Pengangkatan Kembali Anggota Komisi Informasi Tanpa Seleksi Ulang, Mahkamah Konstitusi Nyatakan Inkonstitusional dan Melanggar Pasal 30 dan 32 UU KIP

Pengangkatan Anggota Komisi Informasi, termasuk di periode yang kedua, harus melalui proses seleksi. Demikian inti dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang disampaikan Majelis  Hakim di gedung MK (7/2/17). Putusan ini merupakan respon atas permohonan judicial review (JR) terhadap pasal 33 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) perihal tafsir frasa “Dapat diangkat kembali”.

Sumber Gambar: pwyp-indonesia.org
Sumber Gambar: pwyp-indonesia.org

Permohonan JR ini dipicu oleh tindakan Gubernur Provinsi Gorontalo, yang mengeluarkan Surat Keputusan No. 323/11/VIII/2015 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi (KI) Provinsi Gorontalo Periode 2015-2019, tertanggal 13 Agustus 2015. Dalam SK tersebut, Anggota KI Provinsi Gorontalo diangkat oleh Gubernur untuk periode kedua tanpa proses seleksi, sebagaimana ketentuan pasal 30 dan pasal 32 UU KIP.

Dalam putusannya, MK menyatakan pengangkatan kembali secara langsung tanpa melalui proses seleksi -sebagaimana yang terjadi pada Komisi Informasi Provinsi Gorontalo- di samping bertentangan dengan pasal 30 ayat (2), pasal 32 ayat (1), ayat 2 dan ayat (3), juga telah menghilangkan hak publik untuk berpartisipasi, sekaligus mengawasi dan mengevaluasi kinerja Komisi Informasi. Termasuk juga menghilangkan peran DPR/DPRD dalam pengawasan Komisi Informasi. MK juga menegaskan mekanisme ini berpotensi mengganggu independensi KI (bias kepentingan pemerintah) serta berdampak pada pemenuhan dan perlindungan hak atas informasi publik.

Koordinator FoINI, Desiana Samosir, mengatakan “putusan MK ini, memperjelas bahwa pengangkatan kembali Anggota Komisi Informasi tanpa seleksi ulang adalah pelanggaran atas norma UU KIP dan inkonstitusional. Mengabaikan partisipasi masyarakat dan tidak transparan.Oleh karena itu pemerintah provinsi Gorontalo seharusnya segera mencabut SK tersebut” ujarnya.

FoINI sendiri, kata Desiana telah menyampaikan pendapatnya kepada Gubernur Gorontalo. Seperti diketahui, FoINI merupakan gabungan puluhan LSM di Indonesia dan para individu. Mereka mantan Anggota Komisi I DPR RI  sebagai pembentuk UU KIP, mantan Anggota KI Pusat, mantan Tenaga Ahli KI Pusat, mantan Anggota Timsel KI Pusat, pengacara, dan para pegiat yang mengadvokasi lahirnya UU KIP.

Selain itu, pengacara FOINI, Wahyudi Djafar menyatakan “Dengan putusan MK ini, frasa “dapat diangkat kembali” telah memperoleh tafsir jelas. Bahwa UU yang menggunakan frasa “dapat diangkat kembali” haruslah ditafsir dapat dipilih kembali dengan mekanisme sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.Ingat, MK itu satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan UU. Presiden dan DPR saja wajib tunduk pada tafsir MK. Apalagi Gubernur,” pungkas Wahyudi.

Andreas Pareira selaku penyusun UU KIP sekaligus Anggota Komisi I DPR RI menyatakan “Gubernur Gorontalo harus menaati UU KIP dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menguatkan norma UU KIP.   Gubernur Gorontalo dan DPRD Gorontalo harus taat, seleksi ulang KI. Demikian juga provinsi lain. Bila tidak, Komisi I akan panggil Gubernur manapun yang langgar UU ini dan tidak patuh putusan MK” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, pemohon judicial review ini antara lain: Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA),Yayasan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Yayasan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Muhammad Djufryhard (warga Gorontalo), dan Desiana Samosir (FOINI).

Contact Person:

Desiana Samosir (0813-6928-1962)

Wahyudi Djafar (0813-8208-3993)

Share your thoughts