PENYEDERHANAAN SISTEM KEPARTAIAN DI PARLEMEN


Sistem kepartaian menurut Ramlan Surbakti (1992) adalah pola perilaku dan interaksi diantara partai politik dalam suatu sistem. Sementara Hague and Harrop (2004) mendefinisikan sistem kepartaian sebagai interaksi antara partai politik yang perolehan suaranya signifikan. Berdasarkan definisi di atas, sistem kepartaian menggambarkan pengelompokkan kepentingan-kepentingan yang ada di parlemen dan kelompok-kelompok tersebut memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses pengambilan kebijakan di parlemen. Bisa berdasarkan partai atau gabungan partai-partai.

Sistem kepartaian menggambarkan jumlah partai relevan/efektif di parlemen dan fragmentasi kepentingan. Teorinya, semakin sedikit jumlah partai atau fragmentasi yang ada di parlemen, semakin efektif juga parlemen dalam bekerja. Tidak bertele-tele dalam mengambil keputusan karena fragmentasi kepentingannya tidak banyak.

Ada tiga sistem kepartaian yang umum dikenal dalam teori-teori politik. Yaitu, sistem partai tunggal, dwipartai dan multipartai. Pertama, Sistem partai tunggal (one party sistem). Istilah ini dipergunakan untuk partai politik yang benar-benar merupakan satu-satunya partai politik dalam suatu negara, atau partai politik yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai politik lainnya. Kedua, sistem dwipartai diartikan terdapat dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil mendapatkan tempat dua teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, sehingga posisinya dominan dalam parlemen. Ketiga, sistem multipartai untuk menunjukkan lebih dari dua partai yang mempeorleh kursi dominan di parlemen.

Di Amerika dan Inggris, jumlah partai riil yang ada di masayarakat mencapai belasan atau puluhan. Akan tetapi, di dua negara tersebut sistem kepartaiannya disebut sistem dwipartai, sebab hanya dua partai masuk di parlemen, atau hanya dua partai yang paling menentukan pembuatan keputusan di parlemen. Sebagai ilustrasi, pemilu Inggris tahun 2010 yang menghasilkan 14 partai politik masuk parlemen. Namun dari 779 kursi di parlemenen Inggris terkonsentrasi pada Partai Konservatif (220), Partai Buruh (218), dan Partai Liberal Demokrat (99); Sedang 9 partai lain mendapatkan kursi bervariasi antara 1 hingga 9 (www.www.parliament.uk: 2014). Oleh karena itu, sistem kepartaian di Inggris hasil Pemilu 2010 sesungguhnya hanya ditentukan oleh 2 atau 3 partai dan Inggris masuk kategori sistem dwipartai.

Untuk mengukur tingkat efektifitas jumlah partai di parlemen yang efektif atau ENPP (Efffective Number of Parliamentary Parties) terdapat rumus sederhana yang dikembangka oleh Giovani Sartori:

n

ENPP =  1(/si)= 1/ (s1 +  s2 + s3 + s4 +………….. sn)

i=1

Sebagai ilustrasi, bagaimana menentukan sistem kepartaian berdasarkan jumlah efektif partai di parlemen, (Kartawidjaja: 2012) menyajikan dalam tabel berikut. Tampak pada sistem I, yaitu sistem dwipartai, kursi parlemen terbagi 50:50, sehingga Indeks ENPP-nya adalah 2,0. Pada sistem II atau sistem pulralisme moderat, yang perolehan kursinya 25:25:25:25, maka indeks ENPP-nya adalah 4,0. Sedang pada sistem III, meskipun jumlah partai masuk parlemen adalah 4, namun sistem kepartaianya masuk kategori dwipartai karena indeks ENPP-nya adalah 2,23. Semakin rendah ENPP menunjukkan bahwa semakin tinggi efektifitas dalam mengambil kebijakan.

Tabel Ilustrasi Sistem Kepartaian Berdasarkan Indeks ENPP

Sistem I Sistem II Sistem III
Partai Parlemen Perolehan kursi SI 2 Perolehan Kursi SI 2 Perolehan Kursi SI 2
A 50 0,25 25 0,0625 60 0,360
B 50 0,25 25 0,0625 25 0,063
C 25 0.0625 10 0,010
D 25 0,0625 5 0,003
Jumlah 100 S si 2 = 0,50 100 S si 2 = 0,25 100 S si 2 = 0,4325
ENPP 1/S si = 2,0 1/S si 2 = 4,0 1/S si 2 = 2,23

Sumber: Pipt R Kartwawijaya dalam Tentang Efektivitas dan Effesiensi Keparlemenan Atau Penciptaan Multikepartaian  Sederhana Di Dalam Tubuh Parlemen (naskah tidak dipublikasikan)

Jika melihat hasil pemilu Indonesia paska reformasi memang menunjukan fakta bahwa selain perbedaan hasil pemilu legislatif dan eksekutif, hasil pemilu legislatif, khususnya Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, belum mampu menciptakan sistem multipartai sederhana. Dari dua kali pemilihan presiden langsung pada 2004 dan 2009, hanya mampu membentuk 6,1 alias sistem multipartai ekstrim. Sebenarnya hasil pemilu Indonesia pernah membentuk sistem kepartaian sederhana, Pemilu 1999 yang walaupun menghasilkan lebih banyak partai politik di DPR (21) ternyata menghasilkan indeks ENPP yang lebih rendah.

Tabel Jumlah Partai Politik di DPR dan Indeks ENPP hasil Pemilu Paskareformasi

Pemilu Jumlah Partai Politik Indeks ENPP
1999 21 4,7
2004 12 7,1
2009 9 6,2

Sumber: tabel dikutip dari Didik Supriyanto dan August Mellaz, Ambang Batas Perwakilan; Pengaruh Parliamentary Trehsold terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu.

