“RESET TOTAL DPR!”

Jakarta, 2 September 2025

Gelombang demonstrasi yang berlangsung pada 25–31 Agustus 2025 menjadi penanda kekecewaan publik yang semakin memuncak terhadap Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini diperparah dengan adanya respon negatif anggota dewan,  lemahnya penindakan DPR, dan minimnya akuntabilitas kinerja.

Pemicu utama gelombang demonstrasi adalah kebijakan kenaikan gaji dan tunjangan termasuk dana reses dan kunjungan dapil anggota DPR. Kenaikan tersebut mencapai ratusan juta rupiah per anggota DPR di tengah kondisi sosial ekonomi yang masih rapuh. Seperti diketahui, pada Mei 2025 angka kemiskinan masih berada di 8,47% atau 23,85 juta orang  dan angka pengangguran terbuka di 4,76% (BPS, 2025). Di tengah realitas tersebut, gaji DPR setara dengan 27x lipat dari UMR rata-rata di Indonesia.

Sayangnya, sebagian anggota DPR justru merespons aspirasi massa secara negatif. Ini memperdalam jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap anggota DPR dan lembaga legislatif yang kinerjanya tidak memuaskan masyarakat.

Dari sisi legislasi, capaian DPR juga jauh dari memuaskan. Hingga Agustus 2025, RUU yang dibutuhkan publik penyusunannya sangat lambat, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset, dan RUU PPRT. Sementara, revisi UU BUMN, revisi UU TNI, dan revisi UU Minerba sangat cepat pembahasannya. Dalam prosesnya, tidak memenuhi standar kinerja transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Pemantauan Indonesian Parliamentary Center (IPC) mencatat terdapat 731 agenda rapat di DPR sepanjang 2025. Namun, dokumen hasil rapat yang diumumkan sangat terbatas: laporan singkat 79,8% , risalah hanya pada 25%, bahkan catatan rapat tidak tersedia sama sekali. Sementara itu, jumlah rapat tertutup mencapai 25,9% sepanjang masa sidang kedua hingga keempat.

Rendahnya kualitas keterbukaan informasi ini mempersempit ruang partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal legislasi, anggaran, maupun fungsi pengawasan. Kondisi ini memperkuat persepsi bahwa produk legislasi DPR lebih sering melegitimasi agenda pemerintah ketimbang menampung aspirasi publik.

Setelah berbagai aksi demontrasi, DPR merespon dengan menyelenggarakan agenda evaluasi gaji dan tunjangan secara kelembagaan. Namun sebenarnya ada hal yang perlu direformasi secara sistemik agar DPR semakin representatif, transparan, partisipatif, dan akuntabel, yaitu;

1. Membentuk Panel Independen untuk Review Gaji DPR

DPR harus membentuk tim independen yang berisi ahli keuangan negara, ahli parlemen, dan pakar kebijakan publik untuk mengevaluasi kebijakan gaji dan tunjangan, sehingga keputusan tersebut proporsional dengan standar anggota DPR dalam menjalankan fungsinya dan kondisi APBN dengan mempertimbangkan kondisi rakyat. Tim ini akan merumuskan standar gaji dan standar kinerja berdasarkan prinsip proporsionalitas, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas, termasuk merumuskan key performance indicator.

2. Memperjelas Mekanisme Nonaktif menjadi PAW secara Transparan

DPR melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) perlu memperjelas status anggota yang dinonaktifkan oleh partai politik. UU MD3 hanya mengenal pemberhentian sementara dan penggantian antarwaktu, sehingga mekanisme harus ditegakkan secara jelas dan transparan. Anggota yang dinyatakan nonaktif harus diperjelas statusnya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Terhadap anggota DPR yang sudah PAW agar dipercepat proses administrasi dan penggantiannya oleh DPR dan partai politik.

3. Memberlakukan Recall Berbasis Daerah Pemilihan (Dapil)

Agar DPR memilih opsi kebijakan yang lebih representatif dan akuntabel dalam proses recall anggota DPR (PAW) yaitu berbasis aspirasi konstituen di daerah pemilihan.  Hal ini untuk memastikan wakil rakyat bertanggung jawab langsung kepada konstituen, bukan hanya pada partai politik. Di samping itu, proses recall berbasis dapil dapat meningkatkan pengawasan terhadap anggota DPR oleh konstituen secara langsung.

4. Memperkuat Transparansi Kinerja DPR

DPR harus membuka akses publik terhadap dokumen hasil rapat legislasi, anggaran, maupun pengawasan, dan memperjelas ketentuan mengenai rapat yang bersifat tertutup. Tanpa hal tersebut masyarakat tidak dapat melakukan pengawasan yang efektif.

5. Meningkatkan Peran MKD dalam Penegakan Etik Anggota DPR

Peningkatan peran MKD dalam penegakan kode etik dilakukan dengan cara proaktif dalam memantau perilaku anggota DPR saat rapat maupun di luar rapat, keterbukaan dalam proses penanganan dugaan pelanggaran etik anggota DPR, dan peningkatan pelayanan pengaduan.

Narahubung

Peneliti Indonesian Parliamentary Center

Choris (089647883761)

Arif (085693720839)

 

Untuk mendapatkan salinan softcopy bisa akses link berikut ini : https://docs.google.com/document/d/1c4v9k1hSYSFy4lS3KsyQc5UVEwY8g4M5/edit?usp=sharing&ouid=118169457823386126506&rtpof=true&sd=true

Share your thoughts