PENGANTAR

 

Partai politik merupakan pilar utama demokrasi, namun di Indonesia pasca-Reformasi kinerja partai dinilai belum optimal. Banyak partai politik tidak memiliki basis sosial yang jelas dan cenderung hanya aktif menjelang pemilu lalu “tidur panjang” di antara dua pemilu. Akibatnya, hubungan yang melembaga dengan konstituen tidak terbangun dan kontribusi partai bagi kesejahteraan rakyat masih dipertanyakan. Kepemimpinan partai pun sering bersifat personalistik; figur ketua atau elit patron mendominasi arah partai ketimbang sistem kelembagaan yang demokratis. Dalam hal kaderisasi, sebagian besar partai belum memiliki sistem rekrutmen dan pembinaan yang jelas, sehingga proses rekrutmen politik cenderung oligarkis. Partai lebih berfungsi sebagai mesin elektoral jangka pendek daripada organisasi publik yang hidup sepanjang waktu.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, diperlukan pembaruan partai politik secara menyeluruh. Tulisan ini membahas lima pilar utama pembaruan partai politik, yaitu: (1) Demokratisasi internal, berupa pemilihan pengurus yang transparan serta pelibatan anggota dalam pengambilan keputusan; (2) Akuntabilitas, mencakup transparansi keuangan dan mekanisme evaluasi kinerja serta sanksi; (3) Keterwakilan kelompok sasaran (targeted representation), yaitu strategi memastikan kelompok sosial tertentu (mis. perempuan, pemuda, minoritas, pekerja informal) terwakili dalam struktur dan pencalonan; (4) Kaderisasi, yakni sistem rekrutmen dan pelatihan politik yang berjenjang, profesional, dan meritokratis; serta (5) Penguatan ideologi, yaitu penegasan fungsi ideologi sebagai arah perjuangan, pembeda partai, dan alat integrasi internal. Setiap pilar akan diuraikan dengan contoh praktik baik dari negara lain dan relevansinya bagi konteks Indonesia.

IDEOLOGI PARTAI

 

Ideologi merupakan roh dan arah perjuangan sebuah partai politik. Pilar ini menegaskan kembali betapa krusialnya platform ideologis bagi partai, baik sebagai pembeda (differentiator) antara satu partai dengan partai lain, maupun sebagai perekat internal yang menyatukan kader. Secara klasik, ideologi partai bisa berupa seperangkat nilai, prinsip, atau doktrin tertentu – misalnya nasionalisme kebangsaan, Islam politik, sosial-demokrasi, liberalisme, pancasilaist, dan sebagainya – yang menjadi basis visi misi partai. Ideologi ini lalu diterjemahkan ke dalam program perjuangan dan kebijakan konkret yang ditawarkan partai kepada pemilih. Dengan ideologi yang jelas, publik dapat mengenali posisi partai dalam spektrum politik, dan kader partai memiliki panduan moral serta arah kebijakan yang konsisten.

Dalam konteks Indonesia pasca-1998, banyak pengamat menilai terjadi pelemahan peran ideologi dalam partai politik. Sebagian besar partai dewasa ini cenderung pragmatis dan mengaburkan garis ideologis demi merangkul pemilih seluas mungkin. Problem utama partai-partai Indonesia adalah absennya pijakan ideologi yang tegas – banyak yang lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek (misalnya meraih jabatan atau keuntungan materi) dengan membungkusnya seolah-olah sebagai agenda ideologis. Partai politik kini “bertarung tanpa kejelasan ideologis, hanya mengutamakan kepentingan uang dan kekuasaan”.

Firmanzah (2008) mengkritik orientasi jangka pendek partai-partai pasca-Reformasi. Banyak partai dianggap tidak punya kejelasan ideologis, menjadikan kekuasaan dan kepentingan pragmatis sebagai tujuan utama, bukan ideologi atau platform nilai. Situasi ini membuat partai kehilangan grounding prinsipil dan mudah terjebak politik transaksional. Padahal, idealnya ideologi menjadi basis sistem nilai dan arah jangka panjang partai yang membedakannya dari partai lain

Akibatnya, kaderisasi pun gagal terbentuk dengan baik karena idealnya kaderisasi dibangun dalam kerangka kelompok ideologis yang solid. Sebaliknya, individualisme dan pragmatisme justru telah menjadi semacam “ideologi” tidak resmi di sejumlah partai, melahirkan partai tipe elektoral semata, yaitu partai yang hanya berfungsi sebagai mesin pemenangan pemilu berbasis figur individual dan transaksi, sementara tugas dan fungsi pendidikan politiknya kerap diabaikan. Fenomena politisi pindah partai (political hopping) yang marak setiap menjelang pemilu juga merupakan gejala lemahnya ikatan ideologis – politisi merasa partai-partai hampir tak ada bedanya selain kendaraan untuk berkuasa.

