“Masalah” Dalam Pendaftaran dan (Daftar) Calon Anggota DPR dan DPRD

Oleh: Sulastio

Berdasarkan Pengumuman KPU No. 214/KPU/IV/2013, Senin, 22 April 2013 pukul 16 adalah batas akhir parpol menyerahkan Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR RI di KPU, anggota DPRD Provinsi di KPU Propinsi dan anggota DPRD Kabuapaten/Kota di KPU Kabupataen/Kota.

Seperti yang sering disampaikan baik oleh para anggota KPU dan para pengamat melalui media massa partai – partai tersebut selalu menunggu batas akhir atau dalam istilah sepakbola di masa “injury time”. Kondisi ini serupa dengan penyerahan kelengkapan administrasi pada verifikasi parpol. KPU sendiri telah membuka penerimaan berkas DCS sejak tanggal       atau

Meminjam istilah arus mudik dan balik diprediksi “puncak kepadatan” ke12 parpol menyerahkan DCS akan berlangsung pada Hari Minggu 21 April dan Senin 22 April. Di sisi penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU, serentaknya partai – partai menyerahkan DCS ini tentu menimbulkan persolan tersendiri karena selain kehebohan yang sudah lazim terjadi karena biasanya penyerahan partai – partai yang menyerahkan dokumen tersebut seringkali diiringi oleh massa pendukungnya yang jumlahnya tidak sedikit.

Banyaknya dokumen dan waktu kedatangan yang hamper bersamaan juga praktis membuat KPU hanya mampu mencatat dan meregistrasi penerimaan dokumen tanpa dapat memeriksanya dahulu, walaupun terdapat masa perbaikan namun kondisi seperti ini tentu merugikan partai politik sebagai peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu karena waktu yang terbuang.Hal ini tetu harus diantisipasi dengan baik oleh KPU mengingat pada waktu yang bersamaan KPU juga sedang melaksanakan tahapan Pemutakhiran Data Pemilih dan Pemutakhiran Data Pemilih di Luar Negeri. (PKPU No. 6 Tahun 2013 ).

Selain proses pendaftaran DCS oleh parpol ke KPU menarik dicermati para calon atau kandidat anggota DPR RI dan DPRD yang masuk dalam DCS tersebut. Kalangan masyarakat sipil dalam beberapa Pemilu sebelumnya gencar mengkampanyekan penolakan mereka terhadap para politisi yang diindikasi “busuk”, selain itu para aktivis pejuang keterwakilan perempuan di politik juga jauh – jauh hari telah meminta kepada penyelenggara pemilu agar memberi sanksi bagi parpol yang tidak dapat memenuhi 30 % minimal caleg perempuan dalam daftar di setiap daerah pemilihan.

Desakan dan harapan tersebut haruslah dimaknai sebagai “pesan” dari masyarakat agar parpol dan KPU secara serius memperhatikan hal ini dan menjalankan setiap aturan yang ada di UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu dan sejumlah PKPU yang dibutanya, sebab para dari para calon tersebut akan terpilih sejumlah anggota berdasarkan kursi yang telah ditetapkan oleh KPU yaitu : 560 kursi untuk DPR RI,  2.137 kursi untuk DPRD Provinsi dan 17.560 kursi untuk DPRD Kab/Kota, mereka semua  akan merumuskan berbagai kebijakan yang menyangkut nasib masyarakat.

Kendatipun Pemilu kita bukan menggunakan system “Majoritarian” atau yang secara kurang tepat sering diiistilahkan sebagai “distrik” sejatinya penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak telah membuat banyak calon anggota DPR & DPRD berkampanye secara personal dan “merawat” dapilnya masing – masing. Hal ini pulalah yang saat ini terjadi pada kinerja para anggota DPR dan DPRD periode 2009 – 2014 walaupun Pemilu sesuai jadual baru akan berlangsung pada April 2014 atau 12 bulan dari sekarang namun focus dan perhatian beberapa anggota justru lebih banyak ke daerah yang akan akan menjadi dapilnya di Pemilu 2014 hal ini tentu akan menjadi dilema dan kendala bagi anggota yang terpaksa berpindah dapil karena di satu sisi harus menjalankan fungsi representative di dapilnya yang sekarang akan tetapi juga harus membuat persiapan di dapil yang baru.

Beberapa kasus pada pemilu 2009 menunjukkan anggota yang berpindah dapil tidak terpilih kembali, kendatipun auatu parpol tidak berkurang perolehan kursinya pada dapil tersebut karena kusinya diperoleh dari suara parpol tersebut atau calon lain namun pada sisi penjangkauan konstituen akan menjadi problem besar sebab semenjak system proporsional dengan daftar calon terbuka diberlakukan dan ditambah dengan penentuan kursi berdasarkan perolehan suara terbanyak beberapa anggota DPR dan DPRD secara aktif menggarap dapilnya.  Ide tentang dana Dana Aspirasi yang mirip program “pork barrel budget” di Amerika Serikat serta pembentukan kantor di dapil ketika pembahasan RUU yang kemudian menjadi UU No. tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pada prinsipnya mengarah ke perhatian anggota terhadap dapilnya.

Terlepas dari kontroversi soal Dana Aspirasi namun perhatian terhadap dapil merupakan langkah maju dalam fungsi representasi di Indonesia. Memang relasi yang terbentuk masih berkutat pada persoalan – persolan yang bersifat transaksional seperti : bantuan pendanaan, asuransi, pembangunan fisik dan lainnya dan belum menyentuk ke substansi tugas dan kewenangan anggota DPR dan DPRD, tentu menjadi tugas anggota tersebut dan parpol untuk memberikan pemahamn kepada konstituen tentang tugas dan peran yang paling mungkin dijalankan anggota DPR dan DPRD sebagai bagian dari pendidikan politik.

Beberapa parpol dalam keterangannya di media massa secara tegas menyebutkan bahwa DCS didominasi oleh anggota DPR dan DPRD yang saat ini sedang menjabat hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan factor kedekatan anggota dewan dengan konstituennya pada suatu dapil sebagai sebuah persepsi tentu hal ini tidak salah akan tetapi penting dan ini juga penting bagi parpol untuk memastikan agar persepsi tersebut tidaklah keliru. Untuk itu parpol selayaknya memiliki ukuran penilain terhadap hal tersebut dan bahkan lebih luas adalah ukuran penilain terhadap kinerja seorang anggota dewan sebagai dasar untuk memutuskan apakah yang bersangkutan layak untuk dicalonkan kembali dan bukannya malah berpotensi merugikan suara parpol di suatu dapil, hal ini juga sekaligus dapat menjadi argumentasi bagi parpol bila ada pertanyaan atau gugatan terhadap dicalonkannya seseorang pada suatu dapil.

Tentu beberapa indicator diatas tidak otomatis menjamin para calon adalah yang terbaik namun jika parpol juga menambahkan soal integritas tentu hal ini akan menjadi nilai positif masyarakat terhadap parpol yang belakang menurun akibat diterpa beberapa kasus dan jika hal tersebut telah dipenuhi tidak salah apabila parpol juga memasukkan prasyarat sesuai kepentingannya seperti : loyalitas dan kontribusi terhadap parpol.

Terakhir keterbukaan proses penyusunan DCS dan DCT yang dilakukan parpol, verifikasi oleh KPU dan pengawasannya oleh Bawaslu akan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam memberi informasi sebagai langkah awal control public terhadap wakilnya.

Share your thoughts