Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR Untuk Efektivitas Kinerja

“Membangun Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR yang Lebih Mampu Meningkatkan Efektifitas Kinerja DPR”

Latar Belakang

Polemik mengenai UU MD3 masih terus bergulir. Paska dilantiknya Bambang Soesatyo sebagai Ketua DPR menggantikan Setya Novanto isu membahas Revisi UU MD3 kembali mengemuka. Apalagi kalau bukan penambahan jumlah kursi pimpinan DPR. Tampaknya, PDI-P sebagai partai politik pemenang pemilu masih mendambakan untuk dapat mengisi kursi pimpinan DPR RI paska perebutan antara gerbong koalisi-oposisi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) versus Koalisi Merah Putih (KMP). Statement Ketua DPR dan Ketua Badan Legislasi DPR senada dalam hal revisi ini.

Diakomodasinya usulan PDI-P soal penambahan jumlah kursi pimpinan tidak terlepas dari berubahnya pola kekuatan koalisi-oposisi di parlemen. Dalam waktu yang relatif cepat, lambat laun, partai-partai yang mulanya berada di luar pemerintah, masuk dalam barisan partai pendukung pemerintah. Golkar, PAN, dan PPP berubah sikap dan mendeklarasikan diri sebagai partai koalisi pemerintah. Bergabungnya eks partai-partai KMP ke gerbong KIH membawa angin segar bagi terakomodasinya kepentingan PDI-P. PDI-P kini mendapatkan dukungan politik guna menduduki posisi wakil ketua DPR tambahan.

Fenomena akomodasi kepentingan antar fraksi di DPR terkait hajat internal kelompok tertentu merupakan preseden buruk bagi kelangsungan kinerja lembaga legislatif ke depan. Ihwal ini setidaknya mendeskripsikan bahwa DPR faktanya hanya responsif bila ada UU yang menyangkut kepentingan dewan secara personal maupun partai namun lamban bila menyangkut kepentingan masyarakat secara umum. Bukti ini terlihat dari 50 RUU yang masuk prolegnas pada tahun 2016, dimana yang terselesaikan hanya 9 UU dan pada 2017 hanya menyelesaikan 6 UU dari 52 RUU Prolegnas Prioritas Tahunan (DPR: 2017). Padahal, banyak di antara UU yang ada merupakan UU yang mendesak untuk diselesaikan. Singkatnya, dinamika politik terkait pengisian kursi pimpinan mengganggu kinerja DPR secara umum.

Proses pemilihan pimpinan seharusnya dilaksanakan cukup sekali sepanjang periode untuk menjamin stabilitas politik sehingga kinerja DPR meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang perubahan UU yang mengatur DPR, MPR, DPD dan DPRD sempat terjadi perubahan dalam mekanisme pemilihan pimpinan.

Tabel 1. Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR Paskareformasi

Pengaturan UU Mekanisme pemilihan ketua Pemenang
UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Sistem Pemilihan Paket Koalisi Partai Politik

 

Muncul Koalisi Poros Tengah sebagai basis pengelompokkan partai-partai                                 politik            untuk memperebutkan pimpinan DPR

Akbar Tanjung (Ket. Golkar) Soetarjo Soerjoguritno (Wk. PDIP) Khofifah    Indar    Parawansi     (Wk. PKB)

Muhaimin     Iskandar    (Wk.     PKB

-menggantikan)

AM Fatwa (Wk. PAN)

UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD Sistem Pemilihan Paket Koalisi Partai Politik

 

Muncul Koalisi Kebangsaan (oposisi) versus Koalisi Kerakyatan (koalisi). Awal mula munculnya tradisi oposisi.

Agung Laksono (Ket. Golkar) Soetarjo Soerjoguritno (Wk. PDIP) Muhaimin Iskandar (Wk. PKB) Zaenal Maarif (PBR)
UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Perolehan kursi terbanyak pada Pemilu 2014

 

 

Muncul Koalisi Kebangsaan (oposisi) versus Koalisi Kerakyatan (koalisi) jilid II.