Tidak mengherankan jika perbedaan ideologi antar-partai di Indonesia semakin kabur. Hampir semua partai arus utama mengklaim ideologi Pancasila atau nasionalis kebangsaan yang serupa, dan tidak ada garis cleavages yang tegas seperti misalnya kubu kiri vs kanan dalam konteks Barat. Bahkan partai berbasis agama pun (seperti partai Islam) belakangan mengambil posisi sangat moderat yang mendekati nasionalis inklusif, sehingga batas ideologisnya mengecil. Survei menunjukkan banyak pemilih bingung membedakan platform ekonomi atau sikap kebijakan partai-partai, karena semuanya cenderung mirip dan sangat centrist. Kajian ilmiah mencatat bahwa belum pernah ada partai pasca-Reformasi yang benar-benar konsisten memiliki ideologi mutlak; seringkali ideologi partai hanya dituangkan sebagai dokumen tertulis untuk memenuhi syarat konstitusional semata, bukan menjadi landasan operasional sehari-hari.

Randall & Svasand (2002) dalam studi pelembagaan partai mengidentifikasi bahwa dimensi identitas politik/ideologi merupakan salah satu aspek vital institusionalisasi partai yang saling terkait dengan demokrasi internal, integritas organisasi, dll. Namun dalam kasus Indonesia, riset menunjukkan belum ada satu pun partai pasca-1998 yang benar-benar konsisten menjalankan ideologi secara utuh. Ideologi partai sering kali tidak jelas arah spesifiknya dan cenderung hanya menjadi retorika atau dokumen formal belaka. Hal ini melemahkan keutuhan internal partai dan hubungannya dengan konstituen, karena hubungan partai-pemilih menjadi transaksional bukan berbasis keterikatan ideologis. Padahal, ideologi sangat penting sebagai penanda identitas partai dan sumber orientasi jangka panjang. Jika ideologi tidak jelas, partai rentan kehilangan arah dan kepercayaan pemilih dalam jangka panjang.

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa ideologi yang jelas justru memperkuat posisi partai di mata publik. Di Amerika Serikat, misalnya, Partai Demokrat dan Partai Republik mempertahankan perbedaan ideologis yang konsisten (liberal vs konservatif) selama puluhan tahun, sehingga masing-masing memiliki basis pemilih loyal yang terikat pada platform nilai mereka (meski tentu ada pergeseran moderat). Demikian pula di Eropa Barat, partai-partai utama lahir dari ideologi tertentu – misalnya sosial-demokrasi, demokrasi kristen, sosialisme, liberalisme klasik – yang hingga kini tetap menjadi brand identity partai tersebut, walau diadaptasi dengan perkembangan zaman. Jerman pasca-Perang Dunia II, misalnya, memiliki CDU (partai kanan-tengah berideologi demokristen-konservatif) vs SPD (kiri tengah berideologi sosial-demokrat), ditambah partai liberal dan hijau; formasi ideologis ini memberikan pedoman jelas bagi pemilih dalam memilih partai yang sesuai nilai mereka, sekaligus mendorong perumusan kebijakan yang konsisten dari tiap partai. Partai berideologi kuat juga cenderung lebih solid secara internal – kader dan anggota memiliki komitmen emosional pada perjuangan partai, bukan sekadar keterikatan transaksional.

Karena itu, memperkuat ideologi partai menjadi agenda pembaruan yang penting di Indonesia. Bukan berarti partai harus kembali ke ideologi doktriner sempit seperti era Orde Lama, namun platform dan core values partai perlu dipertegas dan dijalankan secara konsisten. Partai bisa melakukan penajaman visi-misi dan program sesuai ideologi yang dipilihnya. Misalnya, jika mengklaim berbasis kerakyatan atau sosial demokrat, maka partai harus menunjukkan komitmen nyata pada advokasi kesejahteraan rakyat kecil dalam setiap kebijakan (bukan justru ikut mempertahankan status quo oligarki). Jika partai berasas Islam, perlu ditunjukkan melalui program-program yang pro-keadilan sosial sesuai nilai Islam dan pembelaan moral governance, bukan sekadar identitas simbolik. Partai juga mesti mendidik kader secara ideologis – melalui sekolah partai, penataran rutin – agar setiap anggota memahami platform partai dan mampu mengartikulasikannya ke publik. Tanpa internalisasi ideologi, sulit membangun loyalitas jangka panjang. Banyak kasus “lompat pagar” politisi terjadi karena mereka tidak merasakan perbedaan ideologis berarti antar partai. Dengan ideologi yang jelas, partai bisa membangun brand loyalty di kalangan pemilih yang sejalan nilai-nilainya, sehingga tercipta voter base yang relatif stabil.

