Evaluasi Satu Tahun DPR, Minim Akuntabilitas

Oleh: Ahmad Hanafi

(Artikel ditulis pada tahun 2010)

Setahun sudah DPR bekerja. Tapi, belum ada perbaikan. Baik internal institusi maupun yang berdampak pada masyarakat luas. DPR terlihat berjalan apa adanya. Sebagaimana yang dilakukan DPR pada periode sebelumnya, begitulah mereka bekerja. Harapan publik terhadap parlemen yang mampu mengimbangi pemerintah paska pemilu 2009 lalu pupus sudah. Kekecewaan yang ditorehkan DPR periode 2004-2009 kini bertambah mendalam.

Setahun DPR bekerja, publik telah merekam berbagai kegagalan. Catatan pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan ataupun penganggaran yang merupakan fungsi utama mereka tidak menggembirakan. Kinerja legislasi rendah. Hingga menjelang akhir 2010 baru tujuh RUU yang rampung dan disahkan menjadi UU. Sedangkan target program legislasi nasional 2010 adalah 70 RUU. Tak banyak waktu yang dimiliki DPR untuk menyelesaikan target prolegnas. Anehnya, untuk RUU pramuka yang sifatnya menjustifikasi keberadaan pramuka yang sudah eksis DPR harus studi banding ke luar negeri yang cukup memakan waktu.

Catatan pelaksanaan fungsi anggaran tak jauh beda. Banyak hal yang tidak masuk nalar publik. Para politikus senayan itu membuat anggaran yang berlebihan untuk dirinya sendiri. Mereka mengusulkan Rp 1,8 triliun untuk pengadaan gedung , Rp. 15 milar dana aspirasi per anggota, dan Rp. 1 milar dana desa untuk setiap desa di seluruh Indonesia. Padahal, tidak ada kajian akademis dan ilmiah untuk mendukung usulan tersebut. Arguman yang muncul di publik pun terkesan mengada-ada dan dicari-cari. Bagaimana mungkin, lembaga Negara membuat kebijakan hanya berdasarkan asumsi.

Pembahasan anggaran DPR bersama mitra kerjanya juga tak ada peningkatan. Dari tahun ke tahun tak ada upaya DPR mencegah pemerintah agar tidak menaikkan tarif listrik, mencabut subsidi BBM bagi nelayan dan hutang negara. Hampir setiap tahun persoalan listrik, BBM dan hutang ini mucul. Akan tetapi, setiap tahun pula DPR tidak mampu menghentikan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif, memotong subsidi atau berhutang.

Sementara kinerja pengawasan juga tidak mengalami perbaikan. Banyak dari pelaksanaan UU dan anggaran luput dari pengawasan DPR. UU Pelayanan Publik dan UU Keterbukaan Informasi Publik, misalnya. Kedua UU tersebut jika dilaksanakan oleh pemerintah dan mendapat pengawalan DPR tentu berdampak positif bagi kehidupan sosial ekonomi rakyat Indonesia. Tapi, lihatlah DPR sendiri masih terbata-bata menerapkan kedua UU tersebut. Angket Century yang digembar-gemborkan sebagai prestasi pengawasan DPR nyatanya tidak mampu mengembalikan uang bailout kepada Negara.

Catatan pretasi yang minim tentu saja tidak lepas dari abainya anggota DPR untuk memperbaiki sistem kinerja mereka sendiri. DPR akan selalu dicap gagal memperjuangkan kepentingan masyarakat karena tidak ada akuntabilitas kinerja dan transparansi. Harapan masyarakat setelah memilih wakilnya adalah aspirasi mereka diserap dan ditindaklanjuti. Tapi, itu saja belum cukup. Konstituen butuh pertanggungjawaban kinerja, mempertanyakan dan mengkoreksinya jika ada yang salah sebagai bayaran atas suara yang telah mereka berikan.

 

Selama ini DPR secara kelembagaan belum mamiliki mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang jelas dan terukur. Fraksi masih berperan dominan dalam mengukur kinerja anggota-anggotanya. Sulit kiranya ikatan fraksi akan menyampaikan kinerja anggotanya secara apa adanya karena mereka membutuhkan suara untuk pemilu mendatang. Citra fraksi akan didahulukan.

Sebagian besar konstituen tidak kenal dengan anggota dewan yang mewakili daerah pemilihan mereka. Apalagi, apa yang mereka kerjakan. Anggota sendiri tidak memberikan laporan kepada konstituen tentang apa yang akan, sedang dan mereka lakukan kepada konstituen. Sedang, secara kelembagaan DPR tidak memberikan ruang bagi konstituen untuk mengontrol kinerja anggotanya.

Tak heran jika konstiuen banyak mencerca setiap kebijakan yang dirilis oleh DPR. Pasalnya, keterlibatan publik secara langsung juga tidak diperhitungkan. DPR hanya memperhatikan suara masyarakat banyak setelah ada pemberitaan yang heboh di media. Bagaimana seandainya media tidak memberitakan kebijakan-kebijakan DPR yang kontroversial itu. Tentu DPR akan merasa memiliki kehidupan sendiri yang terlepas dari kehidupan konstituen yang diwakili.

Andai saja DPR mau merumuskan mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang jelas, anggota DPR tidak perlu sembunyi-sembunyi jika harus studi banding ke luar negeri atau diam-diam menyusun desain gedung baru. Semua bisa dijelaskan dan dikomunikasikan di depan konstituen. DPR tinggal tunggu koreksi dan masukan lebih lanjut. Perdebatan di publik akan menghangat. Komunikasi politik bukan slogan yang kosong. []

*Penulis adalah Peneliti IPC, warga Piramida Circle

Share your thoughts