Untuk memperoleh multipartai sederhana di parlemen, ada sejumlah cara alternaif yang digunakan:

Pertama, melalui rekayasa pemilu. Yaitu dengan menaikkan angka Parliamentary Threshold (PT) dan menyedikitkan kuota kursi di daerah pemilihan pada sistem pemilu terbuka. Logikanya, semakin tinggi PT, maka semakin sedikit partai yang masuk di parlemen. Begitupula, semakin kuota kursi di daerah pemilihan sedikit, maka semakin sedikit kuota kursi yang disediakan, persaingan semakin ketat. Sehingga partai besar berpotensi memperoleh lebih banyak kursi di dapil dibandingkan partai kecil.

Saat ini pemilu 2014 sudah berjalan dengan PT 3,5% dan alokasi kursi per dapil 3-10 kursi. Ketentuan mengenai PT dan alokasi kursi per dapil dirasa lebih baik untuk memrekayasa sistem kepartaian yang lebih sederhana. Bagaimana efektifitas ketentuan di atas mempengaruhi efektifitas parlemen, kita lihat hasil pemilut 2014 mendatang.

Cara alternatif berikutnya, tetapi masih dalam domain pemilu adalah dengan cara meningkatkan mengadakan pemilu legislative dan pemilu presiden dengan cara stimulan. Stimulan dapat dimaknai denga hari pemungutan serentak atau surat suara gambar capres dan partai dalam satu kotak. Dengan cara seperti ini kecenderungan pemilih untuk mencoblos calon presiden dan calon anggota legislative dari partai yang sama cukup tinggi. Sehingga, perolehan kursi presiden cenderung sama dengan perolehan kursi partai di DPR.

Alternatif kedua, yaitu dengan menyederhanakan sistem kepartaian melalui pengaturan fraksi di parlemen. Cara yang bisa digunkan diantaranya menentukan persyaratan yang cukup tinggi bagi partai politik untuk membentuk fraksi. Fraksi berbeda dengan sistem kepartaian. Akan tetapi, adanya fraksi yang sederhana juga akan berdampak kepada efektifitas pengambilan kebijakan di parlemen. Saat ini pengambilan-pengambilan kebijakan strategis di DPR diputuskan oleh fraksi-fraksi.

Pada UU MD3 (pasal 80) sekarang, fraksi dibentuk setelah melewati parliamentary threshold. Artinya ambang batas parlemen, 3,5 persen sekaligus dijadikan ambang batas untuk membentuk fraksi.

Tabel fraksi-fraksi di DPR

No. Partai/Fraksi Kursi DPR %
1 Demokrat 148 26,4
2 Golkar 106 18,92
3 PDI-P 94 16,78
4 PKS 57 10,17
5 PAN 46 8,21
6 PPP 38 6,78
7 PKB 28 5,00
8 GERINDRA 26 4,64
9 HANURA 17 3,04
  Total 560 100,00

Sumber: www.dpr.go.id

 

Oleh karena itu, di masa yang akan datang, ambang batas untuk pembentukan fraksi bisa dibuat lebih tinggi daripada ambang batas di pemilu. Dalam hal ini IPC mengusulkan dua kali ambang batas parlemen pada pemilu, yaitu 7 persen. Angka tersebut untuk guna menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen dengan pertimbnagan (1) Efektifitas pengambilan kebijakan di parlemen (2) Kemampuan fraksi untuk mengisi seluruh komisi dan alat kelengkapan di DPR sehingga secara akuntabilitas kinerja fraksi bisa tercapai. Dengan angka tersebut, berdasarkan data di atas, maka akan ada empat partai yang harus bergabung atau menggabungkan diri dengan partai lain.

Selain pemberian ambang batas dalam proses pembentukan fraksi, hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan menetapkan bahwa dalam DPR hanya ada tiga fraksi yang akan dibentuk dibentuk. Yaitu, fraksi pemerintah, fraksi oposisi dan fraksi penengah. Jumlah anggota fraksi dari ketiga jenis fraksi tersebut masih berdasarkan pada dua hal di atas, yaitu efektifitas kinerja dan distribusi anggota di seluruh alat kelengkapan.

Persayaratan pembentukan fraksi juga bisa diperketat dengan cara mensyaratkan jumlah fraksi minimal adalah dua kali lipat dari jumlah alat kelengkapan. Pertimbangannya adalah fraksi akan memiliki sumberdaya yang cukup untuk mendistribusikan dan mengontrol para anggota-anggotanya di alat kelengkapan. Jika tatib yang sekarang mensyaratkan 1 orang hanya bisa membahas RUU sebanyak rangkap 2, maka dengan memiliki anggota 2 orang di setiap alat kelengkapan, maka rangkap jabatan bisa dihindari.

FUNGSI LEGISLASI


Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, menempatkan Badan Legislasi sebagai elemen utama dalam menjalankan tugas DPR sebagai pembuat Undang-Undang. Sebagai elemen utama dalam menjalankan tugas legislasi, Badan Legislasi memiliki tiga kewenangan penting. Pertama, menyusun dan mengkoordinasi rencana prolegnas. Kedua, menyiapkan Rancangan Undang-Undang. Ketiga, melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep RUU yang diajukan oleh anggota, komisi, atau DPD.

Dengan kewenangan tersebut, sejauh ini Badan Legislasi bisa berperan sebagai penjaga kualitas dan penjaga politik dari kekuasaan legislasi DPR. Terutama pada kewenangan pengharmonisasian, pembulatan dan pematangan konsep, karena berdasarkan praktek yang berlangsung, sering usulan RUU yang diajukan oleh anggota atau komisi sering tidak pas antara materi dengan tujuannya. (Malik Haramain:2014)

Sebagaimana alat kelengkapan lainnya, seluruh fraksi menempatkan anggotanya di Baleg. Fraksi berperan penting dalam mengontrol kinerja anggotanya dan memiliki  pengaruh strategis terhadap kinerja Baleg secara organisasi. Peran strategis fraksi tidak hanya melekat pada kewenagan dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh langsung terhadap kinerja Baleg. Hasil evaluasi Baleg terhadap anggotanya akan ditindaklanjuti oleh fraksi.

