Laporan Akhir Tahun “Catatan dan Evaluasi Kinerja DPR RI dalam Menjalankan Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, Fungsi Pengawasan dan Fungsi Diplomasi Tahun 2023
Ada 18 RUU Prioritas Tahun 2023 yang disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah. Dari jumlah tersebut 15 RUU merupakan RUU kumulatif terbuka. Pada praktiknya, pembentukan RUU kumulatif terbuka, minim dari partisipasi dan dibentuk dalam waktu yang relatif singkat. UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya mengatur syarat-syarat khusus mengenai RUU kumulatif terbuka. Namun, DPR mengabaikan ketentuan ini dengan menempatkan revisi UU IKN (UU No. 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara) sebagai RUU kumulatif terbuka. Selain itu, ada sejumlah catatan lain pada revisi UU IKN ini. RUU yang telah disahkan dan mengandung sejumlah masalah secara materil lainnya adalah UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, UU No … Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di sisi lain, ada sejumlah RUU yang sebenarnya dibutuhkan namun tidak ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh oleh DPR dan Pemerintah, yaitu RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan, RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), RUU Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Pada aspek transparansi, sepanjang 2023, DPR tak kunjung berbenah. Keberadaan situs web DPR belum dimanfaatkan dengan baik untuk membangun transparansi pembentukan undang-undang. Padahal aturan mengenai hal tersebut ada di semua level. Mulai dari undang-undang, Peraturan DPR, hingga Peraturan Sekjen DPR.
Selain itu, DPR juga melaksanakan fungsi anggaran dengan cara memberikan persetujuan terhadap usulan RAPBN oleh Pemerintah. Lebih dari itu, DPR diharapkan mampu memastikan bahwa anggaran negara dapat berfungsi dengan benar, aspiratif, efektif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Karenanya, DPR seharusnya berpegang teguh pada prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan fungsi anggaran DPR.
IPC juga melakukan pemantauan terhadap rapat fungsi pengawasan DPR RI tahun 2023 dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Metode ini dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara langsung mengarahkan rapat fungsi pengawasan DPR RI. Pemantauan dilakukan terhadap 607 rapat fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh DPR RI selama setahun. Dari hasil pemantauan tersebut bisa mengetahui berapa kali rapat pengawasan yang dilakukan masing-masing alat kelengkapan dewan, mengetahui berapa instruksi DPR RI yang kemudian dilaksanakan oleh Pemerintah dan Isu apa saja yang dibahas oleh DPR RI.
DPR RI turut menjalankan fungsi diplomasi parlemen untuk mendukung pemerintah dalam menjalankan politik luar negeri Indonesia. Ini biasa disebut dengan multitrack diplomation yaitu diplomasi negara yang tidak hanya dijalankan melalui satu pintu pemerintah saja. Parlemen justru dianggap lebih lentur dan tidak terikat protokoler kenegaraan untuk berdiplomasi secara lebih terbuka demi kepentingan nasional. Terminologi diplomasi parlemen sering dianggap masyarakat sebagai kegiatan tidak jauh berbeda dengan agenda studi banding yang mengamburkan anggaran tanpa hasil yang konkret. Apalagi tingkat kepercayaan pada lembaga negara ini mendapat peringkat terbawah dari 10 lembaga negara di Indonesia.
Anggaran DPR untuk fasilitasi kerjasama antar parlemen tahun 2023 tergolong cukup besar dengan nominal Rp 4.969.803.000,00. Namun dengan anggaran tersebut DPR RI belum mampu menginternalisasikan hasil-hasil kesepakatan internasional dengan produk legislasi di Indonesia. Berdasarkan laman resmi Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), sepanjang tahun 2022-2023 ada 51 agenda diplomasi. Agenda tersebut meliputi kunjungan antar parlemen, partisipasi organisasi internasional, delegasi konferensi internasional, dan edukasi diplomasi. Pada kategori organisasi internasional dan delegasi konferensi DPR RI paling getol dalam isu mitigasi perubahan iklim, perempuan, dan ekonomi.
Sayangnya partisipasi aktif DPR RI dalam Conference of Parties (COP) tiap tahunnya belum mampu mensinkronisasikan hasil-hasil diplomasi dalam produk legislasi di Indonesia. Pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang mandek dan kalah cepat dibanding RUU IKN menunjukkan kurangnya komitmen internalisasi kerja-kerja diplomasi DPR. Hal serupa juga terjadi dalam semangat diplomasi isu-isu perempuan di kancah internasional. Setidaknya terdapat empat forum internasional yang diikuti DPR RI, namun RUU terkait kesejahteraan perempuan seperti RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pun sama nasibnya seperti RUU EBET. Padahal Indonesia telah meratifikasi Convention on the eliminitatio of all forms of discrimination Againts Women (CEDAW) yaitu suatu konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan telah berlangsung selama 38 tahun. Secara tidak langsung fenomena ini seakan berbicara bahwa “Aktif berdiplomasi, minim internalisasi legislasi”. Selebihnya laporan ini bisa anda baca melalui link sebagai berikut : https://drive.google.com/file/d/18LfWncf2DTjlQ3rV2OFVxMk9BojWFjP9/view?usp=sharing