Marzuki Ali (Ket. Demokrat) Priyo Budi Santoso (Wk. Golkar) Pramano Anung (Wk. PDIP) Anis Matta (Wk. PKS)

Marwoto Mitrohardjono (Wk. PAN) Taufik     Kurniawan (Wk.      PAN

-menggantikan)

Sohibul         Iman (Wk.         PKS

-menggantikan)

UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Sistem Pemilihan Paket Koalisi Partai Politik

 

 

Muncul Koalisi Indonesia Hebat – Koalisi Merah Putih sebagai pengelompokkan untuk merebut kursi DPR.

Setya Novanto (Ket. Golkar)

Ade  Komarudin  (Ket. Golkar

-menggantikan)

Bambang Soesatyo (Ket. Golkar

-menggantikan)

Fadli Zon (Wk. Gerindera) Fachri Hamzah (Wk. PKS) Taufik Kurniawan (Wk. PAN)

 

Titik perubahan mekansime terjadi pada DPR periode 2009, yaitu dengan menggunakan mekanisme pemeroleh kursi terbanyak otomatis menduduki kursi sebagai ketua DPR, disusul oleh pemeroleh suara terbanyak berikutnya sebagai wakil. Mekanisme ini terbukti lebih memberikan stabilitas politik di internal DPR. Dikembalikannya mekanisme pemilihan pada 2014 menimbulkan kecemburuan politik dari partai pemenang pemilu di tengah dinamika koalisi-oposisi yang sedang terbangun. Hal inilah yang memicu dinamika pengisian pimpinan DPR semakin tinggi.

Awal Mula Kisruh MD3

Jauh waktu sebelum wacana penambahan jumlah kursi pimpinan menjadi perbincangan hangat publik, tarik ulur persoalan ini sudah dimulai dengan lahirnya pasal-pasal cacat dalam UU MD3. Semenjak disahkan sehari sebelum pelaksanaan pilpres pada 2014, UU MD3 memang langsung menuai banyak protes dari publik. Publik merasa, DPR sengaja mencari celah waktu dimana masyarakat sedang lengah dan terkonsentrasi pada euforia pilpres 2014, sehingga UU MD3 luput dari pengawasan publik. Padahal UU MD3 masih belum sempurna di beberapa pasalnya. Belum sempurna artinya adanya beberapa pasal yang luput memerhatikan aspek obyektif hukum, politik dan sosial. Sehingga tak ayal hal ini kemudian memicu perlawanan publik. Fakta ketidaksepakatan publik atas substansi pasal dalam UU MD3 tersebut terangkum dalam 5 poin gugatan yang diajukan kepada MK. Mereka, semuanya, menolak pasal-pasal yang dirasa hanya meguntungkan DPR semata. Lebih jelasnya lihat table 1.1.

Tabel. 2 Daftar Gugatan ke MK terhadap UU MD3

 

No Penggugat Poin Gugatan
1 PDIP “Pimpinan DPR dan alat kelengkapan dipilih anggota DPR secara musyawarah dan voting”
2 DPD “Tidak dilibatkannya DPD dalam proses pembahasan RUU MD3”
3 Boyamin Saiman dan Sutrisno “Pimpinan   DPRD     langsung   ditetapkan   berdasarkan   peringkat perolehan suara parpol dalam pemilu legislatif”
4 Pegiat dan LSM Perempuan “Tidak ada jaminan keterwakilan perempuan dalam kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR”
5 KMS “Penyidikan anggota DPR terkait pidana umum harus mendapat persetujuan tertulis MKD”

 

“Hak anggota DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan dapil”

 

“Penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai salah satu alat kelengkapan DPR”

 

Dengan melihat banyaknya gugatan yang diajukan, tidak mengherankan bila sampai sekarang UU MD3 masih menjadi pembahasan yang tak kunjung selesai.

