Masa Sidang III DPR RI Periode 2024–2029 berlangsung pada 22 April hingga 27 Mei 2025. Dalam kurun waktu ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menunjukkan gejala yang berulang dari periode-periode sebelumnya, yakni lemahnya akuntabilitas publik, rendahnya transparansi proses, serta minimnya kualitas substansi dalam kerja-kerja parlemen. Laporan pemantauan dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) menunjukkan bahwa kendati jumlah rapat dan pembahasan meningkat secara administratif, hal tersebut tidak serta-merta sejalan dengan kualitas demokrasi deliberatif yang diharapkan.
Transparansi: Antara Klaim dan Kenyataan
Salah satu catatan utama adalah ketidaksesuaian antara jumlah agenda rapat dengan laporan singkat yang dipublikasikan. Komisi III menjadi contoh ekstrem: dari puluhan agenda rapat, tidak satu pun laporan singkat yang tersedia untuk publik. Hal ini jelas menjadi alarm bagi publik, sebab ketiadaan dokumentasi ini tidak hanya mencederai prinsip transparansi, tapi juga menutup ruang kontrol masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan di parlemen.
Di sisi lain, beberapa komisi seperti Komisi X dan Komisi XI memang menunjukkan kepatuhan administratif dengan mempublikasikan seluruh laporan rapat. Namun, transparansi administratif ini justru diselimuti ironi ketika di balik keterbukaan dokumen, proses legislasi dan pengawasan tetap dijalankan dalam ruang tertutup.
Rapat Tertutup dan Mekanisme Ketertutupan
Dari total 199 rapat yang dipantau, sebanyak 37 rapat dilakukan secara tertutup. Bahkan untuk fungsi pengawasan yang seharusnya membuka ruang partisipasi publik secara luas, justru menjadi fungsi dengan jumlah rapat tertutup tertinggi. Jenis isu yang dibahas pun tidak kalah penting: mulai dari energi dan sumber daya mineral (ESDM), agama, hingga agenda internal DPR.
Masalahnya bukan sekadar tertutup atau terbuka, tetapi terletak pada tidak adanya standar transparansi yang konsisten. Misalnya, di Komisi XII, isu ESDM dibahas delapan kali secara terbuka, namun lima kali lainnya justru tertutup. Inkonsistensi ini mengindikasikan bahwa akses publik terhadap informasi bukan menjadi prinsip, melainkan pilihan politis semata.
Substansi yang Lemah, Rapat yang Kosong
Berdasarkan penilaian terhadap dokumen laporan singkat, mayoritas rapat DPR pada masa sidang ini masuk dalam kategori “Sangat Lemah” (35,6%) dan “Lemah” (25,9%). Hal ini berarti bahwa isi rapat cenderung tidak membahas hal-hal mendalam dan bersifat seremonial. Bahkan Komisi IV mencatatkan rekor buruk: dari delapan rapat yang diselenggarakan, tujuh dinilai sangat lemah, termasuk satu-satunya rapat terbuka yang diadakan.
Kualitas kesimpulan rapat juga menjadi indikator lain dari lemahnya proses deliberatif. Di Komisi X misalnya, dari delapan kesimpulan rapat, hanya satu yang dinilai “kuat”, sementara tujuh lainnya masuk kategori “sangat lemah”. Kesimpulan-kesimpulan ini tidak memiliki kejelasan arah kebijakan, target waktu, atau strategi pengawasan yang dapat ditindaklanjuti.
Fungsi Legislasi yang Gagal Menjadi Prioritas
Meskipun DPR membahas 13 RUU selama masa sidang ini, hanya sebagian kecil yang dibahas secara terbuka. Beberapa RUU bahkan tidak memiliki jejak publikasi laporan singkat, seperti RUU Kehutanan, RUU Larangan Monopoli, dan RUU Pangan. Proses legislasi semacam ini menandakan kerapuhan komitmen parlemen terhadap prinsip demokrasi deliberatif yang transparan dan partisipatif.
Komisi XI yang menangani sektor keuangan justru mengalami “vakum legislasi” dengan tidak satu pun kegiatan legislasi yang dilakukan selama masa sidang III. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat posisi strategis Komisi XI dalam reformasi fiskal dan keuangan negara.
Distribusi Kepemimpinan yang Tidak Setara
Fraksi Golkar menjadi fraksi paling dominan dalam memimpin rapat selama masa sidang ini, termasuk dalam rapat-rapat tertutup. Sebaliknya, Fraksi Demokrat tidak tercatat memimpin satu pun rapat tertutup. Di beberapa komisi, distribusi kepemimpinan juga tidak mencerminkan proporsionalitas kursi di parlemen. Dominasi ini dapat berdampak pada arah pembahasan dan bias dalam pengambilan keputusan.
Kejadian-kejadian semacam ini menunjukkan bahwa DPR belum sepenuhnya menjalankan prinsip inklusivitas politik dalam kerjanya. Padahal representasi yang seimbang sangat penting untuk menjamin bahwa berbagai kepentingan rakyat dapat disuarakan secara adil.
Pengabaian terhadap Isu Kelompok Rentan
Komisi VIII yang seharusnya fokus pada isu sosial, perempuan, dan anak, justru tidak membahas isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sama sekali. Fokus utamanya justru lebih banyak diarahkan pada isu agama dan agenda internal. Hal ini memperlihatkan ketimpangan orientasi kebijakan dan pengabaian terhadap kelompok masyarakat rentan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum dan afirmasi kebijakan.
Penutup
Kinerja DPR pada Masa Sidang III 2024–2025 merefleksikan kenyataan bahwa demokrasi prosedural tidak selalu menghasilkan demokrasi substantif. Tingginya jumlah rapat, publikasi laporan, dan pembahasan RUU belum tentu mencerminkan kualitas kebijakan yang dihasilkan. Ketertutupan, ketimpangan representasi, dan lemahnya substansi rapat menjadi tantangan serius dalam menciptakan parlemen yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Diperlukan reformasi mendasar dalam tata kelola rapat, mekanisme pelaporan, serta penyusunan agenda legislasi agar parlemen tidak hanya bekerja secara administratif, tetapi juga secara substantif dan berpihak pada kepentingan publik luas—terutama kelompok rentan dan marjinal.
Selengkapnya bisa download di link google drive berikut ini :
(Overview) Laporan Masa Sidang III Tahun Pertama,
https://drive.google.com/file/d/1asocyCb9f3ZCQMnHarwDTPTrXYXs7Pvx/view?usp=sharing
[Commission Only] Laporan Masa Sidang III DPR RI Tahun Pertama,
https://drive.google.com/file/d/14T6WFCeaK7pqzvhj_XcvjuhJrcTbvDRx/view?usp=sharing