Dengan fungsi yang terbatas tersebut, Badan legislasi sudah selayaknya digantikan dengan Panitia Legislasi saja. Karena fungsi utamanya itu bisa dilimpahkan kepada Komisi dan proses harmonisasi dan sinkronisasi bisa dilaksanakan oleh unit keahlian.

FUNGSI PENGAWASAN


Fungsi pengawasan merupakan fungsi yang memiliki peran utama dalam mendorong akuntabilitas kinerja pemerintah. Fungsi ini bekerja mengikuti siklus fungsi legislasi dan fungsi penganggaran. Temuan pengawasan bisa didapatkan kapanpun dan ditindaklanjuti dalam proses pengawasan juga dalam sembarang waktu. Akan tetapi, tindaklanjut dari pengawasan tersebut mengikuti proses legislasi dan penganggaran di DPR. Sehingga dengan demikian, fungsi pengawasan memiliki posisi yang cukup sentral dan strategis.

Berdasarkan hasil kajian Tim Peningkatan Kinerja DPR RI, teridentifikasi dua permasalahan dalam fungsi pengawasan, yaitu pertama Rendahnya efektifitas pengawasan melalui rapat-rapat. Rendahnya efektifitas pengawasan dapat dimaknai bahwa pengawasan DPR belum mampu ditindaklanjuti dengan baik karena DPR dalam rapat-rapat komisi tidak memberikan data-data dan indicator-indikator apa yang harus dicapai pemerintah setelah pengawasan dilakukan. Sehingga kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat-rapat pengawasan ditafsirkan secara sepihak oleh pemerintah. Dengan demikian, fungsi check and balances juga belum efektif dilaksanakan.

Kedua, Aspirasi masyarakat/konstituen pada saat anggota melakukan pengawasan ke daerah tertentu (kunjungan kerja) seringkali tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Hal tersebut bisa terjadi karena, agenda-agenda pengawasan belum menjadi prioritas fraksi. Selama ini fraksi lebih memprioritaskan isu-isu pada fungsi legislasi dan fungsi anggaran. Kecuali isu tersebut mendapat perhatian besar dari media atau terkait dengan persaingan antar partai politik.

Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disampaikan Al Muzzammil Yusuf (2006)  dalam tulisannya terkonfirmasi bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan masih setengah hati dilakukan. Pelaksanaan fungsi masih bergantung pada kepentingan anggota atau fraksi sebagaimana identifikasi permasalahan yang ditemukan tim Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI.

Fungsi pengawasan ini pada praktiknya dimanfaatkan untuk politik transaksional agar menguntungkan kelompok tertentu untuk menutupi prilaku koruptif dan bukan untuk mewujudkan good governance dan clean government. Sebagai contoh, interpelasi terhadap lumpur lapindo, angket BBM dan yang terakhir adalah angket terhadap kasus Bank Century (Yusuf, 2011 : 24).

Tidak dapat dipungkiri, fungsi pengawasan tidak berjalan dengan baik disebabkan oleh sikap anggota DPR RI. Aspirasi publik dari hasil kunjungan kerja, seringkali tidak ditindaklanjuti. Oleh karena itu, pada awal Rapat Kerja perlu ada agenda penyampaian tindaklanjut kesimpulan rapat yang lalu yang dilakukan oleh pemerintah.  Demikian pula, agar DPR mampu menjalankan check and balances yang efektif, DPR perlu melaksanakan kunjungan perorangan, lintas fraksi, dan lintas komisi dalam rangka pengawasan sektoral dan regional.

Masalah-masalah yang terjadi di fungsi legislasi juga sering terjadi pula pada fungsi pengawasan. Misalnya perencanaan yang buruk, pengulangan, dan pementahan pembahasan serta tingkat kehadiran anggota yang minim. Sebagian problem ini bisa diselesaikan melalui penyederhanaan sistem kepartaian di parlemen.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh wordbank menunjukkan bahwa DPR RI memiliki 7 elemen untuk melakukan pengawasan. Yaitu, committee sitting (Rapat Komisi), hearing in plenary sitting (Rapat Paripurna), commission of enquiry (Komisi Penyelidikan), questions (Hak Bertanya), questions time (Rapat yang dialokasikan khusus untuk bertanya kepada pemerintah), interpellations (Hak Interpelasi), ombudsman (komplain terhadap kerja pemerintah). (Pelizzo and Stapenhurst: 2004).

Dengan memiliki 7 alat pengawasan di atas, seharusnya DPR bisa lebih efektif dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, sejumlah hal perlu didorog untuk meningkatkan fungsi pengawasan DPR RI. Pertama adalah dengan cara membuat perencanaan pengawasan pada setiap Komisi. Perencanaan pengawasan dibuat berdasarkan platform dan prioritas isu fraksi-fraksi di DPR. Sehingga dengan adanya prioritas isu tersebut, DPR dengan mudah mencari UU apa yang akan dijadikan dasar pengawasan dan program apa yang akan diawasi dalam pelaksanaan APBN. Dengan demikian, keseimbangan akan terjadi.

Kedua, DPR perlu menetapkan indicator hasil pengawasan. Indikator tersebut selayaknya dapat diukur dengan baik. Misalnya, penghematan biaya, penambahan kelompok penerima manfaat, pengurangan pekerja proyek, perbaikan peraturan pemerintah pada bagian A atau B, dan pengusulan perbaikan UU yang sudah berjalan. Indikator-indikator ini akan mempermudah bagi anggota dewan untuk mengwasai tindaklanjut atas hasil pengawasan.

Ketiga, memperkuat sistem pendukung pengawasan. Sebagaimana dijelaskan di atas, DPR masih lemah dalam mengimbangi data dan fakta serta indicator-indikator keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan program kerjanya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan dukungan informasi-informasi di atas, DPR perlu memperkuat dukungan keahlian yang ada di Komisi, Fraksi dan anggota, terutaman di tingkat daerah pemilihan.

