi legislasi, Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundangan menyebutkan bahwa salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundangan adalah asas “keterbukaan.” Selanjutnya dijelaskan dalam bagian penjelasan undang-undang tersebut bahwa yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah:

“… bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”

Berdasarkan asas tersebut, maka seluruh proses pembentukan perundangan terbuka bagi publik dan dapat diakses kegiatannya.

Perencanaan perundangan disusun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Badan Legislasi DPR sebagai pihak yang melaksanakan penyusuan Prolegnas juga berkewajiban untuk membuka proses dan hasil. Jika merujuk pada prinsip “keterbukaan” maka, dalam menyusun prolegnas harus melibatkan masyarakat. Akses partisipasi dan informasi (dokumen) harus dibuka. UU MD3 sendiri memberikan kewajiban kepada Baleg untuk mensosialisasikan Prolegnas yang sudah disahkan.

Pasal 96 UU 12/2011 menyebutkan secara lebih rinci cara mengakses kegiatan legislasi.

  • Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  • Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
    1. rapat dengar pendapat umum;
    2. kunjungan kerja;
    3. sosialisasi; dan/atau
    4. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
  • Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
  • Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Pasal 96 tersebut memandatkan kepada pembuat aturan untuk membuka Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Bagaimanapun peraturan ini masih sangat global dalam hal dokumen apa selain rancangan peraturan perundang-undangan.

Keterbukaan dalam Fungsi Anggaran

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan mandat yang jelas kepada DPR dan Pemerintah agar menyusun anggaran “dilaksanakan secara terbuka”.

Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 UUD  Ayat 1)

Dalam pasal tersebut terdapat dua frasa kunci bahwa kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan fungsi penganggaran di DPR dapat diakses publik. Pertama frasa “ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang” menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi penganggaran tunduk pada perinsip pembentukan peraturan perundangan. Salah satunya prinsip keterbukaan sebagaimana dijelaskan pada bagian fungsi legislasi.

Kedua, frasa “dilaksanakan secara terbuka” artinya dapat diakses oleh publik pada seluruh proses penganggaran. Kata “dilaksanakan” ini diterjemahkan lebih lanjut oleh UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam kedua undang-undang tersebut diatur proses partisipasi pembangunan dari mulai tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi hingga Pemerintah Nasional dan daitur juga mengenai prinsip transparansi dalam pengelolaan keuangan. Kita mengenalnya dengan Musyawaran Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang.

Proses penganggaran di DPR merupakan proses politik setelah melalui serangkaian proses teknokrasi. Keputusan dari seluruh proses tersebut ada di tangan pemerintah dan DPR. Apakah usulan pembangunan oleh masyarakat akan tepenuhi atau tidak, Pemerintah dan DPR yang menentukan. Karenanya, kewajiban membuka proses dimandatkan oleh UU supaya rakyat tahu mengapa usulan mereka tidak diakomodir.

Sayangnya, yang terjadi sekarang dalam proses penganggaran di DPR seringkali mengabaikan prinsip keterbukaan sebagaimana yang diatur dalam proses legislasi. Jarang sekali ditemukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang khusus diselenggarakan untuk pelaksanaan fungsi anggaran (IPC: 2015). Meskipun telah memalui serangkaian proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), namun konstituen perlu tahu dan memastikan bahwa usulan-usulan tersebut diakomodir dalam UU APBN dan ada alasan tertulis jika tidak diakomodir.

Keterbukaan dalam Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan DPR berjalan di atas fungsi legislasi dan fungsi penganggaran. Produk hukum hasil legislasi dan penganggaran, keduanya berupa undang-undang, diawasi dalam pelaksanaannya. Termasuk seluruh aturan turunannya. Dalam UU MD3 fungsi pengawasan terhadap anggaran dijelaskan dalam Pasal  227:

  • Setiap anggota berhak mengawasi pelaksanaan APBN dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk di daerah pemilihan.
  • Untuk melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPR berhak mendapatkan dukungan administrasi keuangan dan pendampingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
  • Sebagai bahan dalam melakukan fungsi pengawasan, kementerian/lembaga wajib menyerahkan kepada komisi terkait bahan tertulis mengenai jenis belanja dan kegiatan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari setelah undang-undang tentang APBN atau undang-undang tentang APBNP ditetapkan di paripurna DPR.
  • Jenis belanja dan kegiatan yang diserahkan ke komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diakses oleh publik.

Fungsi pengawasan melekat pada DPR secara kelembagaan. Komisi-komisi di DPR ditugasi untuk melaksanakan fungsi ini. Demikian halnya dengan Anggota DPR punya hak untuk pengawasan. Pasal di atas mengatur untuk pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap APBN, pemerintah wajib menyerahkan “bahan tertulis mengenai jenis belanja dan kegiatan” kepada Komisi dan dapat “diakses” oleh publik.

Akses masyarakat terhadap kegiatan DPR dalam fungsi legislasi secara lebih mendalam dijelaskan dalam tata tertib DPR. Pasal 215 tata tertib DPR menyebutkan bahwa

Masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR dalam proses:

  1. penyusunan dan penetapan Prolegnas;
  2. penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang;
  3. pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN;
  4. pengawasan pelaksanaan undang-undang; dan
  5. pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Kewajiban yang tercantum dalam sejumlah undang-undang tersebut cukup untuk memberikan dasar bagi DPR untuk mengumpulkan sebanyak mungkin masukan dan aspirasi publik berdasarkan informasi yang dipublikasikannya secara proaktif. Karena dengan dipublikasikannya dokumen, jumlah kelompok-kelompok masyarakat yang ingin terlibat dan memberi masukan terhadap kebijakan yang sedang dibahas akan semakin luas. Masukan bagi DPR juga semakin kaya. Termasuk pengawasan publik selama proses pembahasan akan meminimalkan penolakan bagi publik terhadap kebijakan yang dihasilkan nantinya.

Keterbukaan Informasi Publik di DPR

Terdapat tiga undang-undang yang menjadi cantolan dalam pengelolaan dan pelayanan informasi publik, yaitu UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Arsip dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ketiganya saling beririsan, meskipun UU KIP lebih dominan dibanding yang lain.

