Hak Publik atas Informasi Seleksi Bacaleg oleh Papol
Oleh: Sulastio
Beberapa hari belakangan ini pemberitaan di berbagai media massa terkait proses dan nama – nama yang didaftarkan parpol untuk menjadi calon anggota legislative. Berbagai catatan juga sudah ditampilkan oleh berbagai pengamat diantaranya : pencamtuman menteri, anggota legislative hingga kalangan selebritis.
Tentu wajar jika public atau kader di dalam partai bertanya – tanya kenapa si A yang dicalonkan kenapa bukan si B padahal si B adalah kader partai dan bahkan pengurus partai yang telah bekerja untuk partai diatas 10 tahun, kenapa dan kenapa ? tentu akan menjadi pertanyaan juga bagi pemilih karna mereka akan menentukan pilihan kenapa saya harus memilih A dan bukan C misalnya.
Berbagai pertanyaan tersebut muncul akibat parpol belum atau bahkan mungkin tidak menyiapkan argumentasi yang meyakinkan kenapa mereka lebih memilih A yang notabene baru beberapa hari memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) partai hanya karena yang bersangkutan adalah selebritis yang diprediksi mampu mendulang suara untuk kepentingan peroleh kursi partai dan alasan lainnya, inilah yang menjadi paradoks pemilu dimana apa yang menjadi target atau tujuan partai semata perolehan suara yang kemudian akan dikonversi menjadi kursi dan kebutuhan lain misalnya agar lolos parliamentary threshold dan mungkin positioning dalam pencalonan Presiden.
Ada juga partai yang menyatakan bahwa kenapa mereka mencalonkan kembali anggota DPR yang saat ini menjabat bahkan hingga 90 % lebih berdasarkan data yang dikeluarkan Formappi kemarin karna mereka dianggap telah cukup punya akses dan basis dukungan di dapilnya, pertanyaan selanjutnya apakah partai memiliki data atau angka yang pasti soal ini ? bukankah berbagai penilaian kinerja yang seperti dilansir berbagai lembaga dan media massa justru menunjukkan bahwa DPR periode 2009 – 2014 masih terpuruk dari sisi capaian legislasi dan bahkan diperparah dengan adanya berbagai kasus korupsi, untuk itu apakah partai memiliki data lain yang berbeda dan dapat membantah data tersebut ?
Belum lagi menteri yang saat ini sedang menjabat dan kembali dicalonkan, pada pemilu 2009 sebahagian besar dari mereka merupakan calon anggota legislative dan dipercaya pemilih dan menperoleh suara terbanyak di partai dan sempat mencicipi menjadi anggota legislative walaupun hanya dalam hitungan hari atau minggu karena kemudian diangkat menjadi menteri atau jabatan lainnya yang kemudian meninggalkan kursi DPR nya kursi yang berasal dari konversi suara sah dan telah diberikan oleh pemilih yang mungkin saja terpikat oleh janji kampanyenya atau oleh iming – iming lain, nah apakah pada Pemilu 2014 besok hal seperti ini akan terulang lagi ? sehingga tidak salah jika sebahagian orang menduga kursi DPR hanya sebagai batu loncatan. Bila benar tentu ini kerugian besar bagi rakyat di negeri ini karna disatu sisi masih ada rakyat yang berkutat dengan persoalan kehidupan hidup se hari – hari dan sangat jauh dari akses pelayanan public akan tetapi ada sejumlah kalangan di negeri ini yang dengan mudahnya bertukar kedudukan yang lebihn nyaman.
Sejak KPU mengumumkan masa penerimaaan daftar calon anggota DPR, DPD dan DPRD (Pengumuman KPU No. 214/KPU/IV/2013 yang telah dibuka sejak tanggal 9 April hingga 22 April 2013 namun seperti sudah diduga sebelumnya parpol seperti mengulang pada saat verifikasi perserta pemilu parpol memasukkan berkas pada 2 hari terakhir yaitu tgl 21 dan 22 April dan seperti kritik yang sudah disampaikan berbagai kalangan parpol terkesan tidak serius menyeleksi para calon anggota DPR padahal Pasal 52 UU No. 8 tahun 2012 dalam ayat (1) dan (2) tentang Pemilu telah tegas mensyaratkan bahwa parpol harus melakukan seleksi secara demokratis dan terbuka sesuai AD, ART dan peraturan internal parpol.
Sudah sejak lama dan bahkan sejak jaman orde baru masyarakat secara umum dan pemilih khususnya hanya dibutuhkan suaranya pada saat Pemilu padahal jika kita kaitkan dengan perolehan suara milik 9 partai yang saat ini menghuni DPR hanya sekitar 85 juta jumlah ini kurang dari 50 % dari total pemilih yang diumumkan KPU pada bulan Maret sebesar 171.265.442 pemilih, rendahnya jumlah suara sah yang saat ini menjadi legitimasi bagi fraksi – fraksi dalam membuat kebijakan public harus menjadi perhatian partai walaupun ini bukan menjadi ukuran dari sah atau tidaknya suatu proses pemilu.
Tentu kondisi tersebut dapat menjadi peringatan bagi partai politik agar lebih serius bekerja untuk kepentingan rakyat dan mulai membuktikannya dalam kontek persiapan permilu 2014, setidaknya partai politik yang merupakan Badan Publik yang mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi dalam UU No. 14 tahun 2008 dapat mulai mengumumkan atau setidaknya menyediakan informasi kepada pemohon informasi terkait alasan dan latar belakang penempatan seseorang dalam daftar calon anggota DPR RI, terlepas apa dan siapa, apapun profesinya hal ini dapat membuat parpol terhindar dari fitnah dan tuduhan yang mungkin saja diajukan bahkan oleh kadernya sendiri. Hal ini juga dapat menjadi pembuktian bagi parpol yang semata tidak hanya bekerja untuk mengejar perolehan suara akan tetapi juga memperjuangkan nasib konsttituennya, hal ini juga akan mendorong mesin partai lebih aktif bekerja, parpol juga terhindar dari beban kampanye dengan mengandalkan uang untuk mendapat simpati pemilih dann tentu yang juga akan merasakan manfaat adalah konstituen.
Terbuka merupakan salah satu poin menuju akuntabilitas dan sudah selayaknya parpol menunjukkan hal tersebut karna selain parpol harus memulihkan citranya dimata public ini juga sebenarnya dapat menjadi kampanye pencitraan yang baik bagi parpol. Memang untuk memulainya bukanlah perkara yang mudah dan banyak parpol menganggap ini bukan urusan utama mereka. Mendorong transparansi terutama di Proses pencalegan bukanlah hal yang mudah, hal ini tidaklah mengherankan dan bukan sesuatu yang aneh dan terjadi secara umum di banyak tempat bukan saja di Indonesia tetapi juga di belahan dunia lain ketika pertama kali mencoba mengimplementasikan transparansi dan membuka akses informasi public. Budaya ketertutupan termasuk “keuntungan” yang mungkin dinikmati oleh segelintir orang dari kondisi ketertutupan, serta belum tertata dengan baiknya pengelolaan dokumentasi dapat menjadi penyebab dari keengganan beberapa kalangan untuk transparan dan membuka akses informasi.
Namun yang terpenting dari itu semua tentu saja kemauan dan budaya transparan yang selayaknya dikedepankan tentu dalam mendukung semangat mewujudkan Pemilu yang Jurdil akan sangat tergantung peran dan keaftifan semua kalangan stakeholders Pemilu termasuk parpol sebagai peserta.