FUNGSI ANGGARAN


Badan Anggaran (Banggar) merupakan salah satu alat kelengkapan DPR yang khusus menjalankan fungsi penganggaran. Tugas utama Banggar adalah mensinkronisasikan rancangan anggaran yang sudah dibahas oleh Komisi bersama dengan Pemerintah. Secara spesifik yang dibahas oleh badan anggaran adalah alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga.

Jika dilihat dari fungsi yang dilaksanakan, Banggar memiliki fungsi sentral untuk menyusun APBN yang harmonis antara satu sektor dengan sektor yang lain. Namun di sisi yang lain, fungsi anggaran yang dimandatkan pada alat kelengkapan tertentu memang menimbulkan masalah. Karena ketiga fungsi DPR, legislasi, pengawasan dan penganggaran melekat pada seluruh anggota DPR dan DPR secara kelembagaan.

Menengok perjalanan perubahan UU Susduk menuju UU MD3, perubahan dari Panitia Anggaran menjadi Badan Anggaran terjadi pada pembahasan UU tersebut.  Perubahan tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang cukup signifikan dalam proses pembahasan penganggaran. Yaitu, karena sifatnya yang tetap, maka gesekan dinamika perebutan kekuasaan menjadi rendah.  Baik antar fraksi di internal Banggar itu sendiri, maupun di internal fraksi.

Namun, di sisi yang lain karena dinamika yang rendah, maka dinamika politik di internal Badan Anggaran menjadi lebih tinggi. Dinamika disini bisa dimaknai sebagai pertarungan gagasan antar fraksi yang membawa kepentingan konstituen atau bisa juga dimaknai sebagai pertarungan kepentingan antar fraksi di internal banggar. Bahkan, bisa jadi pembahasan anggaran yang terjadi pada Badan Anggaran intensitasnya lebih tinggi. Karena, dalam UU MD3, kewenangan Badan Anggaran membahas anggaran hingga satuan tiga. Kewenangan tersebut sinkron dengan kewenangan untuk mensinkroniasi dan harmonisasi antar item anggaran yang diusulkan oleh Komisi dalam RAPBN.

Kewenangan serta peran yang lebih besar dari Badan Anggaran dibanding kewenangan Panitian Anggaran periode sebelumnya inilah yang menjadi alasan mengapa Badan Anggaran menjadi alat kelengkapan yang sifatnya tetap. Sifat tetap dan kewenangan pembahasan hingga satuan tiga tersebut pada kenyataannya belum mampu untuk meningkatkan efektifitas kinerja anggaran DPR. Satuan tiga diberikan kepada Badan Anggaran dengan maksud supaya proses-proses penjaringan aspirasi konstituen di daerah pemilihan bisa diakomodir oleh anggaran negara hingga tingkat eksekusi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, kewenangan tersebut disalahgunaka oleh sejumlah anggota badan anggaran. Misalnya, kasus korupsi Nazarrudin.

Kondisi di atas masih relevan dengan temuan yang disampaikan oleh Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI pada 2006 lalu. Dalam temuan tim tersebut menunjukkan bahwa DPR RI belum memiliki politik anggaran yang jelas. APBN belum dapat memenuhi ketentuan konstitusi dan belum memberikan porsi yang cukup bagi kebutuhan publik. Artinya, berdasarkan catatan tersebut Badan Anggaran sebagai leading sector fungsi anggaran tidak memiliki sikap yang jelas berdasarkan peraturan yang ada maupun kebutuhan konstituen. Yang muncul adalah kepentingan pribadi atau kelompok.

Hal ini menunjukkan, kewenangan yang diberikan oleh konstitusi dan UU bidang keuangan, tidak diimbangi dengan sikap politik anggaran yang jelas oleh Badan Anggaran. Seharusnya, dengan kewenangan yang ada, Banggar mengimbanginya dengan menetapkan politik anggaran yang bersumber dari ketentuan UU dan aspirasi dari konstituen yang dirumuskan oleh fraksi-fraksi di DPR. Sehinggga efektifitas dari sisi input konstituen dan ketentuan UU akan menghasilkan APBN yang sesuai dengan ketentuan undang-undang dan menjawab kebutuhan publik.

Disamping masalah kewenangan yang tidak diseimbangkan dengan peran aktor, masalah yang menghambat efektifitas Badan Anggaran dalam proses pembuatan kebijakan adalah masalah mekanisme penganggaran. Jika efektifitas penggunaan kewenangan badan anggaran berbicara menganai orientasi dan visi DPR untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam anggaran, maka efektifitas mekanisme penganggaran adalah membicangkan antara upaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Dalam konteks pembahasan penganggaran, maka efektifitas mekanisme penganggaran.

Masalah mekanisme penganggaran ini telah menjadi sorotan semenjak dibentuknya tim peningkatan kinerja pada 2006 lalu. Terutama pada mekanisme  APBN-Perubahan. Pasalnya, pada mekanisme ini pembahasan anggaran dilakukan sangat cepat dan seringkali luput dari perhatian publik. Dengan kondisi tersebut, membuka peluang terjadinya penyimpangan. Misalnya, kasus Hambalang terjadi pada saat proses ini terjadi.

Namun demikian, meskipun bukan pembahasan APBNP, seringkali masalah waktu juga menjadi kendala dalam proses pembahasan anggaran. Pemerintah memberikan dokumen anggaran kepada Badan Anggaran menjelang tenggat waktu pembahasan anggaran. Dengan demikian Badan Anggaran tidak bisa menelaah dokumen tersebut dengan baik.

Keberadaan Tenaga Ahli Badan Anggaran sendiri kurang dimanfaatkan dengan baik oleh para anggota Banggar. Sebagian besar TA Banggar dimanfaatkan untuk mengerjakan hal-hal teknis semacam notulensi. Sementara kemampuan tenaga ahli untuk memberi input dalam proses penganggaran tidak digunakan dengan baik oleh Badan Anggaran. Bahkan, tenaga ahli Badan Anggaran kesulitan untuk mengakses informasi data-data di Banggar dan komunikasi langsung dengan pimpinan banggar.