Akses terhadap dokumen dijamin dalam UU KIP, begitu juga aturan internal DPR. Terdapat dua aturan utama yang mengatur akses tersebut yang keduanya saling berkaitan, yaitu: Tata Tertib DPR dan Peraturan DPR No 10 tentang Keterbukaan Informasi Publik di DPR.

Tabel 2. Peraturan DPR yang Berkaitan dengan Transparansi

Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR Pasal 237(1) Sekretaris rapat menyusun risalah untuk dibagikan kepada anggota dan pihak yang bersangkuta telah selesai.(2) Risalah rapat terbuka dipublikasikan melalui media elektronik dan dapat diakses oleh masyarakat.

(3) Risalah rapat yang bersifat tertutup dan bersifat rahasia tidak dapat diberikan kepada pemohon informasi.

(4) Risalah rapat yang bersifat tertutup dan tidak menyatakan sifat rahasia dapat diberikan kepada pemohon informasi dengan mengajukan permintaan secara tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

(5) Permintaan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR.

 

Pasal 218

Pimpinan alat kelengkapan yang menerima masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 dan Pasal 217 menyampaikan informasi mengenai tindak lanjut atas masukan kepada masyarakat melalui surat atau media elektronik.

Peraturan DPR No 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di DPR Pasal 6(1) DPR dan Setjen DPR wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi, selain informasi yang dikecualikan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang ditetapkan DPR.(2) DPR dan Setjen DPR wajib mencatat nama dan alamat pemohon informasi publik, subjek dan format informasi, serta cara penyampaian informasi yang diminta oleh pemohon informasi publik.

(3) DPR dan Setjen DPR wajib mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah, cepat, biaya ringan, dan cara sederhana.

(4) Pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat memanfaatkan media elektronik dan nonelektronik.

 

Merujuk pada aturan di atas terdapat sejumlah kewajiban badan publik untuk mengelola dan melayani informasi. Kewajiban pengelolaan informasi meliputi: menyusun dokumen rapat, menyediakan informasi publik, mengelola informasi secara baik dan efisien, memanfaatkan media elektronik dan non elektronik Sementara kewajiban pelayanan informasi publik meliputi: menyediakan informasi publik, memberikan informasi publik, mempublikasikan informasi publik dan mempublikasikan perkembangan masukan masyarakat kepada DPR.

Bedasarkan sejumlah landasan hukum di atas, berikut merupakan hak warga negara/konstituen/pemilih dan implikasi kewajiban DPR dalam hal keterbukaan parlemen.

Tabel 3. Hak warga negara dan kewajiban DPR terkait transparansi

Hak Warga Negara Kewajiban DPR
1.      Memperoleh Informasi Publik2.      Hadir dalam pertemuan yang terbuka untuk publik3.      Menghadiri persidangan yang bersifat terbuka

4.      Memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas; penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang; pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN; pengawasan pelaksanaan undang-undang; dan pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.

5.      Mengakses rancangan peraturan perundang-undangan

6.      Mengakses informasi yang berkaitan dengan belanja dan kegiatan dalam rapat pembahasan APBN

1.      Membuka dan mengumumkan sidang terbuka, termasuk jadualnya.2.      Memberi ruag akses untuk rapat-rapat terbuka.3.      Membuat mekanisma partisipasi publik dalam proses legislasi, pengawasan dan penganggaran.

4.      Mempublikasikan dokumen-dokumen terkait kebijakan.

5.      Melayanai permintaan informasi publik

6.      Mendokumentasikan dan mengarsipkan kegiatan-kegiatan DPR

7.      Melaksanakan UU Arsip, UU KIP dan UU Pelayanan Publik

8.      Menyusun risalah persidangan

 

Kunci Transparansi DPR RI: Tata Kelola Data

Bagi masyarakat, memperoleh informasi publik adalah hak yang tidak boleh dihalang-halangi. Tidak peduli bagaimana DPR dan Kesekjenan mengelola informasi tersebut. Akan tetapi, UU Nomo 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) memberikan panduan secara administratif bagaimana DPR mengelola informasi publik. Disamping UU KIP, terdapat UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Arsip juga memberikan panduan tentang pengarsipan dan pendokumentasian. Sementara UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memberikan panduan mengenai pelayanan secara lebih terperinci.

Tabel 4. Sinergi Antara Tiga Undang-Undang dalam Transparansi DPR.

Pengelolaan Informasi Sinergi Antar UU Pelayanan Informasi Sinergi Antar UU
Pendokumentasian Mengintrgrasikan struktur PPID dengan Arsiparis di unit pencipta arsip. Publikasi (proactive disclosure) Menyusun SOP dan standar pelayanan minimal informasi yang wajib dipublikasikan
Klasifikasi Mengintegrasikan daftar informasi publik dengan daftar arsip dinamisMenysun standar yang sama dalam mengecualikan informasi Pelayanan permintaan informasi Menyusun SOP dan standar pelayanan minimal informasi publikPeningkatan fungsi penyuluhan kepada masyarakat dan fungsi konsultasi pelayanan informasi publik
Peyimpanan Mengintegrasikan struktur PPID dengan unit arsip (arsip statis) dan arsiparis Pelayanan keberatan Menyusun SOP dan standar pelayanan atas keberatan
Otorisasi Akses Mengintegrasikan strktur otoritas tertinggi pada Arsip dan strtuktur otoritas tertinggi pada PPID Sengketa Informasi Publik Menyusun SOP dan standar pelayanan sengketa informasi

 

DPR memiliki tanggungjawab yang lebih dalam rangka melaksanakan UU KIP, karena dalam sejarahnya DPR-lah pengusul inisiatif Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang sekarang disahkan menjadi UU KIP.

Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di DPR RI memberikan mandat kepada DPR dan Sekretariat DPR. Aturan tersebut memisahkan antara informasi yang dikuasai oleh Sekretariat Jenderal DPR dan yang dikuasai oleh DPR RI. Menurut pendapat IPC, pemisahan penguasa informasi ini kurang tepat. Karena DPR dan sistem pendukung ada dalam satu wadah. Sebagaimana pada Komisi Pemilihan Umum, kewajiban untuk menerapkan UU KIP dimandatkan kepada KPU yang didalamnya meliputi sekretariat KPU.

