Kodifikasi Hukum Pemilu Menjawab Kontradiksi dan Multitafsir
Jakarta (9/5) – Ramlan Surbakti tak henti-hentinya menunjukkan kontradiksi empat undang-undang yang mengatur tentang pemilu, yaitu UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU Nomor 42 Tahun 2008 tantang Pemilihan Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
“Pada UU Pemilu Legislatif, TNI/POLRI tidak punya hak pilih. Tapi di UU Pilpres TNI/POLRI memiliki hak pilih, karena ketentuanya hanya mengatur Pilpres 2009 tak dirubah. Untuk tahapan pemilu saja, ada yang mengatur sejumlah delapan tahapan lalu 12 tahapan. Terakhir pada UU Pilkada yang baru malah ada tahapan persiapan dan pelaksanaan;” jelasnya.
Pemilu legislatif, pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah sejatinya mengatur pelaksanaan hal yang sama, yaitu pemilu. Pelaksananya juga sama, Komisi Pemilihan Umum. Tapi untuk istilah Daftar Pemilih Tetap Tambahan memiliki pengertian yang berbeda. Satu undang-undang menyebut sebagai daftar pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya di TPS lain, sementara undang-undang lain menyebutnya daftar pemilih yang tidak masuk Daftar Pemilih Sementara.
Sementara mengenai penegakan hukum, satu undang-undang membedakan pidana pelangaran dan pidana kejahatan. Sementara undang-undang lain tidak membedakannya.
Kontradiksi-kontradiksi ini pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi penyelenggara maupun peserta pemilu. Misalnya saja, KPU saat ini sudah menghasilkan peraturan-peraturan terkait pilkada langsung. Belum sempat pilkada langsung diselenggarakan DPR hendak merevisi lagi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah sehingga KPU sendiri merasa kelelahan.
“Hukum pemilu harus menjamin persaingan yang sehat,, Tapi juga harus ada kepastian hukum. Semua harus diatur, tidak kontradiktif, tidak multitafsir dan dapat dilaksanakan.” kata Ramlan.
Oleh karena itu, kodifikasi harus segera dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Dalam kodifikasi nanti harus menjamin tiga hal, yaitu pemilu yang menjamin hak warga negara, pemilu yang berkeadilan dan pemilu yang berintegritas.
Dalam forum-forum internasional, pemilu demokratis tidak hanya luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Ada dua lagi parameter demokratis, yaitu pemilu yang adil (electoral justice). Penegakan hikum dan penyelesaian sengketa pemilu harus adil dan tepat waktu. Kemudian ada pemilu yang berintegritas (electoral integrity). Ketiganya belum dijabarkan dalam UU pemilu.
Sistem pemilu yang baik itu mudah dipahami oleh pemilih pada umumnya. Sistem pemilu kita adalah sistem pemilu paling kompleks dan paling panjang di dunia. Sistem penegakan hukumnya juga paling kompleks dan paling tidak tepat waktu. Pada kenyataannya sistem pemilu legislative memberi insentif bagi pemilih, calon dan penyelenggara untuk memperjualbelikan suara. Sistem pemilu kita juga membuat sistem presidensial tidak efektif. Presiden dipaksa menari mengikuti genderang yang ditabuh DPR. Padahal tidak ada partai yang demokratis secara internalnya.
“Sistem pemilu terlalu mahal kalau digunakan untuk mengubah suara menjadi kursi. Padahal sistem pemilu bisa dijadikan untuk membangun sistem kepartaian, partisipasi politik warga negara dan pemerintahan yang efektif.” pungkas Ramlan []