Menunggu Komitmen DPR Mewujudkan Transparansi
Oleh: Sulastio
Selasa, 25 Juni 2013, Komisi I DPR RI akan mulai menggelar fit proper test terhadap 21 nama calon anggota Komisi Informasi Pusat (KIP) periode 2013 – 2014, untuk kegiatan tersebut Komisi I telah menjadualkan akan menggelarnya selama 2 hari hingga Rabu 26 Juni 2013.
KIP sebagai lembaga negara yang lahir karena desakan public dan merupakan salah satu buah dari reformasi selain kebebasan pers saat ini sedang mengalami ujian. Sebagai sebuah lembaga yang terbentuk pada tahun 2008 dengan disahkannya UU No. 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik setumpuk harapan langsung tertuju padanya, namun ketentuan yang menyebutkan bahwa UU tersebut baru berlalu setelah 2 tahun setidaknya telah membuat lembaga ini baru ada dan eksis berdiri pada 2009.
Komisi Informasi Pusat periode pertama (2009-2013) telah terbentuk. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 48/P Tahun 2009, masa bakti ketujuh Komisioner Periode 2009–2013 telah berakhir pada tanggal 2 Juni 2013, dan DPR baru akan menggelar fit dan propernya walaupun dalam soal ini keterlambatan ini kesalahan tidak dapat ditumpukan pada DPR akan tetapi justru pada Presiden yang baru mengirimkan surat di minggu kedua Juni, justru DPR telah bergerak cepat melalui Keputusan Bamus pada tanggal 13 Juni yang menugaskan Komisi 1 segera menggelar fit and proper test.
Padahal Transparansi telah menjadi jualan oleh Presiden di level global dan salah satu dari indicator yang telah menjadikan Indonesia sebagai negara Demokrasi terbesar ketiga di Dunia.
Dalam kurun 2010 – 2012, KI Pusat telah menerima sebanyak 818 sengketa informasi publik, 523 diantaranya telah diputuskan. Informasi-informasi yang diperkarakan ke KI Pusat tersebut, terkait sengketa prosedural (pemohon tidak dilayani sesuai prosedur UU), dan sengketa substantif (sifat sebuah informasi; apakah terbuka atau dikecualikan).
Dilihat dari kepentingan pemohon, sebagian sengketa berkaitan langsung dengan kepentingan publik. Misalnya, sengketa informasi tentang bantuan operasional sekolah (BOS), susu berbakteri, nilai ujian masuk perguruan tinggi, dan lain-lain. Di samping itu, juga sengketa terkait transparansi anggaran di partai politik, PDAM, BP Migas, dan badan publik lainnya. Semua informasi yang disengketakan tersebut, tentu berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Salah satu syarat penting agar sebuah lembaga dan sistem dalam lembaga itu bisa berjalan secara efektif dan efisien adalah dengan memastikan “penggerak” dari sistem dan lembaga itu juga berkualitas. Sistem seleksi dan rekruitmen menjadi proses yang mutlak harus diperhatikan untuk memperoleh Sumber Daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan.
Proses seleksi anggota Komisi Informasi periode 2013-2017 telah bergulir sejak bulan Februari 2013. Panitia Seleksi (Pansel) dibentuk untuk menentukan kandidat-kandidat yang berkualitas dan sesuai untuk menempati posisi Komisioner. Memasuki fase “Uji Kepatutan dan Kelayakan” di Komisi I DPR RI, saya memandang perlu bagi Komisi I DPR RI untuk kembali menengok Kriteria dan Komposisi yang diperlukan bagi seorang Calon untuk menempati posisi Komisioner ini. Hal ini untuk memastikan bahwa mereka yang nanti terpilih sebagai komisioner adalah benar-benar pribadi yang memenuhi syarat dan qualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan yang disyaratkan sehingga memberikan kontribusi yang positif bagi instansi yang dipimpinnya.
Pentingnya penyusunan kriteria dan Komposisi ini sebelum proses Fit and Proper test juga untuk memastikan bahwa Komisi I DPR RI juga menyadari kebutuhan dan tantangan yang dihadapi komisioner yang nanti terpilih ke depannya sehingga hanya pribadi-pribadi yang mendekati kriteria dan komposisi yang telah diberikan saja yang nantinya akan menjadi prioritas mereka untuk dipilih.