Secara umum, Peraturan  DPR Nomor 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik banyak yang perlu dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan terkini:

Tabel 5. Catatan terhadap Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2010

Mandat dalam UU KIP Catatan Umum
Prinsip umum (Pasal 5) Terdapat ketentuan bahwa DPR dapat tidak memberikan informasi atau menolak permintaan informasi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang ditetapkan DPR dan Setjen DPR.Frasa ” dan ketentuan yang ditetapkan DPR dan Setjen DPR” bertentangan dengan UU KIP. Tidak memberikan informasi dan penolakan permohonan dalam KIP harus berdasarkan UU (Rofiandri: 2010).

 

Tidak memberikan informasi atau penolakan permohonan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan DPR dan Setjen DPR mengandung subjektifitas. Sehingga informasi yang seharusnya terbuka berdasarkan pertimbangan kepentingan publik yang lebih luas, malah ditutup atau tidak diberikan oleh DPR dan Setjen DPR.

 

PPID (Pasal 8) Tujuan dibentuknya PPID adalah untuk mempermudah proses pengelolaan dan pelayanan publik di internal badan publik. Struktur PPID yang dibentuk haruslah menyesuaikan dengan fungsi organisasi pada badan publik tersebut dan secara operasional mungkin dilakukan.Dalam Peraturan DPR ini dijelaskan apa fungsi dari PPID, tetapi tidak dijelaskan bagaimana struktur PPID yang mendukung fungsi-fungsi PPID dalam mengelola dan melayani informasi publik.

 

Daftar Informasi Publik (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 serta Lampiran peraturan) Datar Informasi Publik merupakan bagian lampiran dari peraturan DPR No 1/2010. Ia menjelaskan ruang lingkup klasifikasi informasi publik di DPR secara umum. Terdapat juga informasi yang dimandatkan dalam UU MD3 dan Tata Tertib DPR namun tidak diakomodir dalam peraturan ini.Sayangnya dalam lampiran tersebut ditetapkan informasi dikecualikan. Padahal pengecualian informasi hanya bisa ditetapkan setelah melalui proses uji konsekuensi.

 

Jenis informasi yang wajib tersedia setiap saat dalam Peraturan KIP DPR lebih banyak terfokus pada produk akhir berupa dokumen keputusan DPR atau kebijakan DPR, padahal UU KIP mengamanatkan untuk menyertakan dokumen pertimbangan ataupun dokumen pendukungnya yang merupakan informasi dinamis dalam proses mencapai keputusan atau kebijakan tersebut. (CSIS: 2012).

 

Pelayanan Informasi (pasal 7) Pengaturan mengenai pelayanan informasi publik sangat minim dan belum menggambarkan bagaiman situasi pelayanan yang diharapkan oleh aturan ini.
Pengecualian Informasi Pengecualian informasi merupakan bagian penting dari keterbukaan informasi publik. Terdapat pengaturan yang batasan pengecualiannya terlalu luas. Yaitu:”informasi publik DPR dari hasil rapat-rapat di DPR yang bersifat tertutup yang dinyatakan rahasia”

 

Ketentuan ini mengikuti ketentuan mengenai rapat tertutup sebagaimana yang dijelaskan di bagian pertama pada bab ini. Sesuai dengan UU KIP, yang membatasi informasi dikecualikan bukanlah kegiatan. Akan tetapi, materi yang dikandung dari informasi tersebut.

 

Disamping itu, objek pengecualian informasi belum lengkap sebagaimana yang diatur dalam UU KIP.

 

Sengketa Informasi Publik Meskipun sengketa merupakan ranah Komisi Informasi, akan tetapi Badan Publik perlu mempersiapkan bahan-bahan dan langkah dalam menghadapi sengketa informasi di KI. Dalam aturan ini tidak dimasukkan.
Laporan Pelayanan Informasi Publik Laporan pelayanan publik merupakan bagian penting untuk meningkatkan pelayanan dari tahun ke tahun. Masukan dari KI dan Publik terhadap pelayanan informasi publik dapat disampaikan jika ada laporan pelayanan. Tapi tidak dimasukkan dalam peraturan ini

 

Banyaknya catatan terhadap peraturan DPR tersebut menunjukkan bahwa peraturan tersebut harus segera direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan terkini.

 

Dokumentasi persidangan sebagai titik krusial perbaikan akses informasi

Pendokumentasian sidang menjadi isu penting lembaga parlemen di seluruh dunia. Penyebabnya banyak: (1) sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja (2) sebagai dokumentasi sejarah (3) sebagai bagan publik untuk memantau perkembangan pembahasan kebijakan (4) karena kerja utama parlemen adalah bersidang untuk menghasilkan kebijakan.

Proses pendokumentasian persidangan terdiri sejumlah unsur dalam pengaturannya. Di berbagai negara, pengaturan mengenai jenis dokumen, otorisasi, format dokumen, perubahan dokumen, metode pencatatan dan sebagainya diatur dengan cukup jelas dan detail dan disesuaikan dengan kebutuhakn publik. Bahkan dalam rekaman lengkapnya, bisa dilihat ekspresi dan emosi para anggota parlemen yang sedang berdebat. Sebagai contok, kami sajikan pengelolaan dokumen persidengan di Parlemen Kanada, salah satu parlemen yang mengadopsi sistem hansard dalam pengelolaan dokumen persidangannya.

Tabel 6. Pengelolaan Dokumen Persidangan Parlemen Kanada[2]

Jenis dokumen Definisi Fungsi Otorisasi dan perubahan Metode pencatatan Format dokumen Waktu produksi
Journals Catatan kegiatan proses kebijakan di  parlemen Bukti hukum di persidangan Otorisasi oleh panitera sidang, perubahan (up date) dilaksanakan secara mingguan Dicatat oleh staf dibawah pengawasan panitera Cetak dan file elektronik Setelah semua proses kegiatan dilaksanakan dan mingguan untuk up date.
Debates/ hansard Transkrip kata per kata seluruh persidangan Sebagai dokumen babon yang valid dan terverifikasi Speaker of the house Transkrip audio oleh hansard staff Cetak dan file elektronik, CD-ROM. Mingguan (up date)
Order Papers and Notice Paper*) Jadual dan agenda kegiatan harian Informasi kegiatan dan agenda kegiatan parlemen Speaker of The House Didokumentasikan setelah disebarluaskan ke anggota Cetak dan file elektronik. Harian
Projected Order of Business Proyeksi pelaksanaan agenda-agenda DPR, termasuk lamanya pidato dan batasan waktu dalam berdebat Sebagai panduan bagi pimpinan sidang Speaker of the house Didokumentasi-kan setelah disebarluaskan ke anggota parlemen Cetak dan file elektronik Temtative
Minutes of Proceedings, Evidence, and Report of Committees Catatan rapat yang didokumentasi-kan oleh alat kelengkapan Sebagai back-up dokumen oleh setiap alat kelengkapan Pimpinan alat kelengkapan Didikumentasi-kan oleh panitera alat kelengkapan Cetak dan file elektronik 24 jam setelah rapat
Bills Draf RUU Sebagai bahan pembahasan kebijakan Speker of The House Didokumentasi-kan dengan kode-kode tertentu Cetak dan file elektronik tentatif