Kondisi tersebut merupakan kontradiksi. Di satu sisi para anggota Banggar mengeluhkan waktu yang mepet, akan tetapi di sisi lain mereka memiliki kewenangan yang kuat untuk membahas rencana anggaran dan memiliki TA yang bisa dimanfaatkan. Ini menunjukkan bahwa persoalan utama dalam menyikapi waktu yang tebatas ini adalah sikap dan paradigma dari anggota DPR sendiri atau bisa jadi ada kepentingan tersembunyi yang tidak ingin diketahui oleh pihak lain.

Peran Badan Anggaran pada dasarnya sinkron dengan peran alat kelengkapan Badan Akuntabiltas Keuangan Negara. Banggar melaksanakan fungsi penganggaran dan pengawasan anggaran pada tahap persiapan (preparatian/ex ante budget) yang berfokus pada analisa kebijakan. Sementara BAKN berfokus pada pengawasan dana yang sudah disetujui DPR dilaksanakan oleh eksekutif berdasarkan pilar kinerja keuangan, yaiti efektif dan efisien.

Jika merujuk pada siklus anggaran maka peran BAKN dan Badan Anggaran idealnya adalah saling memberi input satu sama lain. Mengapa peran ini harus berfokus pada kedua alat kelengkapan tersebut, karena jika diserahkan kepada fraksi akan lebih sulit. Karenanya, memaknai sinkronisasi tidak hanya merujuk pada siklus perencanaan anggaran, akan tetapi juga hingga pertanggungjawaban. Bagaimana supaya hasil audit BPK yang ditindaklanjuti oleh BAKN memberikan input untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi rencana anggaran tahun berikutnya.

Dengan demikian, siklus kerja BAKN dengan Badan Anggaran haruslah sinkron. Namun, pada kenyataanya BAKN memberikan porsi lebih hasil telaahan atas temuan BPK kepada Komisi ketimbang ke Badan Anggaran. Akan lebih efektif jika temuan-temuan BAKN juga disampaikan langsung ke Badan Anggaran. Sehingga dengan demikian, Badan Anggaran dapat mengeksekusi langsung dalam rapat-rapat perencanaan anggaran bersama pemerintah. Sehingga implementasi keuangan bisa lebih efektif dan efisien.

APBN disahkan oleh DPR sebagaimana DPR mengesahkan UU lainnya. Akan tetapi, mengapa mekanismenya begitu berbeda dengan pembahasan UU yang lain. Artinya, jika dalam UU ada Naskah Akademik, proses RDPU, konsultasi publik terhadap Rancangan Undang-Undang, mengapa pada pembahasan anggaran proses itu tidak terjadi. Artinya, dalam hal ini partisipasi masyarakat dari sisi input yang diperoleh melalui musrenbang tidak diimbangi dengan mekanisme partisipasi masyarakat pada saat proses pembahasan. Sehingga input boleh jadi partisipatif, namun dengan proses yang tidak partisipatif tersebut pada akhirnya menghasilkan anggaran yang tidak sesuai dengan input masyarakat pada saat musrenbang.

Dalam konteks ini, peran fraksi sangat signifikan untuk menjaga agar proses input yang digunakan dalam menyusun anggaran melalui musrenbang bisa terus terjaga. Logikanya, fraksi merupakan kepanjangan partai politik di parlemen dengan ideologi dan pandangan tertentu. Sementar itu, partai politik diamanatkan oleh Undang-Undang untuk melaksanakan fungsi agregasi politik masyarakat. Dengan adanya fungsi tersebut, fraksi bisa menggunakan infrastruktur partai untuk memperoleh input publik –entah mengikuti proses musrenbang atau meggunakan mekanisme lain- kemudian menyalurkannya melalui Komisi dan mempertegas sikap-sikap politiknya di Badan Anggaran.

Namun yang terjadi kemudian adalah, fraksi kurang memberi arahan kepada anggotanya. Bahkan, untuk menentukan siapa anggotanya yang ditempatkan di Badan Anggaran, fraksi belum memiliki kriteria khusus. Kriteria yang ditetapkan fraksi justeru menimbulkan kecurigaan publik. Yaitu bendahara partai atau sekretaris fraksi. Kurang kuatnya politik anggaran Badan Anggaran juga mengindikasikan kelemahan para aktor, dalam hal ini fraksi untuk mengakomodir dan merumuskan masalah masyarakat sehingga bisa didorong dalam anggaran negara. Setidaknya, sikap-sikap fraksi pada isu-isu strategis bisa muncul di Badan Anggaran.

Sesuai dengan usulan di atas. Fungsi Anggaran yang penuh problematika dan tidak berkontribusi langsung kepada proses penganggaran, sebaiknya bentuknya dikembalikan kepada fungsi sementara. Yaitu fungsi panitia anggaran yang sfatnya sementara. Sementara fungsi penganggaran yang utama ada di Komisi.


MANAJEMEN FRAKSI


Fraksi merupakan entitas yang mewarnai jalannya parlemen. Melalui fraksi, aspirasi konstituen dari dapil yang disampaikan kepada anggota dewan diolah. Melalui fraksi pula, kebijakan-kebijakan penting yang berpengaruh terhadap kehidupan rakyat banyak diputuskan. Dalam rapat-rapat, baik legislasi, pengawasan dan penganggaran, maka pertama kali dan terakhir kali yang bersikap adalah fraksi. Sikap fraksi tersebut dituangkan dalam pandangan fraksi terhadap subjek kebijakan tertentu.

Dalam rapat-rapat Badan Musyawarah jika fraksi-fraksi sudah bersepakat mengenai satu kebijakan tersebut, maka anggota Bamus akan lebih mudah untuk menjadualkan. Sebaliknya, jika fraksi-fraksi belum bersepakat mengenai satu subjek kebijakan tertentu, maka Bamus juga kesulitan untuk mengagendakan kegiatan tersebut. Begitu pentingnya posisi fraksi, jika dalam keadaan mendesak maka konsultasi pimpinan Bamus dengan pimpinan Fraksi dapat menggantikan rapat Bamus untuk menjadualkan agenda tertentu.