Di samping Kriteria dan komposisi yang penting untuk dirumuskan, sistem penilaian dalam proses Fit and proper test ini juga mutlak ditentukan di awal. Hal tersebut untuk memastikan juga bahwa mereka yang terpilih memang benar-benar memiliki ‘nilai’ di atas kandidat lain dalam hal memenuhi kriteria dan komposisi yang diperlukan sehingga pertimbangan untuk memutuskan siapa saja yang nantinya terpilih memang jelas berdasarkan penilaian yang obyektif. Hal tersebut sesuai dengan semangat pasal 30 ayat 2 UU KIP dimana disebutkan bahwa pembentukan Komisi Informasi harus mengedepankan prinsip obyektifitas, kejujuran dan keterbukaan.
Sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kriteria, komposisi dan juga sistem penilaian ini tidak ada salahnya jika kita sedikit melihat evaluasi atas kinerja Komisi Informasi periode sebelumnya. Setidaknya dengan mempertimbangkan pengalaman kerja Komisi informasi sebelumnya, kita bisa belajar melihat masalah dan persoalan yang timbul untuk kemudian bisa merumuskan kebutuhan ke depannya.
Selain soal kritetia saya juga ingin mengusulkan beberapa model seleksi yang dapat diperguankan oleh DPR dalam menyeleksi KIP. Pelaksanaan seleksi oleh DPR RI diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Pearturan Tata Tertib (tatib) DPR RI, dalam hal peraturan perundang-undangan menentukan agar DPR mengajukan, memberikan persetujuan, atau memberikan pertimbangan atas calon untuk mengisi suatu jabatan, rapat paripurna menugaskan kepada Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada komisi terkait.
Namun mekanisme dan teknis pelaksanaannya ternyata belum dirumuskan secara detail di tatib akan tetapi diserahkan kepada komisi yang bersangkutan ayat (2), yang mana urutannya adalah sebagai berikut :
- penelitian administrasi;
- penyampaian visi dan misi;
- uji kelayakan (fit and proper test);
- penentuan urutan calon; dan/atau
- diumumkan kepada publik.
Fit and Proper menurut Bahasa Indonesia merupakan kata yang memiliki satuan arti yaitu patut, layak, pantas, cocok[1], namun pemaknaan secara umum dan berdasarkan penggunaannya Fit adalah penilaian kemampuan dan kompetensi, Proper adalah kepatutan integritas, sebagaimana substansinya. Maka berdasarkan arti harfiahnya Fit and Proper Test dilaksanakan untuk menguji calon pemangku jabatan publik dalam institusi negara, yang meliputi : tes kompetensi dan kepatutan.
Berdasarkan pengalaman proses seleksi setidaknya dilakukan dengan mekanisme :
1. Setiap anggota Komisi 1 memberikan nilai atau angka (score tertentu) terhadap calon sehingga calon yang memiliki angka tertinggi berdasarkan urutan no 1 sampai 7 yang terpilih. Kelemahan dari model ini adalah bisa terjadi disparitas angka yang cukup jauh antar kandidat karena calon akan terpilih berdasarkan scorenya yang merupakan cerminan kualitas yang bersangkuta hal ini juga merupakan kekuatan dari model ini.
2. Setiap anggota Komisi 1 memilih 1 orang untuk dipilih sehingga 7 orang terbanyak yang akan dipilih kelemahan dari model ini adalah dapat terjadi pilihan menumpuk pada orang tertentu yang jumlahnya kurang dari 7 sehingga diperlukan pemilihan ulang namun kelebihannya adalah masing – masing anggota dapat memilih pilihannya masing – masing tanpa perlu harus terganggu dengan kompromi pihak lain.
3. Setiap anggota memilih 7 orang dari 14 calon dan calon yang memperoleh pilihan terbanyak no 1 – 7 yang terpilih kelemahan dari model ini adalah rentan dipergunakan sebagai kompromi atau dukung mendukung antar fraksi akan kelebihannya adalah moderat dan model ini yang paling sering dipergunakan di DPR RI, model ini terakhir dipergunakan untuk seleksi KPU dan Bawaslu oleh Komisi II DPR RI.
Sebagai representasi rakyat tentu harapan besar tertumpu pada DPR tentu ditengah minimnya kinerja proses fit proper ini dapat menjadi momentum bagi DPR guna membuktikan pada public akan keberadaannya, semoga DPR mampu memnafaatkan momentum ini dan menjawab harapan public.