Penegasan ideologi juga berfungsi sebagai alat integrasi internal. Dalam tubuh partai sering terdapat faksi-faksi atau kelompok kepentingan berbeda. Ideologi yang dipegang teguh bisa menjadi payung pemersatu di atas perbedaan-perbedaan kecil tersebut. Kader akan merasa memiliki cause bersama yang lebih besar, sehingga perselisihan personal bisa ditekan. Sebaliknya, jika partai hanya menjadi kendaraan perebutan kekuasaan tanpa arah nilai, konflik internal mudah meletup karena ikatan bersama lemah. Maka, partai perlu menegakkan disiplin ideologi: misalnya, mewajibkan kader yang duduk di pemerintahan untuk melaksanakan garis kebijakan sesuai platform partai. Kader yang menyimpang jauh dari ideologi partai semestinya diberi sanksi atau koreksi, sehingga garis perjuangan partai tetap terjaga konsistensinya.

Terakhir, ideologi yang kokoh akan membedakan partai dari yang lain di mata publik. Dalam situasi persaingan multi-partai seperti Indonesia, partai politik perlu positioning yang unik agar tidak dianggap sama saja. Diferensiasi ini paling ampuh bila didasarkan ideologi atau agenda perjuangan spesifik, sebab itu menyangkut hal mendasar yang sulit ditiru pesaing. Misalnya, Partai X menegaskan diri sebagai partai green politics (pro-lingkungan) pertama di Indonesia, atau Partai Y fokus pada ideologi sosialisme religius, dan sebagainya – identitas semacam ini akan menarik segmen pemilih tertentu yang merasa terwakili, sekaligus memaksa partai lain berkompetisi sehat dalam menawarkan alternatif ideologis. Dengan demikian, kontestasi politik menjadi lebih substantif dan tidak hanya berpusar pada perebutan figur atau jaringan patronase. Bagi demokrasi Indonesia, kembalinya orientasi ideologi dalam partai justru akan meningkatkan kualitas pilihan rakyat dan mematangkan sistem kepartaian kita.

DEMOKRATISASI INTERNAL

 

Demokratisasi internal berarti menerapkan prinsip-prinsip demokrasi di dalam tata kelola partai. Pengurus partai – mulai dari ketua umum hingga pimpinan daerah – sebaiknya dipilih melalui proses yang transparan, partisipatif, dan berkala. Keputusan strategis partai idealnya dirumuskan dengan melibatkan aspirasi anggota, bukan hanya diputuskan segelintir elit. Melalui internal yang demokratis, partai akan lebih legitimate di mata konstituen karena kepemimpinannya benar-benar mandat dari bawah. Selain itu, mekanisme ini dapat mencegah oligarki internal dan mendorong munculnya kader-kader terbaik yang mendapat dukungan luas dari anggota.

Beberapa negara telah menerapkan prinsip ini. Jerman secara tegas mensyaratkan demokrasi internal partai dalam konstitusinya; Undang-Undang Dasar Jerman 1949 (Pasal 21) menyatakan bahwa struktur internal partai “harus sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis”. Implementasinya, UU Partai Politik di Jerman mewajibkan partai memiliki anggaran dasar yang mengatur struktur organisasi, hak dan kewajiban anggota, prosedur pemilihan pengurus secara berkala dengan pemungutan suara rahasia, serta mekanisme pengambilan keputusan yang inklusif. Sementara itu, di Amerika Serikat, tuntutan demokratisasi partai sudah muncul sejak era Progressive sekitar awal abad ke-20 ketika reformis menolak dominasi “boss” partai yang korup. Sebagai solusi, sistem primary election (pemilihan pendahuluan) diperkenalkan untuk memberi hak kepada anggota dan pendukung partai memilih calon-calon untuk jabatan publik, alih-alih ditunjuk sepihak oleh bos partai. Pemilihan primer ini menumbuhkan keterlibatan konstituen partai secara luas dan melemahkan praktik patronase “mesin politik” lama.

Negara-negara demokrasi lain juga mengadopsi pemilihan internal yang lebih terbuka. Di Inggris, misalnya, Partai Konservatif dan Partai Buruh dewasa ini memberikan peran besar kepada anggota biasa dalam memilih pemimpin partai (melalui one-member-one-vote atau pemungutan suara anggota). Langkah serupa ditempuh banyak partai di Eropa Barat yang menggelar pemilihan ketua melalui konvensi atau referendum anggota, sehingga kepemimpinan partai lebih akuntabel kepada basisnya. Proses-proses ini menunjukkan bahwa prinsip demokrasi tidak berhenti di pemilu nasional semata, tetapi semestinya berlangsung pula di level internal partai.