Pergantian Antar Waktu, baik karena meninggal, pelanggaran kode etik berdasarkan keputusan Badan Kehormatan maupun pergantian berdasarkan keputusan partai dilakukan secara langsung oleh fraksi bersangkutan. Fraksi juga mendistribusi dan mengontrol disiplin anggotanya untuk terlibat dalam rapat-rapat pembahasan rancangan undang-undang, pengawasan pemerintah dan perumusan anggaran.

Dengan demikian, fraksi memiliki posisi yang sangat penting dan strategis sebagai muara dari isu dan sumberdaya manusia yang mengisi alat kelengkapan-alat kelengkapan DPR RI. Oleh karena itu, manajemen kelembagaan fraksi perlu diperbaiki dan diperkuat. Artinya, prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi di tingkat fraksi perlu ditingkatkan diantaranya adalah:

  1. Rencana kerja fraksi dengan menyusun prioritas isu yang akan diperjuangkan sebagaimana yang dijanjikan pada saat kampanyer terdahulu. Prioritas isu itu kemudian diturunkan dalam agenda legislasi, pengawasan dan penganggaran.
  2. Secara proaktif menyampaikan informasi perkembangan fraksi (pergantian pimpinan, anggota dan sebagainya) dan dokumen-dokumen kerja (RUU, pandangan fraksi dan sebagainya) kepada publik untuk mendorong partisipasi konstituen dalam proses-proses pembuatan kebijakan.
  3. Membuat laporan berkala kepada publik dan konstituen. Laporan ini sebagai bukti bahwa apa yang dijanjikan dan apa yang direncanakan dapat diukur dan konstituen dapat menilai apakah mereka merasakan dampaknya atau tidak. Dalam konteks laporan ini, fraksi juga hendaknya mengatur keterbukaan kinerja anggota dewan.
  4. Membangun supporting system yang kuat dan mumpuni. Dengan beban kerja yang bertambah sebagaimana di atas, maka fraksi perlu dukungan yang mumpuni. Baik dalam bidang keahlian teknis dan keahlian substantif.
  5. Menetapkan kriteria dalam menempatkan anggota dalam alat kelengkapan lain dan peningkatan kapasitas secara berkala.

KINERJA KOMISI


Komisi merupakan alat kelengkapan tulang punggung DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan penganggaran. Pelaksanaan tugas-tugas utama DPR bersama pemerintah sepenuhnya dikerjakan di Komisi. Alat kelengkapan lain bisa dibilang sebagai bagian dari pendukung kerja-kerja komisi. Misalnya, Badan Anggaran dan Badan Legislasi untuk mempersiapkan dan mengaharmonisasilan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Anggaran negara. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara untuk membantu memeriksa laporan keuangan negara yang pada akhirnya tindaklanjutnya ada di tangan Komisi. Begitupula dengan Badan Musyawarah mengagendakan jadual yang rencana dan pelaksanaan jadualnya ada di tangan Komisi.

Begitu banyak beban kerja Komisi sehingga memerlukan tingkat konsentrasi dan intensitas tinggi dari Anggota DPR. Faktanya, kini Komisi memiliki bidang kerja yang luas dengan mitra kerja yang cukup banyak. Saat ini 11 Komisi yang ditetapkan DPR pada saat awal masa sidang harus mengerjakan 46 ruang lingkup kerja dengan jumlah kementerian di Indonesia ada 31 (tanpa kementerian koordinator).

Tabel Komisi dan Alat Kelengkapannya

Komisi Mitra Kerja
Komisi I Kemenhan, Kemenlu, TNI, Kominfo, Wantannas, BIN, LEMSANEG, Lembaga Kantor Berita Nasional, Dewan Pers
Komisi II Kemendagri, Kemen PAN, SetNeg, LAN, BKN, BPN, ANRI, KPU, Bawaslu
Komisi III Kemenkumham, Kejagung,PORRI, KPK, Komisi Ombudsman Nasional, KHN, KOMNAS HAM, MA, MK, Setjen MPR,Setjen DPD, PPATK, BPHN, KY
Komisi IV Kementan, Kemenhut, Kemen K&P, Bulog, dan Dewan Maritim Nasional
Komisi V Kemen PU, Kemenhub, Kemenpera, Kemen PPDT, BMKG
Komisi VI Kementrian Perindustrian, Kemendag, Kemenkop & UKM, Kementrian BUMN, BKPM, BSN, BPKN, KPPU
Komisis VII Kementrian ESDM, Kementrian LH, Kemenristek, BPPT, Dewan Riset Nasional, LIPI,BATAN, BAPETAN, BAKOSURTANAL, LAPAN, BPH Migas, BP Migas.
Komisi VIII Kemenag, Kemenag, KPP & PA, KPAI, BNPB
Komisis IX Kemenkes, Kemenakertrans, BKKBN, BPOM, BNP2TKI,PT Jamsostek, PT Askes
Komisi X Kemendiknas, Kemenbudpar & ekonomi Kreatif, Kemenpora, Perpustakaan  Nasional, BPBUDPAR
Komisi XI Kemenkeu, BAPPENAS, BI, Lembaga Keuangan Bukan Bank, BPKP), BPS, BPK

Sumber: www.dpr.go.id

Artinya, satu Komisi di DPR RI harus menangani rata-rata 4 ruang lingkup kerja atau 3 kementerian. Jumlah Komisi lebih sedikit daripada jumlah mitra kerjanya. Dengan demikian, anggota Komisi memiliki beban yang berat dalam melaksanakan tugasnya. Terlebih komposisi fraksi seperti yang sekarang ini, fraksi kecil  memiliki beban yang lebih tinggi. Karena hanya satu anggota fraksinya saja yang bekerja dengan beban kerja sama dengan beban kerja fraksi lain. Jika demikian, maka wajar jika pengambilan keputusan bertele-tele. Karena dalam setiap rapat, selalu tidak memenuhi kuorum karena ada sejumlah fraksi yang hanya mengirimkan satu anggotanya saja di Komisi. Sementara satu anggota tersebut juga merangkap pada Panitia Khusus dan alat kelengkapan lainnya.