*) order paper dan notice paper berisi tentang agenda yang akan dilaksanakan dalam persidangan antara lain: pengenalan draf undang-undang dari pemerintah, pengenalan draf undang-undang yang diusulkan oleh anggota parlemeh, mosi tidak percaya, hak untuk bertanya, penyelidikan dan pendalaman materi kebijakan, dan sebagainya.

 

Bagaimana dengan DPR?

Merujuk kepada tata tertib DPR RI Nomor 1 Tahun 2014, pendokumentasian rapat parlemen diatur dalam Pasal 272 s/d pasal 276 dengan judul Risalah, Catatan Rapat dan Laporan Singkat dengan pemetaan sebagai berikut:

Tabel 7. Pengelolaan Dokumen Persidangan di DPR RI

Jenis dokumen Definisi Fungsi Otorisasi dan perubahan Metode pencatatan Format dokumen Waktu produksi
Risalah rapat Catatan rapat lengkap (verbatim) untuk paripurna, paripurna luas biasa, raker, RDP, RDPU, Rekaman proses pelaksanaan rapat Ketua rapat/ Sekretaris rapat a.n. ketua rapat Tidak dijelaskan Cetak dan file elektronik Tidak diatur
Catatan rapat Catatan singkat  hasil rapat seluruh AKD Rekaman proses dan pelaksanaan rapat Ketua rapat/ Sekretaris rapat a.n. ketua rapat Tidak dijelaskan Cetak dan file elektronik Setelah sidang dilaksanakan
Laporan singkat Kesimpulan dan keputusan rapat seluruh AKD Rekaman proses dan pelaksanaan rapat Ketua rapat/ Sekretaris rapat a.n. ketua rapat Tidak dijelaskan Cetak dan file elektronik Setelah sidang dilaksanakan

 

Jika dibandingkan dengan Parlemen Kanada yang sudah mengadopsi hansard system, maka DPR perlu memperkuat pendokumentasian persidangan dengan menyusun aturan yang lebih baik.

Dalam Peraturan Tata Tertib DPR, Meskipun risalah sidang harus disediakan, akan tetapi dalam pasal 276 Tata Tertib DPR terdapat klausul yang membolehkan untuk tidak mencatat pembicaraan atau keputusan dalam rapat tertutup. Mengacu pada UU KIP, hal ini bertentangan dengan mekanisme pengecualian. Bahwa pengecualian informasi bukan berarti tidak mendokumentasikan. Jika DPR hendak mengecualikan informasi publik, maka yang dikecualikan adalah dokumennya. Pendokumentasiannya sebagai bukti otentik maka harus dijaga. Juga, setiap keputusan DPR akan berdampak kepada publik, tidak bisa dilupakan begitu saja.

Selain mengatur mengenai pendokumentasian, tata tertib juga mengatur mengenai akses terhadap dokumen risalah. Ada beberapat kategori akses terhadap risalah.

  1. Risalah rapat terbuka dipublikasikan secara proaktif.
  2. Risalah rapat yang bersifat tertutup dan tidak menyatakan rahasia boleh diminta dengan persetujuan pimpinan alat kelengkapan.
  3. Risalah rapat yang bersifat tertutup dan bersifat rahasia tidak boleh diakses dan tertutup.

Pendokomentasian dan Publikasi Kegiatan Anggota DPR di Luar Gedung

Hal krusial lain adalah pendokumentasian dan publikasi kegiatan Anggota DPR di luar gedung. Sebagai pertanggungjawaban politik, tentu ini harus dilakukan. Bagi konstituen/pemilih/warga negara penting untuk mengetahuai siapa wakil dan bagaimana mereka bekerja.

Sayangnya, ini hal yang diperhatikan oleh sedikit anggota DPR. Meskipun setiap anggota dibuatkan blog pribadi. Akan tetapi kontennya kurang diperhatikan bahkan sebagian besar diabaikan. Hal ini terjadi karena sistem pendukung anggota DPR, yaitu para Tenaga Ahli dan Asisten Pribadi anggota DPR kurang mendapatkan peningkatan kapasitas mengenai pendokumentasian.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah paradigma terbuka bagi Anggota DPR itu sendiri. Tidak semua anggota DPR memiliki paradigma dan keberanian untuk terbuka dan mempublikasikan kegiatan-kegiatannya.

Pendokumentasian: Antara Rezim Arsip dengan Rezim KIP

Pendokumentasian informasi menjadi bagian penting bagi badan publik. Dokumentasi, arsip menjadi bukti kerja badan publik. Jika ada kegiatan tanpa ada dokumentasinya maka kredibilitas sebuah badan publik dapat dipertanyakan.

Pendokumentasian kegiatan erat kaitannya dengan kebutuhan tenaga arsiparis pada unit pencipta arsip, yaitu sub bagian. Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari 70 kebutuhan tenaga arsiparis, DPR hanya mampu menyediakan 14 tenaga arsiparis. Ini tentu kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh DPR jika hendak meningkatkan sistem tata kelola informasi publik.

Antara unit arsip dan PPID memiliki kebutuhan yang sama terhadap dokumen. Jika unit arsip atau arsiparis membutuhkan dokumen untuk pelayanan internal dan pengarsipan, maka PPID membutuhkan dokumen untuk pelayanan  informasi. Berdasarkan temuan IPC, di banyak badan publik arsip dengan PPID seringkali berbeda pendapat mengenai informasi yang dikecualikan. Unit arsip berkecenderungan untuk menutup informasi sementara PPID berkecenderungan untuk membuka informasi. Ada persepsi yang perlu disamakan. Hal ini pada akhirnya juga berdampak pada otorisasi status terbuka pada dokumen-dokumen yang terdapat pada badan publik.