Relevansi bagi Indonesia sangat jelas. Selama ini, pemilihan pengurus partai di Indonesia acapkali hanya formalitas yang dikendalikan oleh elite pusat, bahkan di beberapa partai cenderung melanggengkan dinasti tertentu. Reformasi internal perlu mendorong musyawarah nasional dan kongres partai yang benar-benar demokratis, di mana kontestasi kepemimpinan berlangsung adil dan setiap kandidat memiliki kesempatan setara untuk dipilih. Sebuah kajian merekomendasikan agar pemilihan ketua partai dibuat lebih demokratis (tidak didasarkan pada garis keturunan dan dengan pembatasan masa jabatan), serta mekanisme penentuan kandidat untuk pemilu dilakukan secara lebih terbuka dan berjenjang dengan memprioritaskan kader berprestasi yang sudah teruji loyalitasnya pada partai. Penerapan model semacam ini di Indonesia akan meningkatkan legitimasi pengurus partai, memperkuat ikatan antara anggota dan pimpinan, serta meminimalkan potensi perpecahan internal. Dalam jangka panjang, demokratisasi internal juga membantu partai beradaptasi dengan aspirasi publik yang berubah, sebab suara akar rumput tersalurkan dalam proses pengambilan keputusan partai.

KADERISASI

 

Kaderisasi adalah proses pembibitan dan pengembangan anggota partai menjadi kader-kader handal yang kelak memimpin partai maupun menduduki posisi publik. Pilar ini menekankan sistem rekrutmen dan pelatihan politik yang berjenjang, terstruktur, profesional, dan meritokratis. Artinya, partai merekrut anggota baru secara terbuka, lalu memberikan pendidikan politik internal secara rutin, menyiapkan jenjang karier bagi kader berdasarkan merit (prestasi, loyalitas, kapasitas), serta melakukan regenerasi kepemimpinan secara terencana. Melalui kaderisasi yang baik, partai senantiasa memiliki stok kader berkualitas untuk diusung dalam berbagai jabatan, sekaligus memastikan kelangsungan ideologi dan program partai lintas generasi.

Saat ini banyak partai politik Indonesia belum memiliki pola kaderisasi yang mapan. Sering terjadi, menjelang pemilu partai mendadak merekrut tokoh eksternal populer (artis, figur publik, pejabat pindahan) sebagai calon legislatif atau kepala daerah, karena kekurangan kader internal yang kompeten atau dikenal pemilih. Strategi instant semacam itu mungkin menguntungkan jangka pendek, namun merugikan pelembagaan partai dalam jangka panjang. Kader partai sendiri menjadi kurang termotivasi karena merasa jenjang karier politiknya terbatas. Selain itu, tanpa pembinaan ideologis yang kuat, loyalitas kader mudah goyah – tak jarang politisi berpindah partai demi peluang karier. Maka, sistem kaderisasi berjenjang perlu dibangun agar anggota partai sejak awal mendapat pembekalan dan prospek karier yang jelas, sehingga tumbuh sense of belonging dan dedikasi pada partai.

Contoh praktik baik kaderisasi bisa dilihat pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Setelah mengalami kekalahan pada Pemilu 2004, PDI-P melakukan introspeksi dan menyadari perlunya memperkuat kualitas kader. Salah satu inovasinya adalah mendirikan Sekolah Partai sebagai wahana pendidikan politik formal bagi kader-kadernya. Sejak 2010-an, PDI-P mewajibkan setiap calon anggota legislatif, calon kepala daerah yang diusung partai, hingga calon pengurus DPD/DPC partai untuk mengikuti program pendidikan di Sekolah Partai sebelum penugasan. Hasil kajian Hasto Kristiyanto, dkk (2022) mengenai Studi tentang Sekolah Partai PDI-P sebagai alat penguatan institusional partai dan peningkatan kualitas kader menunjukkan bahwa program Sekolah Partai yang mewajibkan training ideologi dan kepemimpinan bagi setiap calon pejabat publik dari PDI-P telah berkontribusi positif. Sekolah Partai menjadi bagian dari sistem kaderisasi PDI-P untuk menempa kader-kader terbaik sebagai calon pemimpin masyarakat. Di sekolah ini, para kader digembleng mengenai ideologi partai (Pancasila dan marhaenisme), strategi politik, keterampilan kepemimpinan, hingga simulasi pemecahan masalah di tengah masyarakat. Program tersebut dilaksanakan berjenjang (tingkat dasar untuk kader muda, tingkat lanjutan untuk kader yang akan menduduki jabatan publik) dan melibatkan mentor dari kalangan senior partai maupun akademisi. Hasilnya, PDI-P mengaku kualitas kader yang lolos seleksi Sekolah Partai lebih mumpuni dan solid secara ideologis. Studi literatur menunjukkan bahwa upaya institusionalisasi partai melalui sekolah kader ini membantu PDI-P meneguhkan identitas partai, sekaligus menekan potensi personalisasi berlebihan dalam kepemimpinan.
Dengan kata lain, kaderisasi yang terarah mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin partai yang loyal pada garis perjuangan organisasi, bukan sekadar figur yang membesarkan diri sendiri.