Dengan kondisi tersebut, maka IPC mengusulkan jumlah Komisi seharusnya sebanding dengan mitra kerja di pemerintah. Caranya bisa membuat komisi sebanyak 31 sesuai dengan jumlah kementerian.

Tabel Jumlah komisi di berbagai negara

Negara Jumlah Komisi Masa Jabatan Ditetapkan oleh
Argentina 38 2 tahun Pleno atau Ketua Parlemen
Bolivia 12 1 tahun Ketua Parlemen&Fraksi&Pleno
Brazil 16 tak ditetapkan Ketua Parlemen&Komisi Pengendalian
Cile 17 4 tahun Ketua Parlemen&Pleno
Ekuador 20 1 tahun Ketua Parlemen
Kolumbia 16 4 ahun Pleno
Meksiko 42 2 tahun Komisi Pengendalian&Pleno
Paraguay 22 1 tahun Pleno atau Ketua Parlemen
Peru 15 tak ditetapkan Ketua Parlemen&Fraksi&Pleno
Uruguay 15 tak ditetapkan Fraksi&Komisi Khusus
Venezuela 22 1 tahun Ketua Parlemen&Presidium

(Tabel dikutip dari: Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 97) diambil dari makalah Pipit R kartawidjaja, Memperkuat Sistem Presidensialisme, Makalah yang disampaikan pada Expert Meeting di Indonesian Parliamentari Center (IPC), Jakarta, 2012

Cara lain adalah dengan pembentukan Sub-Komisi dengan mensyaratkan satu Sub-Komisi hanya bisa diikuti oleh 1 anggota fraksi dalam komisi tersebut. Jika 1 anggota sudah masuk Sub-Komisi, maka dia tidak boleh merangkap Sub-Komisi lainnya dalam Komisi tersebut. Sehingga dengan demikian tidak ada beban ganda yang harus diemban oleh satu anggota DPR.

Selain memperbanyak Komisi, untuk mendorong efektifitas pelaksanaan tugas dan fungsi, ada baiknya menguji kembali keberadaan alat kelengkapan yang tidak berkontribusi langsung pada pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Dalam hal ini, keberadaan Badan Anggaran dan Badan Legislasi perlu ditinjau sebagai lembaga yang bersifat tetap karena fungsinya untuk sinkronisasi anggaran dan legislasi yang setiap tahun hanya terjadi beberapa kali saja. Sehingga lebih baik dikembalikan sebagai alat kelengkapan sementara atau panitia. Demikian halnya dengan Badan Musyawarah, BKSAP dan BAKN. Cukup dengan membentuk panitia saja. Sisanya diserahkan kepada Komisi sebagai ujung tombak parlemen dalam melaksanakan tugas sehari-hari.

MODEL SUPPORTING SYSTEM


Supporting system merupakan salah satu bagian penting dari parlemen. Terutama untuk mendukung check and balances DPR dengan pemerintah pada saat rapat-rapat antara keduabelah pihak. Apatur pemerintah memiliki jumlah dan sumberdaya yang lebih baik jika dibandingkan dengan aparatur yang ada di DPR. Terlebih, status Sekretariat Jenderal DPR RI berdasarkan Perpres RI No. 23 Tahun 2005 Tentang Sekretariat Jenderal DPR disebutkan bahwa Sekretariat Jenderal merupakan Pegawai Pemerintah. Sehingga, ini menimbulkan marsala tersendiri.

Ada beberapa masalah dalam dukungan Sekretariat Jendral DPR RI terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI, yang berkaitan dengan : a) Struktur Organisasi Sekretariat Jenderal DPR RI yang struktur teknisnya lebih besar daripada struktur fungsionalnya, b) Kualitas Sumber Daya Manusia baik untuk kepentingan keahlian dan ketereampilan ataupun teknis dan administratif, c) Sistem Komunikasi dan Informasi DPR RI (Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, 2006 : 71-77).

Sekretariat Jenderal DPR RI sebagai supporting system, bertanggungjawab dalam manajemen kerumahtanggan DPR. Salah satunya adalah dalam manajerial tenaga ahli  dan pegawai negeri sipil yang ada di DPR RI. Pada tahun anggaran 2014, total keseluruhan tenaga ahli DPR RI adalah 1818 orang dari kuota keseluruhan 1902 orang. Sedangkan, pegawai negeri sipil DPR RI berjumlah 1320 orang.

DPR RI per tahun anggaran 2014 telah memiliki sejumlah modal dalam bentuk sumber daya manusia yang berfungsi memberikan dukungan pelaksanaan fungsi. Supporting resources yang melekat langsung pada masing-masing anggota legislatif bahkan telah mencapai 1079 orang. Demikian pula supporting resources yang melekat pada alat kelengkapan lainnya.

Melihat persebaran TA di atas tentu kita melihat ada ketidakseimbangan. Pelaksanaan fungsi-fungsi DPR berada di pundak Komisi dan Badan. Tapi jumlahnya tidak seimbang dengan TA anggota. Sehingga peran tenaga ahli belumlah optimal. Kondisi ini akibat ketiadaan aturan yang jelas mengenai peran peran dan fungsi tenaga ahli di parlemen, yang selanjutnya memunculkan distorsi dalam pelaksanaan. Ketidakjelasan aturan operasional tenaga ahli anggota ini memicu penafsiran dan pemaknaan yang beragam baik dari anggota dewan maupun partai politik, seperti mengangkat sanak saudara sebagai tenaga ahli anggota, sementara honornya ditanggung oleh negara. Aturan tentang tenaga ahli anggota legislatif yang banyak memiliki celah ini bisa menimbulkan konsekuensi negatif bagi pembelajaran keparlemenan di Indonesia (Yogi Setya Permana dan Pandu Yuhsina: 2011).