Terdapat dua hal yang dapat dilakukan DPR untuk menghindari perbedaan persepsi antara rezim arsip dan rezim KIP:

  1. Mengintegrasikan format Daftar Informasi Publik dengan format Daftar Arsip Dinamis. Ini sudah dilakukan oleh Arsip Nasional Indonesia dan cukup efektif dilaksanakan.
  2. Menyamakan mekanisme pengecualian informasi atau uji konsekuensi, karena prinsip dasar pengecualian dalam UU KIP dan UU Arsip sama.
  3. Mengintegrasikan otoritas arsip dengan otoritas PPID untuk mengecualikan informasi publik.

Integrasi antara Arsip dan PPID ini juga menuntut integrasipada struktur PPID. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh PPID dalam pelayanan informasi adalah tidak tersedianya dokumen karena dokumennya tidak tersimpan dengan baik atau proses ototisasi birokrasi yang rumit. Pengintegrasian tenaga arsip atau fungsi dokumentasi dalam struktur PPID bisa dijadikan sebagai salah satu solusi.

Memperkuat Mekanisme Klasifikasi Informasi dan Uji Konsekuensi

Klasifikasi informasi

Aspek perbaikan klasifikasi informasi dapat dimulai dari penyusunan DIP yang lebih tertata dan terbaharui dengan cepat. Daftar informasi publik di DPR RI tentu berbeda dengan lembaga-lembaga lain, karena DPR adalah tempat kebijakan diproses dan dihasilkan. Dengan demikian, dokumen yang dikuasai oleh DPR terdiri dari dokumen pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran dan dokumen kegiatan di luar pelaksanaan fungsi DPR atau kegiatan kelembagaan.

Daftar Informasi Publik yang diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2010 diletakkan sebagai lampiran. Jika merujuk pada Perki 1/2010 seharusnya DIP merupakan dokumen yang terpisah dan ditetapkan berdasarkan keputusan Sekjen karena DIP merupakan dokumen yang hidup dan terus diperbaharui sesuai dengan kebutuhan DPR. Menurut IPC, setidaknya setiap satu kali masa sidang ada pembaharuan DIP.

Disamping itu, fomat DIP sebagaimana dalam lampiran PerDPR 1/2010 tersebut tidak mengikuti format yang disesuaikan dengan Perki 1/2010. Hal ini mengkibatkan kesulitan koordinasi dalam mencari di mana dan oleh siapa informasi itu disimpan. Ini berpengaruh terhadap lambannya pelayanan informasi publik, karena desk pelayanan harus mencari-cari dulu sebelum memperoleh informasi. Lain halnya jika DIP lengkap dan selalu diperbaharui, desk pelayanan akan dengan cepat memberikan informasi karena sudah jelas letak informasi tersebut berada.

SOP DPR yang mengatur soal ini berjudul SOP Penyerahan Informasi dari Unit Kerja. Dalam SOP ini arus informasi dari unit kerja hingga PPID menggunakan istilah “rekap atas informasi yang masih digunakan” bukan istilah Daftar Informasi Publik. Masih belum jelas, apakah  rekap tersebut diserahkan oleh unit kerja kepada PPID atau pada Bidang Arsip Dokumentasi. Juga masih belum jelas apa yang dimaksud dengan “menyajikan” apakah kepada publik atau untuk keperluan internal.

Dalam SOP lain yang berjudul Pencarian Informasi dimulai dari pejabat eselon III dibawah PPID kepada Kapala Bidang Data dan Sarana Informasi, Kepala Bidang Arsip dan Dokumentasi, Kabid Perpustakaan atau Kabag Unit Kerja pemilik informasi. Mekanisme ini menunjukkan bahwa PPID  memperoleh informasi setelah dikumpulkan oleh kepala bidang yang disebutkan di atas. Dengan menggunakan mekanisme ini, maka berdampak pada efektifitas dan efisiensi pelayanan. Karena dengan permintaan ini membutuhkan dua kali waktu kerja. Desk pelayanan seharusnya bisa langsung bisa meminta kepada unit kerja bersangkutan. Ini bisa diwujudkan jika struktur PPID terbentuk.

Uji konsekuensi

Pada prinsipnya informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan tebatas. “Ketat” artinya melalui mekanisme uji konsekuensi dan “tebatas” artinya tidak semua informasi publik dikecualikan atau hanya sedikit saja serta ada batasan waktu tertentu.

Pengujian atas konsekuensi merupakan persyaratan sebelum badan publik menyatakan bahwa informasi tersebut dikecualikan. Dalam uji konsekuensi badan publik menguji konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan serta setelah dipertimbangkan dengan seksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. (Pasal 15 Perki 1/2010). Pertimbangan utamanya adalah kepentingan publik.

Konsekuesi yang timbul juga harus ada dasarnya dalam UU, supaya tidak terjadi subjektifitas dalam menutup atau mengecualikan informasi publik. Oleh karena itu KI memberikan panduan bahwa dalam mengecualikan informasi publik wajib mengacu pada pasal 17 UU KIP atau UU lain sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf j UU KIP. Dalam melakukan uji konsekuensi PPID dilarang menggunakan ketentuan lain di luar UU.

Pada pasal 5 PerDPR 1/2010 menyebutkan bahwa DPR dan Setjen DPR berhak menolak memberikan informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang ditetapkan DPR dan Setjen DPR dan menolak permohonan dan menolak memberikan informasi yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang dan ketentuan yang dutetapkan DPR dan Setjen DPR. Frasa “ketentuan yang ditetapkan DPR dan Setjen DPR” dalam hal ini berpotensi menimbulkan multitafsir dan subjektifitas dalam mengecualikan dan menolak informasi publik. Hal ini bertentangan dengan Perki 1/2010. Pengecualian dan penolakan hanya bisa dilakukan jika ada pertimbangan yang sesuai dengan undang-undang, bukan peraturan di bawahnya.