Di tingkat internasional, banyak partai telah lama menjalankan program kaderisasi. Jerman memiliki model unik melalui yayasan-yayasan politik (Stiftungen) yang berafiliasi dengan partai utama (seperti Konrad Adenauer Stiftung milik CDU, Friedrich Ebert Stiftung milik SPD, dll). Yayasan ini rutin mengadakan seminar, kursus, dan beasiswa pendidikan politik bagi pemuda dan anggota partai, yang secara tidak langsung menjadi sarana kaderisasi kader partai dengan perspektif kebijakan yang luas. Swedia dan negara-negara Skandinavia dikenal dengan sistem study circle dalam partai-partai mereka, yaitu kelompok diskusi rutin di tingkat lokal yang membahas ideologi, program partai, dan isu kebijakan, sehingga anggota partai di akar rumput terus terasah pemahamannya dan siap maju ke peran lebih besar. Partai-partai besar di Inggris dan Amerika Serikat pun meski struktur kaderisasinya tidak seformal di sistem kepartaian tertutup, memiliki organisasi sayap (seperti Young Labour, Young Conservatives, atau college Republicans/Democrats) yang menjadi tempat anak muda belajar berpolitik sejak dini. Alumni sayap pemuda ini kerap tampil menjadi pemimpin partai di kemudian hari.

Hal penting dalam kaderisasi adalah memastikan meritokrasi dan profesionalisme. Artinya, kader yang dipromosikan ke jabatan lebih tinggi hendaknya benar-benar karena kapasitas dan dedikasinya, bukan semata karena koneksi keluarga atau patronase. Dengan meritokrasi, setiap anggota partai termotivasi meningkatkan kualitas diri karena peluang karier terbuka bagi yang berprestasi. Partai perlu menyusun kriteria objektif untuk rekrutmen dan promosi kader – misalnya rekam jejak kiprah di masyarakat, kemampuan komunikasi politik, penguasaan isu kebijakan, loyalitas terhadap ideologi partai, dan integritas pribadi. Pelatihan keterampilan politik (seperti teknik kampanye, debat kebijakan, advokasi masyarakat) sebaiknya diberikan secara periodik. Penelitian tentang penguatan partai di Indonesia menyarankan beberapa langkah konkret: pertama, partai perlu memberikan pembekalan ideologis dan praktis secara rutin kepada kader, termasuk mengajak kader terjun ke tengah masyarakat untuk memahami persoalan nyata; kedua, menyiapkan jenjang karier politik yang terencana bagi kader berprestasi; ketiga, melakukan alih generasi kepemimpinan secara sehat sehingga tidak terjadi stagnasi elit14. Ketiga hal tersebut akan memastikan regenerasi partai berlangsung lancar: kader muda muncul, tapi tidak mengkhianati nilai-nilai yang diperjuangkan partai karena sudah dibekali pemahaman ideologis yang kuat.

Bagi partai-partai Indonesia, membangun sistem kaderisasi memang bukan perkara instan. Dibutuhkan investasi waktu, sumber daya, dan komitmen jangka panjang. Namun, manfaatnya besar: partai akan memiliki barisan kader militan dan kompeten, tidak perlu selalu mengandalkan figur non-kader saat pemilu. Kaderisasi yang baik juga memperkuat kesetiaan internal sehingga mengurangi fenomena “lompat partai” karena kader merasa dibina dan dihargai karier politiknya. Dalam jangka panjang, partai dengan kaderisasi kuat cenderung lebih survive dan berpengaruh, karena mampu melahirkan pemimpin-pemimpin visioner yang tumbuh dari rahim partai sendiri.

TARGETED REPRESENTATION

 

Keterwakilan kelompok sasaran (targeted representation) merujuk pada upaya partai memastikan bahwa kelompok-kelompok sosial tertentu yang selama ini terpinggirkan atau kurang terwakili dapat memperoleh tempat dalam struktur organisasi partai maupun dalam daftar calon legislatif dan pejabat publik. Kelompok sasaran ini antara lain perempuan, pemuda, kelompok minoritas etnis maupun agama, kelompok difabel, hingga kalangan pekerja informal atau kelompok marjinal lainnya. Pilar reformasi ini penting untuk menjawab kesenjangan representasi yang acap terjadi dalam politik. Tanpa intervensi sengaja, struktur kekuasaan cenderung didominasi oleh kelompok mayoritas atau elit tradisional (misalnya laki-laki, usia lebih tua, etnis mayoritas, kelas menengah-atas), padahal demokrasi mengandaikan keterlibatan semua kelompok warga secara proporsional.

