UU MD3 Baru Perlu Atur Akuntabilitas Reses
Jakarta, ipc.or.id – Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC), Ahmad Hanafi, mengatakan wacana revisi UU MD3 perlu menyentuh aspek akuntabilitas DPR. Salah satunya adalah penggunaan dana reses. Bukan hanya akuntabilitas administratif, tetapi juga akuntabilitas politik dan akuntabilitas sosial.
Hanafi menilai, sulit untuk mengukur capaian reses, karena anggota DPR sendiri yang tidak terbuka ke publik untuk menyampaikan hasil resesnya. Padahal menurut Hanafi, jumlah kunjungan dan anggaran yang diserap cukup besar. “Reses itu dilakukan empat sampai lima kali per tahun. Satu kali reses berlangsung selama satu bulan. Dalam satu bulan itu, kunjungan ke dapil pada masa reses dilakukan selama 11 hari. Selebihnya untuk agenda komisi dan fraksi,” kata Hanafi.
Hanafi menambahkan, selain reses, ada lagi kunjungan ke dapil di luar masa reses dan di luar sidang DPR, paling sedikit satu kali setiap dua bulan atau enam kali dalam satu tahun dengan waktu paling lama tiga hari. anggota DPR biasa menyebutnya dengan istilah kundapil (kunjungan dapil). Untuk kegiatan ini, kata Hanafi, anggota mendapatkan dukungan administrasi keuangan, tenaga ahli, dan pendampingan yang ditentukan oleh anggota.
“Anggota DPR itu dapat dana Rp. 225 juta setiap kali reses dan Rp. 60 juta sd Rp. 100 juta untuk kunjungan dapil di luar reses. Di UU MD3, perlu diatur tentang transparansi dana reses, misalnya dengan mewajibkan membuat laporan disertai sanksi-nya. Apa saja isi laporan, diaturlah dalam Tatib DPR. Kalau tak terbuka, wajar jika publik berprasangka negatif,” kata Hanafi.
Sesuai mekanisme di Tatib DPR, hasil reses ini dilaporkan secara tertulis kepada fraksi masing-masing. Laporan dapat ditindaklanjuti dengan penyampaian usulan program kegiatan pada Pimpinan DPR dalam rapat paripurna dan komisi terkait. Usulan program tersebut dapat digabungkan dengan usulan anggota dari dapil yang sama.
(abn)