Disorientasi Penambahan Jumlah Pimpinan

Sebagaimana disinggung di awal bahwa salah satu poin pembahasan dalam UU MD3 yang kini meruak kembali ke permukaan setelah DPR mempublikasikan UU prioritas tahun 2017 yakni soal penambahan jumlah kursi pimpinan. Seperti kita ketahui, tarik-ulur soal wacana penambahan kursi tersebut merupakan impak dari munculnya sistem baru pemilihan pimpinan DPR, dimana pimpinan DPR tidak lagi ditentukan oleh perolehan suara terbanyak partai, melainkan melalui mekanisme voting di antara dewan. Perihal sistem pemilihan baru tersebut tertera dalam pasal 84 ayat 1 UU MD3 yang menyebutkan bahwa “Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR”.

Dengan adanya sistem voting baru ini artinya tidak serta-merta melegitimasi PDI-P untuk duduk di kursi pimpinan. Karena secara konstitusi, eksistensi pimpinan DPR mesti melalui pemungutan suara terlebih dulu di antara anggota dewan, berapapun besarnya perolehan suara PDI-P. Kasus inilah yang kemudian menyebabkan konflik berkepanjangan antara KMP-KIH di awal masa pemerintahan Jokowi-JK. Karena secara porsi koalisi, KMP lebih besar dibandingkan KIH dengan perbandingan kursi di DPR yakni 291:208. Yang berarti peluang PDI-P untuk menguasai kursi pimpinan masih kalah jauh dengan peta kekuatan partai dalam koalisi KMP.

Dinamika ini terus berlanjut hingga menyebabkan partai-partai dalam koalisi KIH memilih walkout saat hari-H pemilihan pimpinan. Bahkan perlawanan PDI-P bersambung dengan mengajukan JR UU MD3 ke MK.

Rentetan konflik berkepanjangan antara KMP-KIH dalam lingkup perebutan kursi pimpinan DPR secara ekslusif mengindikasikan bahwa tugas dan fungsi pimpinan parlemen sangat strategis. Berdasarkan data yang dihimpun oleh IPC (Indonesian Parliamentary Center), pimpinan DPR setidaknya memiliki 10 peran fungsi yang strategis, antara lain:

  1. Memimpin sidang DPR
  2. Menyusun jadual dan agenda sidang DPR
  3. Melaksanakan putusan sanksi dan rehabilitasi anggota DPR
  4. Menyusun rencana kerja dan anggaran DPR
  5. Membentuk panel sidang kode etik
  6. Membentuk tim untuk tujuan tertentu setelah konsultasi dengan fraksi
  7. Menetapkan pembentukan kaukus
  8. Mengadakan pembagian tugas pada masa reses
  9. Mengusulkan kepada rapat paripurna DPR mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi
  10. Menentukan jangka waktu pembahasan satu RUU

 

Dari kesepuluh tugas pimpinan DPR tersebut, meski terlihat sederhana dan administratif, namun dengan wewenang yang strategis, pimpinan DPR bisa saja memainkan peran politisnya di momen-momen pembahasan maupun penyusunan RUU. Bahkan, dinamika parlemen dapat disetting sedini mungkin melalui tugas dan fungsi pimpinan. Artinya, kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan dapat digunakan untuk kepentingan dan kelompok tertentu.

Banyak kasus yang bisa menggambarkan betapa strategisnya pimpinan DPR. Salah satunya terjadi saat Marzukie Ali (Ketua DPR 2009) yang secara sepihak menutup jalannya sidang pembacaan laporan panitia angket century, sementara para anggota lain ingin adanya lanjutan sidang ke tahap pembahasan. Selain itu, strategisnya kursi pimpinan DPR juga terlihat saat pembahasan rancangan agenda di Bamus. Bamus memiliki porsi wewenang yang besar dalam menentukan agenda rapat di DPR sehingga posisi serta kedudukannya sangat rentan dipolitisir demi kepentingan fraksi dan kelompok-kelompok tertentu (Ahmad Hanafi, IPC: 2014).

Namun, di samping itung-itungan politis, satu hal yang membuat pimpinan DPR menjadi magnet rebutan fraksi-fraksi di DPR adalah soal fasilitas dan tunjangan yang diberikan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Tempo pada tahun 2011 menyebutkan bahwa gaji pimpinan DPR beserta tunjangan mencapai Rp. 30.908.000. Angka ini belum diakumulasikan dengan beberapa fasilitas yang diterima.