Di Indonesia, isu keterwakilan terutama mengemuka pada representasi perempuan. Sejak Pemilu 2004, regulasi mengamanatkan kuota 30% perempuan dalam daftar calon legislatif setiap partai untuk setiap daerah pemilihan. Kebijakan afirmatif ini berhasil meningkatkan jumlah caleg perempuan yang dicalonkan. Namun, dalam implementasi hasil pemilu, proporsi perempuan di parlemen masih relatif rendah dibanding angka kuota tersebut. Pada Pemilu 2019, misalnya, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya sekitar 21,9% (naik sedikit dari 17% di Pemilu 2009 dan 18% di 2014), jauh dari target 30%.

Pada Pemilu 2019, dari 575 anggota DPR RI terpilih, hanya 20,5% atau 118 orang yang berjenis kelamin perempuan (meningkat sedikit dari 17% pada Pemilu 2014). Angka ini masih jauh di bawah kuota 30% yang diamanatkan dalam UU Pemilu (link). Rendahnya persentase keterwakilan perempuan tersebut menunjukkan bahwa meski kuota pencalonan tercapai (banyak partai memenuhi syarat 30% caleg perempuan), faktor lain seperti penempatan dalam nomor urut “aman”, kultur pemilih, dan dukungan kampanye turut menentukan peluang perempuan terpilih

Hal ini menunjukkan bahwa selain kebijakan kuota pada tahap pencalonan, diperlukan strategi lebih lanjut agar perempuan benar-benar terpilih dan menduduki kursi legislatif. Partai perlu menempatkan politisi perempuan tidak hanya sebagai pelengkap di nomor urut bawah, tetapi di posisi-posisi strategis yang berpeluang menang, serta membekali mereka dengan dukungan sumber daya dan kampanye yang memadai.

Kelompok pemuda dan minoritas juga menghadapi tantangan serupa. Tanpa upaya afirmatif, kaum muda sulit tampil karena terhalang senioritas dalam partai dan mahalnya biaya politik, sementara kelompok minoritas bisa terpinggirkan oleh politik aliran atau identitas mayoritas. Untuk itu, partai dapat mengambil inisiatif dengan menetapkan aturan internal, misalnya alokasi kursi kepengurusan untuk sayap pemuda atau syarat proporsi minimal calon legislatif berusia di bawah 35 tahun. Begitu pula, partai bisa memberi porsi bagi perwakilan komunitas minoritas (misal tokoh dari kelompok agama atau etnis minoritas) dalam jabatan penting, atau setidaknya memastikan suara mereka tersalurkan dalam penyusunan platform. Di tingkat global, beberapa negara menerapkan model reserved seats bagi kelompok tertentu – misalnya, Selandia Baru memiliki kursi khusus bagi penduduk Māori di parlemen, dan India maupun Nepalmenggunakan sistem kuota etnis/kasta dalam lembaga legislatif. Mekanisme semacam itu mendorong partai untuk mencalonkan kandidat dari kelompok sasaran sehingga parlemen lebih mencerminkan kemajemukan masyarakat.

Contoh praktik terbaik dapat dilihat di berbagai negara. Rwanda menjadi model terkenal dalam hal keterwakilan perempuan. Pasca tragedi genosida 1994, Rwanda melakukan reformasi konstitusi yang pada tahun 2003 menetapkan kuota 30% kursi untuk perempuan di semua badan legislatif. Hasilnya dramatis: Rwanda kini menjadi negara pertama di dunia dengan mayoritas anggota parlemen perempuan, mencapai sekitar 61% dari total kursi (data 2013–2018).

Inter-Parliamentary Union (data 2013–2018) menyebutkan Rwanda consistently menempati peringkat tertinggi dunia dalam representasi perempuan. Setelah menerapkan kuota gender 30% pasca-konstitusi 2003, persentase perempuan di Chamber of Deputies (majelis rendah Rwanda) melonjak menjadi 48.8% pada pemilu 2003, lalu 56% (2008), dan mencapai puncak 63.8% pada 2013 sebelum stabil di kisaran 61% (periode 2018). Rwanda menjadi negara pertama dengan mayoritas parlemen perempuan, berkat kombinasi kuota wajib dan komitmen politik pasca-konflik untuk memberdayakan perempuan.

Kebijakan kuota ini bukan sekadar memenuhi angka, tetapi juga diikuti komitmen menempatkan perempuan pada posisi calon yang winnable (berpeluang terpilih). Dampaknya, banyak undang-undang pro-perempuan lahir, seperti reformasi hak waris dan kesetaraan upah, menunjukkan bahwa meningkatnya representasi berkontribusi pada perubahan kebijakan substantif.

