Hak untuk Menepi dari Sorotan
Ada kelelahan yang datang bukan dari kerja fisik, melainkan dari terus-menerus terlihat. Terlihat bukan hanya oleh mata manusia, tetapi oleh mesin, algoritma, dan jejak digital yang tidak mengenal lupa. Setiap komentar yang pernah ditulis, unggahan di masa lalu, foto dari tahun-tahun ketika jati diri masih samar—semuanya tetap ada, seolah waktu tak pernah benar-benar bergerak maju.
Paradigma lama melihat data sebagai cermin objektif realitas. Tapi dalam kenyataannya, data itu selalu terpotong, terkurasi, dan kontekstual. Seseorang mungkin pernah punya catatan kriminal, tapi apakah itu masih relevan untuk 10 tahun kemudian? Atau, seseorang pernah menulis tweet- haruskah itu mendefinisikan reputasinya selamanya? Obscurity menuntut kita tidak mengkultuskan data sebagai kebenaran tunggal, melainkan melihatnya sebagai bagian dari proses manusia yang terus berubah.
Di dunia digital, masa lalu tidak pudar, tidak tenggelam, tidak terhapus secara alami seperti memory yang luntur dari benak manusia. Dunia seperti ini sulit memberi ruang untuk menjadi baru. Sulit memberikan kesempatan untuk berubah tanpa bayang-bayang dari siapa yang pernah ada sebelumnya.
Maka muncul gagasan yang pelan-pelan mulai menemukan tempatnya: hak untuk tidak selalu terlihat. Sebuah hak yang lahir bukan dari niat menyembunyikan kesalahan, tetapi dari kebutuhan untuk menata jarak dengan masa lalu. Gagasan ini disebut sebagai right to obscurity. read more