Munculnya usulan penambahan jumlah pimpinan DPR bila bersandar pada fakta historis kisruh awal UU MD3 KMP-KIH, nyatanya memang tidak secara susbtansial dimaksudkan untuk efektifitas dan penopang laju kerja DPR, melainkan hanya untuk meredam hasrat kuasa partai. Hal ini bila tetap dilanjutkan tentu sangat berbahaya bagi orientasi paradigma DPR sebagai wadah aspirasi masyarakat. Sebab melalui fakta-fakta yang terlihat jelas, DPR saat ini memiliki disorientasi tugas dari penyalur aspirasi rakyat menjadi penyalur kepentingan partai.

Dampak Penambahan Jumlah Pimpinan

Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan sebelumnya, penambahan jumlah pimpinan DPR sebetulnya bisa dilihat dalam dua tipologi kepentingan. Pertama, kepentingan politis, kedua, kepentingan ekonomis. Dua tipologi kepentingan ini kini telah terakumulasi dan menyebabkan piramida konflik di parlemen semakin sengit. Wacana penambahan kursi yang mulanya hanya ditujukan untuk PDI, kini merentet melahirkan tuntutan dari partai-partai yang lain, terutama PKB dan Gerindra. Konflik kepentingan ini akan semakin liar bila dibiarkan.

Selain itu, impak adanya usulan penambahan jumlah kursi pimpinan berarti kembali membuka ruang adanya tuntutan yang sama dari partai yang lain, terkhusus partai-partai yang secara politik berseberangan dengan PDI-P, mengingat luka lama antara KMP-KIH belum sepenuhnya usai.

Meski peta politik yang tersaji saat ini berbeda dengan sebaran kekuatan parpol KMP-KIH terdahulu, KIH kini disokong oleh mayoritas partai di parlemen sehingga sangat rasional bila akhirnya permintaan PDI-P untuk mendapatkan jatah kursi pimpinan disambut oleh partai-partai koalisi pemerintahan Jokowi-JK tapi tidak menutup kemungkinan juga adanya permintaan sama dari partai oposisi yang lain.

Namun, konsekuensi adanya penambahan kursi pimpinan bukan tidak mungkin membuat problem baru. Selain konflik, penambahan kursi pimpinan dari ganjil menjadi genap juga memberi potensi terjadinya deadlock pada keputusan yang hendak diambil. Sehingga peluang terganggunya kinerja DPR semakin sangat besar. Hal ini belum lagi diilabraknya ketentuan pimpinan DPR yang mesti dipilih melalui sistem paket.

Dengan demikian, urgensi penambahan jumlah pimpinan DPR patut kembali dipertanyakan. Jangan sampai akomodasi-akomodasi kepentingan antar fraksi mengalahkan kepentingan rakyat yang lebih utama. Sebab belajar dari konflik KMP-KIH di masa-masa awal 2014 yang mengakibatkan vakumnya DPR sampai beberapa bulan, berdampak pada stagnasi kinerja legislasi.

Selain itu, bertambahnya kursi pimpinan DPR menyebabkan beban anggaran negara semakin besar. Tapi faktanya fasilitas dan tunjangan yang diterima oleh pimpinan DPR tidak berbanding lurus dengan kinerja dewan. Banyak-sedikitnya jumlah pimpinan DPR bukan parameter tercapainya target legislasi. Karena itu, pertimbangan untuk menambah jumlah kursi pimpinan mesti ditinjau ulang.

Rekomendasi

  1. Revisi UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 tentang pola penentuan pimpinan DPR dikembalikan kepada mekanisme proporsional perolehan kursi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 200
  2. Revisi UU MD3 tidak hanya membahas pada isu-isu pimpinan DPR, tetapi juga revisi menyeluruh yang berkontribusi pada peningkatan efektifitas kinerja DPR secara keseluruhan.

Share your thoughts