Di Britania Raya, Partai Buruh telah menginisiasi langkah afirmatif internal berupa All-Women Shortlists (AWS) sejak pertengahan 1990-an. Melalui skema ini, partai menentukan bahwa di sejumlah daerah pemilihan tertentu, kandidat yang dicalonkan hanya dari kalangan perempuan. Kebijakan ini sempat kontroversial, namun terbukti efektif meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Dalam kurun kurang dari 20 tahun, proporsi perempuan di Fraksi Partai Buruh di House of Commons melonjak dari sekitar 25% menjadi lebih dari 50%, menjadikan komposisi fraksi tersebut hampir seimbang secara gender.

Jens Wäckerle (2021) menyebutkan sejak 1990-an Labour Party menggunakan All-Women Shortlists (AWS) untuk seleksi calon di distrik-distrik pemilihan yang dianggap dapat dimenangi partai. Kebijakan ini berhasil mengatasi bias gender dalam seleksi kandidat. Dalam rentang kurang dari 20 tahun, proporsi anggota parlemen perempuan dari Partai Buruh naik dari 25% menjadi 50% lebih[^23]. Langkah afirmatif top-down ini terbukti sangat efektif mengoreksi under-representation perempuan (link). Sukses Labour mendorong partai lain (Liberal Democrats) turut mengadopsi versi AWS, sementara Partai Konservatif mulai menerapkan daftar prioritas perempuan meski belum seketat AWS Labour.

Keberhasilan ini mendorong partai-partai lain mempertimbangkan langkah serupa. Kasus Inggris menunjukkan bahwa tindakan targeted representation yang tegas (seperti menetapkan daftar calon khusus perempuan di dapil yang dapat dimenangkan) jauh lebih ampuh daripada sekadar imbauan atau upaya sukarela belaka.

Selain kuota gender, ada pula praktik mengarusutamakan partisipasi pemuda. Di beberapa negara Eropa, partai politik memiliki sayap pemuda yang sangat aktif dan diberi hak suara dalam menentukan kebijakan partai. Bahkan ada partai yang menetapkan posisi wakil ketua partai harus diisi tokoh di bawah usia tertentu, guna menjamin perspektif generasi muda masuk dalam pimpinan. Organisasi sayap (perempuan, pemuda, buruh, petani, dll.) idealnya difungsikan sebagai talent pool bagi partai: pengurus sayap yang berprestasi diproyeksikan naik ke jabatan partai inti atau dicalonkan dalam pemilu. Dengan demikian, keberagaman perwakilan tidak berhenti di tataran simbolis, tetapi nyata dalam struktur kekuasaan partai dan output politiknya.

Bagi Indonesia, meningkatkan keterwakilan kelompok sasaran merupakan agenda relevan sekaligus tantangan. Kebijakan kuota 30% perempuan sudah menjadi langkah awal yang baik, namun perlu penguatan. Partai sebaiknya melakukan kaderisasi khusus bagi politisi perempuan dan pemuda, memberikan mereka mentoring, akses pendanaan, dan panggung lebih luas sehingga mampu bersaing setara. Partai juga bisa belajar dari inovasi di negara lain, misalnya mengalokasikan sebagian dana negara yang diterima partai untuk program pendidikan politik bagi perempuan dan pemuda, sebagaimana diwajibkan di Meksiko (dimana alokasi ini diawasi ketat oleh institusi pemilu).

Pada akhirnya, representasi inklusif akan menguntungkan partai itu sendiri: partai yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat cenderung memiliki basis dukungan lebih luas dan mampu merumuskan kebijakan yang peka terhadap kepentingan publik yang beragam. Ini bukan semata isu keadilan sosial, tetapi juga strategi elektoral jangka panjang yang cerdas bagi partai politik di Indonesia.

AKUNTABILITAS

 

Akuntabilitas merupakan pilar pembaruan yang krusial untuk memastikan partai politik menjalankan fungsi secara transparan dan bertanggung jawab kepada konstituen. Ada beberapa dimensi akuntabilitas internal partai, antara lain: transparansi keuangan, evaluasi kinerja pejabat publik dari partai, dan penegakan sanksi etika secara internal. Transparansi keuangan berarti partai membuka informasi mengenai sumber pendanaan dan penggunaan dananya, sesuai prinsip akuntansi yang dapat diaudit. Evaluasi kinerja mencakup penilaian rutin terhadap pengurus partai maupun kader yang duduk di lembaga legislatif atau eksekutif, untuk memastikan mereka melaksanakan tugas sesuai platform partai dan aspirasi pemilih. Sementara itu, sanksi internal diperlukan agar ada konsekuensi tegas bagi kader yang melanggar disiplin atau terlibat kasus korupsi/penyimpangan – misalnya teguran, pencopotan jabatan, hingga pemecatan dari keanggotaan partai.