PerDPR 1/2010 meletakkan informasi yang dikecualikan sebagai bagian dari lampiran peraturan. Pelampiran ini menimbulkan masalah. Informasi yang dikecualikan memiliki jangka waktu tertentu dan pengecualian terhadap informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU KIP sehingga mencantumkan informasi dikecualikan sebagai suatu kepastian dan tanpa ada mekanisme koreksi dapat dipandang sebagai bentuk menghalangi hak warga negara untuk memperoleh informasi publik.

Dalam lampiran tersebut juga dinyatakan bahwa informasi hasil rapat yang dinyatakan tertutup oleh DPR dinyatakan sebagai informasi tertutup. Jika merujuk pada Perki 1/2010, tidak serta merta informasi hasil rapat tertutup merupakan informasi tertutup. PPID wajib menguji konsekuensi terhadap informasi tersebut, apakah ada kepentingan publik yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundangan, disamping terdapat jangka waktu pengecualian.

Dalam melaksanakan uji konsekuensi terdapat SOP yang berjudul Uji Konsekuensi. PPID menugaskan kepada pejabat eselon III dibawahkan untuk melaksanakan uji konsekuensi bersama dengan Biro Hukum dan Pemantauan Pelaksanaan Undang-undang. Pelaksanaan uji konsekuensi dengan melibatkan sedikit pihak ini beresiko. Karena keputusan yang dihasilkan berpotensi dimentahkan kembali di tingkat sekjen atau pimpinan DPR. Keputusan mengenai informasi yang dikecualikan adalah keputusan kelembagaan, sehingga keterlibatan pimpinan DPR, Sekjen dalam tim pertimbangan diperlukan untuk memperoleh legitimasi yang kuat.

Perbaikan Pelayanan Informasi Publik

Sementara kewajiban pelayanan informasi publik merujuk pada UU KIP, PP 63/2010 dan Perki 1/2010. Pada prinsipnya informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat, tepat waktu, biaya ringan dan cara sederhana. Ada dua metode yang dapat dilaksanakan badan publik untuk pelayanan ini, yaitu mengumumkan informasi sesuai klasifikasinya dan menyediakan informasi berdasarkan permohonan informasi publik.

Dalam Perki 1/2010 dijelaskan bahwa badan publik melalui PPID mengumumkan informasi yang wajib dimumkan secara berkala dan informasi yang wajib diumumkan secara serta merta sekurang-kurangnya melalui situs resmi dan papan pengumuman yang mudah diakses oleh masyarakat, dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, mudah dipahami serta dapat dipertimbangkan penggunaan bahasa yang digunakan penduduk setempat.

Bahkan pada situasi tertentu, badan publik wajib mengumumkan prosedur evakuasi keadaan darurat, dan menyediakan sarana dan prasarana yang menjadi bagian dari penyebarluasan informasi keadaan darurat.

Dalam melaksanakan penyediaan dan layanan informasi berdasarkan pemohonan, PPID menyediakan sejumlah formulir tertentu, meregistrasi dan berinteraksi dengan pemohon. PPID juga wajib melayani pemohon dari berbagai jalur permintaan: datang langsung, via telpon, email, surat dan faximili. Jika permohon tidak puas, maka PPID juga memberikan informasi bahwa pemohon punya hak untuk mengajukan keberatan.

Tabel 8. Survey IPC terhadap ruang pelayanan PPID

No Indikator Status
1 mengumumkan ringkasan permohonan & keberatan informasi publik Diumumkan sebagian (keberatan tidak diumumkan)
2 mengumumkan informasi mengenai Tata Cara Permohonan Informasi Publik Diumumkan
3 informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan wewenang pejabat Badan Publik Diumumkan
4 menyediakan Daftar Informasi Publik (DIP) yang berada dibawah penguasaan Badan Publik Diumumkan sebagian (lampiran PerDPR 1/2010)
5 menyediakan loket/ruang khusus layanan informasi Tersedia
a. Meja, kursi, kursi tunggu dan sarana penerimaan (desk information) Tersedia
b. Formulir Permohonan Informasi Tersedia
c. Daftar Register Permohonan Tersedia
6 menyampaikan laporan layanan Informasi Publik tahunan ke Komisi Informasi Pusat Laporan tersedia sebagian. Melaporkan ke Komisi Informasi tidak ada data.
7 mengembangkan sistem layanan informasi untuk memudahkan masyarakat mengakses Informasi Publik Ya
a. Akses layanan terhadap Informasi Publik Tersedia (www.dpr.go.id), papan pengumuman terbatas
b. Akses layanan terhadap Permohonan Informasi Publik Tersedia (www.ppid.dpr.go.id)
8 memiliki maklumat pelayanan informasi publik Tersedia di website, papan pengumuman terbatas
9 telah menunjuk PPID atau Pejabat yang mempunyai tugas dan fungsi untuk mengelola informasi publik yang tertuang dalam Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang? Ya, dengan catatan
10 telah memiliki struktur PPID di Badan Publik Ya, dengan catatan
11 PPID dibantu pejabat fungsional Ya, dengan catatan
12 koordinasi PPID dengan Unit Kerja
a. Rapat koordinasi yang secara rutin terjadwal Tidak ada data
b. Surat Menyurat Tidak ada data
c. Bentuk komunikasi lain yang dapat dibuktikan Tidak ada data
13 telah melakukan tugas dan tanggung jawab dalam
a. Pengujian konsekwensi Tidak ada data
b. Pertimbangan tertulis atas setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik Tidak ada data
14 melakukan penyimpanan, pendokumentasian dan pengamanan informasi publik
a. Manual Tidak ada data
b. Digital Tidak ada data
15 Menetapkan tarif biaya penyalinan dokumen Tidak ada data

 

Mengacu pada indikator yang ada pada kolom di atas, PPID DPR sudah cukup mumpuni untuk melaksanakan pelayanan informasi publik. Jika dilihat laporan rekapitulasi permintaan informasi publik melalui PPID, maka sudah cukup banyak permintaan. Setiap tahun bertambah jumlah dan jenis dokumen/informasi yang diminta.

Terdapat dua SOP yang mengatur interaksi antara PPID DPR dengan pemohon informasi, yaitu SOP Pelayanan Informasi dan SOP Pemberian Informasi Publik. Kedua SOP tersebut mengatur hal yang sama, yaitu interaksi dari pemohon sejak mengajukan permintaan informasi sampai memperoleh informasi atau tidak diberikan. Menurut pandangan IPC, kedua SOP tersebut seharusnya bisa disatukan.

