Berlomba Cari Caleg dan Cari Partai
Oleh: Sulastio
Calon Legislatif (Caleg) dan Partai Politik seolah berlomba, tapi bukan berlomba untuk memperjuangkan dan mengangkat nasib rakyat kecil, masyarakat kelas bawah yang setiap hari harus menanggung beban hidup yang makin berat akibat berbagai kebijakan yang dibuat para legislator dan koleganya di pemerintahan.
Kita lihat saja hari ini berbagai komentar dan pendapat mereka para caleg baik yang incumbent maupun yang benar – benar baru terkait berapa anggaran yang mereka siapkan untuk bertarung di Pemilu 2014, angka sudah bukan lagi ratusan juta akan tetapi bisa milyar terutama untuk yang akan maju ke Senayan (DPR RI), jumlah yang juga besar setidaknya akan dibelanjakan oleh koleganya untuk maju di DPRD Provinsi dan Kab/Kota. Jumlah yang lebih kecil pada angka ratusan juta juga akan dikeluarkan oleh kolega mereka yang akan maju sebagai calon anggota DPRD Propinsi serta Kab/Kota, secara logika dana itu buknalah sumbangan atau infak akan tetapi investasi yang pasti akan mereka pikirkan untuk mengembalikannya, ini yang menjadi ancaman serius terbukanya peluang korupsi di APBN maupun APBD. Ini belum ditambah dengan kewajiban mereka para anggota terpilih nanti untuk menghidupi partainya di setiap tingkatan, di tengah belum sulitnya dan belum kreatifnya parpol mencari pendanaan maka langkah membebankan hal tersebut kepada para anggota legislative.
Hal inilah yang kemudian seringkali menjadi jebakan bagi para anggota DPR dan DPRD, persiapan yang kurang matang terutama dari sisi pengtahuan dan pemahamn tentang situasi dan mekanisme kerja di DPR dan DPRD membuat beberapa kemudian terjebak atau bahkan menjebakkan dirinya semata karna ingin dianggap “berjasa” bagi partainya atau bahkan secara sadar memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentungan dirinya. Nah jika kader partai saja yang mungkin sudah menjadi anggota sekitar 5 tahun belum diarasa cukup memahami hal tersebut padahal mereka punya kesempatan untuk berdiskusi dengan koleganya sesama partai yang telah lebih dulu duduk di lembaga legislative, bagaimana dengan calon yang benar – benar baru dengan berbagai latar belakang hanya karena yang bersangkutan dipandang populer atau memiliki banyak resources. Pandangan ini tentu tidak salah dan keliru bila calon tersebut memang secara sadar ingin “memanfaatkan” partai agar bisa masuk ke lembaga legislative tentu saja dengan target tertentu atau sebaliknya parpol dengan sadar hanya ingin mendulang sebanyak – banyaknya karena adanya ketentuan ambang batas suara sah nasional 3,5 % dan rencana untuk mengusung calon pada Pemilu Presiden. Pertanyaannya kemudian, bagaiman dengan nasib Parliament kita ke depan ? Jika caleg dan parpolnya sudah sama – sama tidak perduli akan hal ini !
Penentuan perolehan kursi berdasarkan perolehan suara yang terbanyak yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa 23 Desember 2008 tak pelak membuat parpol harus mendulang perolehan suara dengan memasang figure yang dipandang mampu menjadi pendulang suara. Konsekuensi inilah yang kemudian menjadi pencetus bagi parpol untuk mendahulukan calon luar partai sepanjang yang bersangkutan memilki resources yang memadai untuk membiayai kampanye dan atau figure populer yang dikenal masyarakat, selain sisi positif bahwa calon tersebut lebih dikenal dan dekat dengan public namun tak pelak inilah awal dari mulai ditinggalkannya sejumlah kader partai bahkan para kader yang telah berjunag bersusah payah membesarkan partai dan mungkin telah bekerja untuk konstituen di suatu daerah. Ironi memang tapi itulah fakta yang kita lihat hari ini ketika sejumlah parpol sibuk mengusulkan sejumlah nama untuk dimasukkan dalam DCS.