Kenyataannya, partai-partai di Indonesia masih lemah dalam hal akuntabilitas. Dari sisi keuangan, minimnya transparansi telah menjadi sorotan. Hingga kini banyak partai belum memenuhi kewajiban untuk mempublikasikan laporan keuangan tahunan dan pembukuan sumbangan secara terbuka, meskipun regulasi telah mengaturnya6. Kondisi tata kelola partai yang tertutup dan minim akuntabilitas ini menurunkan kepercayaan publik, dan bahkan dikhawatirkan memperkuat praktik politik transaksional. Transparency International Indonesia mencatat bahwa peningkatan bantuan keuangan negara kepada partai politik berisiko menjadi kebijakan yang tidak efektif bila tidak dibarengi reformasi tata kelola yang transparan – alih-alih memperkuat partai, tambahan dana justru dapat memperkokoh reproduksi kekuasaan oligarkis tanpa akuntabilitas6. Dengan kata lain, suntikan dana publik harus diiringi perbaikan pertanggungjawaban partai agar tujuan penguatan demokrasi tercapai.

Sebagai pembanding, di banyak negara dengan demokrasi lebih mapan telah diterapkan standar akuntabilitas partai yang tinggi. Jerman mewajibkan setiap partai politik untuk mempublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit secara independen, dan negara menjatuhkan sanksi tegas bila ada pelanggaran pelaporan tersebut. Swedia dan Finlandiamenerapkan regulasi ketat yang membatasi sumber dana kampanye dari pihak eksternal serta mewajibkan pelaporan rutin, termasuk mengungkap asal-usul setiap donasi besar. Bahkan di Meksiko, meski indeks persepsi korupsinya relatif rendah, kerangka regulasi partai dinilai lebih maju dibanding Indonesia: setiap partai penerima dana publik diwajibkan mengalokasikan sebagian dana itu untuk pendidikan politik dan peningkatan partisipasi kelompok rentan, dengan pelaporan penggunaannya diawasi langsung oleh otoritas pemilu nasional7. Praktik-praktik tersebut menunjukkan bahwa transparansi dan pengawasan yang ketat dapat diterapkan tanpa menghambat kehidupan partai, justru meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.

Di tingkat internal, akuntabilitas juga berarti partai berani menegakkan aturan dan sanksi kepada kadernya. Contoh baik bisa dilihat pada sikap tegas beberapa partai ketika kadernya tersangkut kasus korupsi. Pada 2015, Partai NasDem secara tanpa kompromi memberhentikan Sekjen-nya, Patrice Rio Capella, segera setelah ia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK, meskipun yang bersangkutan termasuk tokoh penting partai tersebut8. Bahkan seorang petinggi NasDem lain yang menjabat Ketua Mahkamah Partai (OC Kaligis) juga dipecat ketika terjerat perkara hukum yang sama8. Tindakan cepat seperti ini memberikan sinyal positif bahwa partai menegakkan standar integritas internal. Partai lain, seperti PDI-P dan Gerindra, pernah menyatakan komitmen serupa untuk memecat kader yang terbukti korup. Namun, tentu yang dibutuhkan adalah sistem yang sistematis, bukan hanya keputusan ad-hoc. Karena itu, partai perlu memiliki kode etik yang jelas dan lembaga penegak etik internal (semacam mahkamah partai atau dewan kehormatan) yang independen untuk mengadili pelanggaran oleh kader.

Mekanisme evaluasi kinerja juga harus dijalankan. Misalnya, anggota parlemen dari partai diwajibkan membuat laporan periodik kepada partai dan konstituen; hasil evaluasi bisa menjadi dasar promosi atau penurunan posisi mereka di kemudian hari. Partai berhak tidak mencalonkan ulang wakil rakyat yang kinerjanya buruk atau menyimpang dari garis kebijakan partai. Langkah ini akan mendorong kedisiplinan dan orientasi pelayanan publik di kalangan kader yang menjabat.

Sebagai insentif, skema pendanaan publik juga dapat dikaitkan dengan akuntabilitas. Satu gagasan reformasi adalah pendanaan publik berbasis kinerja: misalnya, partai yang menjalankan demokrasi internal, melibatkan kelompok marjinal dalam struktur, dan aktif melakukan pendidikan politik berhak mendapat bantuan dana lebih besar, sedangkan yang abai terhadap aspek-aspek tersebut mendapat lebih kecil. Rekomendasi seperti ini telah diajukan oleh pegiat antikorupsi, agar bantuan negara mendorong perilaku positif partai. Pada akhirnya, akuntabilitas internal yang kuat akan membuat partai lebih dipercaya publik serta mencegah infiltrasi kepentingan sempit yang merusak demokrasi.