Dari sisi substansi, dalam SOP tersebut belum memberikan panduan kepada PPID atas alasan apa informasi tidak diberikan. Jika merujuk pada UU KIP, PPID dapat menolak memberikan informasi jika informasi tersebut dikecualikan berdasarkan hasil uji konsekuensi, informasi tersebut belum didokumentasikan, atau informasi tersebut tidak di bawah kekuasannya berdasarkan DIP yang diperbaharui.

Tabel 9. Rekapitulasi Permintaan Informasi Publik DPR RI

Jenis Informasi Yang Diminta Frekuensi
2014 2015 2016
Risalah pembahasan RUU 58 462 918
Naskah Akademik 22 177 421
RUU 14 42 93
UU 4 45 31
SOP/Prosedure Kebijakan 8 5 2
Alamat DPR RI 1
PPID 5 1
Keuangan 2 9 12
Profil Anggota DPR/Pejabat Setjen 1 11 19
Username dan pw ppid 2
Laporan DPR/Sekjen 1 4 9
Laporan lembaga lain kepada DPR 2 2
Risalah rapat 8 33 76
Lowongan kerja 1 2 1
Risalah voting 1
Permohonan wawancara 3 3 1
Kelembagaan Setjen 1 1 2
Daftar Hadir Anggota DPR 1 3 2
MoU lembaga lain 1 1
Dokumen lain (Video, audio dan grafis) 1 6 9
Aspirasi Masyarakat 1 2
Rencana kegiatan dam laporan kerja/kegiatan 2 1 4
Peraturan dan Keputusan DPR/AKD/Setjen 1 16 21
DIM RUU 2 11
Prolegnas 4 2
Jadual Kegiatan DPR 2
Aduan ke MKD 1
Risalah Anggaran 34
Pandangan fraksi 1
DIM Fraksi 3
Program fraksi 1
Permohonan yang bisa dilimpahkan ke BP lain 2
141 878 1677

 

Melihat tabel di atas dapat disimpulkan bahwa preferensi publik dalam meminta informasi, terutama informasi yang diumumkan secara berkala dan informasi yang tersedia setiap saat, adalah PPID DPR. Melihat jumlah dan jenis informasi yang berkembang, kesadaran publik terhadap detail dokumen dan informasi yang diminta juga semakin berkembang.

Ada sejumlah temuan yang menggambarkan pelayanan informasi di DPR secara umum:

  1. Dalam rekap permohonan informasi tahun 2014 terdapat pencantuman informasi pribadi, yaitu nama, alamat, dan nomor handphone pemohon. Informasi pribadi seharusnya ditutup kecuali yang bersangkutan memberikan izin. Ketidakcermatan ini pada akhirnya diperbaiki. Pada rekap permohonan informasi tahun berikutnya tidak dicantumkan lagi informasi pribadi.
  2. Banyak permohonan ulang disampaikan oleh pemohon informasi. Hal ini menunjukkan kurang adanya standar respon dari desk pelayanan informasi, baik standar komunikasi maupun standar waktu. Di saat yang sama, aplikasi yang disediakan oleh PPID tidak menyediakan line untuk mengadukan keberatan. Sejumlah pemohon itu menyampaikan keluhannya pada formulir informasi yang diminta. Laporan rekap permohonan informasi tampaknya ditulis apa adanya sehingga banyak permohonan berulang tanpa proses verifikasi.
  3. Tidak jelasnya definisi “diproses” dan “selesai.” Dua kategori tersebut masih menimbulkan multitafsir. Bahkan terdapat pemohon informasi yang mengkomplain tidak menerima informasi padahal statusnya selesai. Diproses bisa diganti dengan istilah yang lebih memberikan kepastian dan pengertian bagi pemohon, misalnya “masih dalam tahap pencarian,” “sedang disalin,” “sedang dipindai,” atau “dokumen telah tersedia.”
  4. Banyak informasi diminta secara berulang. Misalnya risalah persidangan, naskah akademik dan naskah RUU Partai Politik. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan publik terhadap dokumen tersebut cukup tinggi. Kesibukan pelayanan terhadap permintaan yang berulang seharusnya dapat diatasi dengan mengunggah dokumen tersebut pada laman website DPR. Beragamnya istilah yang digunakan oleh pemohon informasi juga bisa diatasi dengan membuat panduan ceklist Daftar Informasi Publik untuk memudahkan pemohon sekaligus petugas pelayanan.
  5. Terdapat sejumlah permintaan informasi yang tidak dikuasai oleh DPR. Misalnya, Peraturan Presiden. Dalam statusnya tercatat “dibatalkan.” Merujuk pada UU KIP, PPID DPR seharusnya bisa meneruskan permohonan tersebut kepada instansi terkait.
  6. Masih minimnya penyuluhan masyarakat mengenai pelayanan informasi publik.

 

Pelayanan Proactive Disclosure

Disamping pelayanan melalui desk, terdapat juga pelayanan melalui website dan papan pengumuman. Pembahasan website akan dijelaskan dalam bab proactive disclosure dari tulisan ini. Sementara itu, saat ini DPR belum memiliki papan pengumuman yang mudah diakses oleh pengunjung, baik di dalam maupun di sekitar gedung DPR. Padahal publik juga perlu tahu, setidaknya apa kegiatan DPR hari ini. Dengan adanya papan pengumuman tersebut setidaknya mempermudah pelayanan informasi.

DPR menetapkan konsep parlemen modern dalam rencana strategisnya. Salah satu indikatornya adalah penguatan transparansi dan penggunaan teknologi informasi. Proactive disclosure merupakan informasi yang wajib diumumkan oleh DPR tanpa harus diminta oleh publik karena informasi tersebut terdapat kepentingan publik yang tinggi. Informasi yang berkaitan dengan legislasi terdapat kepentingan publik yang luas di dalamnya. Berikut merupakan hasil rekapitulasi IPC dalam memantau pelaksanaan proactive disclosure.