Ukuran untuk menempatkan seorang caleg bukan lagi hasil kerjanya di konstituen atau prestasi kerjanya di Legislatif maupun Eksekutif bagi petahana akan tetapi berapa uang yang dimiliki dan atau seberapa besar tingkat kepopuleran dari calon tersebut.
Hasil Pemilu 2009 harusnya menjadi pengalaman dan pelajaran bagi kita semua, dengan 71 % anggota adalah “muka baru” dan sebaahagian besar dari mereka direkrut bukan dari kader partai, menghasilkan kinerja DPR yang justru memburuk bahkan dari DPR periode sebelumnya (2004 – 2009). Dengan hasil kerja hingga saat ini yang baru menyelesaikan 30 an UU dengan waktu yang tersisa kurang dari 1,5 tahun kalender atau sekitar 6 masa siding dan diselingi agenda Pemilu Legislatif pada bulan April 2014 dan Pemilu Presiden sekitar bulan Juli sulit rasanya DPR mampu menyamai capaian realisasi pengesahan UU periode sebelumya (2004 – 2009) yaitu : 193 UU. Penyelesaian kasus Bank Century yang berlarut – larut bahkan Pusat Pelaporan dan Traksaksi Keuangan (PPATK) merilis bahwa DPR RI periode 2009 – 2014 adalah yang terkorup dengan 42, 71 %.
Berdasarkan data – data tersebut sudah selayaknya Parpol lebih selektif dalam menentukan caleg dengan melihat motivasi, dan hasil kinerjanya baik bagi yang saat ini telah duduk di lembaga eksekutif dan legislative maupun yang secara riil bekerja di konstituen. Dengan catatan tersebut tentun akan lebih mudah bagi calon untuk menjual dirinya dan mengingatkan pemilih tentang apa – apa saja yang telah dikerjakan dibandingkan dengan menarik perhatian pemilih dengan kampanye besar – besaran dan politik uang yang mahal harganya dan pada akhirnya harus dibayar mahal oleh rakyat karena uang yang seharusnya untuk kepentingan rakyat habis dikorupsi.
Pendekatan ini bukanlah pendekatann yang populer dan dapat dengan mudah dikerjakan dan bahkan jika dikalkulasikan dana yang duhabiskan dapat melebihi angka yang sekarang ini banyak disampaikan oleh para caleg sebagai dana kampanye yang berada di kisaran 500 juta hingga 6 milyar rupiah. Namun memberi kesempatan kader untuk bekerja untuk konstituen di daerah yang akan menjadi calon dapilnya nanti tentu saja banyak manfaatnya : pertama : si calon dapat belajar tentang salah satu bagian dari kerja dewan yaitu penjangkauan konstituen, kedua : anggota DPR dan DPRD dari dapil tersebut akan sangat terbantu kinerjanya, ketiga : mesin partai juga otomatis akan ikut bekerja karena akan menjadi fasilitator dan dukungan bagi program tersebut, keempat : hasil kerja yang berupa fisik misalnya dapat menjadi monument yang dapat diingat oleh konstituen sepanjang waktu.
Bahkan jika parpol dapat memanfaatkan jaringannya yang luas hingga ke ranting atau desa sebenarnya parpol atau calon tidak perlu membiayai sendiri program ini, sangat banyak program pembangunan infrastruktur dan non infrastruktur baik yang didanai oleh APBN maupun APBD yang turun hingga ke desa – desa sehingga dengan kerjasama yang baik antara calon, parpol dan anggota parpolnya yang kebetulan sedang menjabat kampanye Pemilu Legislatif dan Pemilu Kepala Daerah dapat dilakukan jauh – jauh hari tanpa perlu harus menunggu pengumuman tahapan oleh KPU. Semoga ide dan usul ini dapat menjadi pertimbangan oleh calon dan parpol sehingga kita dapat memutus mata rantai politik uang dan mendapatkan calon anggota legislative yang telah teruji bekerja di konstituen dan bukan hanya sekedar calon dadakan yang bahkan motivasinyapun kita terkadang tidak paham.