Berdasakan evaluasi IPC terhadap proactive disclosure, kami menemukan publikasi informasi proactive belum sistematis. Hal ini kemungkinan terjadi karena tidak adanya panduan dalam pengelolaan proactive disclosure. Jumlah publikas seperti risalah sidang dan laporan singkat cukup meningkat dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, tidak ketahui peningkatan tersebut berapa persen dari total jumlah rapat yang dilaksanakan oleh DPR.

Komisi-komisi cukup responsive, selain Komisi VI. Terakhir, komisi tersebut mengunggah informasi pada 2015.

Sedikit anggota DPR yang mencantumkan kontak yang bisa dihubungi dalam website DPR. Padahal informasi ini mendasar bagi konstituen. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di lampiran dari makalah ini

Memanfaatkan Inisiatif Open Parliament[3]

Untuk meningkatkan daya ungkit parlemen modern, salah satu inisiatif global dapat dimanfaatkan oleh DPR, yaitu Open Parliament. Inisiatif ini dideklarasikan pada 2012 dan didukung oleh 180 organisasi dari 82 negara. Dalam deklarasi tersebut. secara garis besar ada 4 hal yang didorong untuk mewujudkan parlemen yang terbuka. Berikut ini kami jelaskan sekaligus menyesuaikan dengan konteks Indonesia:

Keterlibatan masyarakat

Publik seharusnya dapat berpartisipasi langsung dalam proses legislasi, pengawasan dan penganggaran di DPR supaya kesenjangan antara konstituen dan DPR dapat dikurangi. Keterlibatan ini dapat diwujudkan dengan cara: (a) membuka persidangan, menyiarkannya dan mempublikasikan dokumen hasil persidangan tersebut (b) mempublikasikan dokumen-dokumen draf kebijakan dan memungkinkan publik untuk memberikan komentar dan berdiskusi secara daring (c) membuka pelayanan yang lebih bisa diakses dan mampu menerima partisipasi masyarakat (d) menyediakan waktu sidang yang membahas aspirasi tertulis dari masyarakat pada setiap komisi (e) menyediakan petisi bagi masyarakat untuk memberikan persetujuan atau tidak terhadap satu usulan kebijakan tertentu.

Akses informasi publik

Sebagai lembaga yang menyusun dan membahas kebijakan, produk utama DPR adalah informasi dalam berbagai bentuk. Di Indonesia sudah menerapkan UU Keterbukaan Informasi Publik (14/2008) dan UU Pelayanan Publik (25/2009). Kedua UU tersebut memberi panduan bagi DPR untuk pengelolaan dan pelayanan informasi. Akses informasi publik dapat diwujudkan dengan cara: (a) pembentukan Pejabat Pengeloa Informasi dan Dokumentasi (b) pembentukan ruang pelayanan informasi dan partisipasi masyarakat (c) pembentukan panduan pengelolaan dan pelayanan informasi publik (d) menyusun daftar informasi publik (e) kebijakan mengenai pengecualian informasi publik.

Teknologi dan inovasi

Tujuan dari penggunaan teknologi informasi supaya publik semakin mudah mengakses informasi di DPR. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hingga 2016 terdapat 132,7 juta pengguna internet. Ini merupakan kesempatan bagi DPR untuk meningkatkan keterlibatan dan akses informasi publik. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan (a) mengoptimalkan website untuk meningkatkan publikasi dokumen secara lebih proaktif (b) meningkatkan sistem komunikasi dua arah (c) penguatan sumberdaya pelayanan informasi publik.

Akuntabilitas politik

Akuntabilitas politik diperlukan untuk meningkatkan pengawasan masyarakat terhadap kinerja parlemen. Untuk mewujudkan ini beberapa hal dapat dilakukan: (a) membentuk forum akuntabilitas kinerja parlemen, baik di tingkat pusat maupun di dapil, yaitu pertemuan antara DPR dengan masyarakat untuk membahas isu-isu seputar pelaksanaan tugas dan fungsi DPR (b) membentuk tim internal untuk memastikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan parlemen berjalan dengan baik.

Rekomendasi

Berdasarkan kondisi yang dihadapi DPR di atas, berikut merupakan rekomendasi IPC untuk perbaikan tata kelola informasi di DPR RI:

 

Kelembagaan Tata Kelola n  Revisi Peraturan DPR No. 1 Tahun 2010 tentang KIP di DPR RIn  Restrukturisasi PPID yang sinkron dengan Unit Arsip dan melibatkan tenaga dokumentasi.

n  Pembaharuan Daftar Informasi Publik

n  Ikutserta dalam pemeringkatan informasi publik.

n  Perbaikan pengelolaan dokumen persidangan, diantaranya dapat mengadopsi hansard system

n  Pengaturan sistem dokumentasi persidangan yang lebih baik.

n  Pengaturan sistem dokumentasi dan publikasi bagi Anggota DPR.

 

Pelayanan

n  Pembenahan SOP pengelolaan dan pelayanan informasi publik

n  Perbaikan laporan pelayanan informasi publik

n  Penambahan jumlah informasi proactif yang dipulikasikan via website

n  Mempercepat, dan memudahkan proses pelayanan informasi publik.

Infrastruktur Tata Kelolan  Penambahan peralatan pendokumentasian persidangan 

Pelayanan

n  Redesain website DPR yang lebih informatif dan komunikatif

SDM Tata Kelolan  Penambahan arsiparis untuk perbaikan pendokumentasian.n  Penambahan tenaga panitera/notulensi untuk pendokumentasian.

n  Pendidikan dan pengalokasian tenaga dokumentasi dan publikasi bagi anggota DPR.

 

Pelayanan

n  Bekerjasama dengan lembaga lain untuk peningkatan kualitas pelayanan informasi publik

Software Tata Kelolan  Pengembangan sistem informasi publik di internal DPR RI

Pelayanan

n  Penguatan aplikasi Sistem Informasi Legislasi untuk dibuka kepada publik

n  Kampanye keberhasilan keterbukaan DPR kepada publik di medsos

 

 

[1]     Disampaikan pada Seminar “Keterbukaan Informasi Publik,” 08 November 2017 di DPR RI.

[2]     Lihat selengkapnya di link berikut: http://www.ourcommons.ca/MarleauMontpetit/DocumentViewer.aspx?Language=E&Sec=Ch24&Seq=2&Print=2

[3]     Informasi lebih lanjut bisa dilihat pada link berikut: https://openingparliament.org/

Share your thoughts