Saat ini, nomenklatur anggaran tenaga ahli masih memposisikan tenaga ahli sebagaimana barang dan jasa. Padahal sebagai manusia, tenaga ahli juga memerlukan pemenuhan hak kesejahteraan lainnya. Misalnya asuransi kesehatan dan kepastian masa kerja. Akibatnya, TA selalu terpecah saat tahun anggaran berakhir. Hal ini disebabkan, model manajerial tenaga ahli di lakukan per tahun anggaran. Jika dianggap tidak lolos dalam evaluasi penilaian kinerja, maka tenaga ahli dapat diberhentikan. Di sisi lain, faktor like and dislike juga mempengaruhi selain evaluasi penilaian kinerja.

Model dukungan keahlian bagi anggota dewan seharusnya masih didasarkan pada keseimbangan antara posisi Anggota DPR sebagai trustee dari konstituen dan delegate dari partai politik/fraksi. Oleh karena itu, dukungan keahlian juga mengikuti keseimbangan antara keduanya. Dalam hal ini sejumlah alternatif bisa diatur dalam UU MD3.

  1. Pembentukan Law Center dan Budget Center untuk mendukung Badan Legislasi dan Badan Anggaran dalam melaksanakan fungsi-fungsi legislasi dan anggaran. Dukungan keahlian yang diberikan sebagaimana dijelaskan di atas.
  2. Tengara Ahli untuk Komisi dan Alat Kelengkapan lainnya. Jumlahnya proposional disesuaikan dengan kebutuhan beban kerja dan bidang kerja komisi di atas. TA berfungsi memberikan dukungan keahlian dan keterampilan. Keahlian berkaitan erat dengan analisis isu. Sementara keterampilan berkaitan dengan metode, klasifikasi isu dan masukan supaya mudah dibaca dan dipahami oleh anggota dewan.
  3. Tenaga Ahli Fraksi diperlukan untuk mendukung argumen-argumen kebijakan berdasarkan platform dan program-program partai politik. Jumlah TA dihitung secara proporsional berdasarkan jumlah perolehan kursi dari fraksi tersebut. Rekrutmen TA fraksi diserahkan sepenuhnya kepada fraksi, karena berkaitan dengan platform serta visi dan misi partai. Tetapi tetap mengikuti mekanisme rekrutmen yang ada sekarang ini sebagiamana yang diatur dalam Pedoman Pengelolaan Tenaga Ahli dan Asisten Anggota DPR.
  4. Tenaga Ahli merupakan perwujudan dari anggota untuk mempertanggungjawabkan keberadaan dia sebagai trustee dari para  konstituennya. Oleh karena itu, dalam hal ini setiap Anggota DPR diberikan Anggaran Tertentu dengan memberikan batasan minimal 5 orang TA yang harus direkrut untuk kepentingan penyerapan dan pengolahan aspirasi konstituen. Rekrutmennya diserahkan kepada anggota dengan tetap mengikuti mekansme rekrutmen sebagaimana yang ada sekarang ini.

Kewenangan Baleg di atas juga memerlukan keahlian. Terutama dalam bidang hukum dan legislasi. Akan tetapi, menurut keterangan salah satu anggota baleg, hingga kini belum ada kriteria atau parameter khusus dari masing-masing fraksi dalam menempatkan Anggotanya di Baleg. Biasanya kriteria penempatan berdasarkan latar belakang pendidikan atau pengalaman.

Dengan kewenangan dan fungsi di atas, tentu anggota DPR harus memiliki kemampuan hukum dan legislasi dan fokus isu yang lebih banyak. Karena dalam seluruh RUU dikoordinasikan di Baleg. Oleh karena itu, dukungan keahlian bagi Baleh juga haruslah bersifat khusus. Sehingga penyiapan RUU, pengharmonisasian dan pematangan konsep di Baleg tidak bertele-tele karena anggotanya belum familiar terhadap isu tersebut. Baleg cukup mengetahui bagian mana yang perlu diperdalam, belum harmonis, dan perlu dimatangkan. Supporting system Baleg yang menyiapkan seluruh bahan-bahannya, termasuk alaternatif pilihan-pilihan kebijakan serta alasannya.

Untuk keperluan tersebut, Badan Legislasi memerlukan semacam law center yang didalmnya sejumlah Tenaga Ahli, legal drafter dan peneliti yang didatangkan dari luar secara kontrak untuk memberi dukungan terhadap materi RUU tertentu. Selama ini TA yang ada di Badan Legislasi memang jumlahnya lebih banyak daripada alat kelengkapan lainnya, akan tetapi sistem kerja dan ketenagakerjaan belum terbangun dengan baik. Sehingga, apa yang terjadi pada anggota, milsanya rangkap dalam menangani RUU, juga terjadi pada TA. Padahal, DPR bisa meminta satu peneliti yang sudah ahli untuk membantu memberi masukan terhadap RUU tersebut hingga RUU tersebut disahkan.

Seiring dengan munculnya gagasan law center, maka juga yang perlu dirumuskan model kepengawaiannya. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, untuk mengisi law center ini yang diutamana adalah Jabatan-jabatan fungsional yaitu, sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. Dengan demikian Law Center akan diisi oleh:

  1. Tenaga Ahli (keahlian dalam substansi)
  2. Legal Drafter (keterampilan)

Berapa jumlah TA dan LD tersebut tentu disesuaikan dengan load kerja legislasi dalam kurun waktu satu masa sidang atau satu tahun. Sementara yang mengisi jabatan di atas dapat berupa Pengawai Negeri Sipil (PNS) yang bersifat tetap atau Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya rutin, Law Center merekrut Pegawai tetap. Sementara untuk pekerjaan yang sifatnya tidak tetap, misalnya adanya pendalam terhadap isu yang benar-benar baru dalam RUU atau load kerja yang sedang tinggi, dapat direkrut PPPK.

Dengan mengikuti ketentuan ini, maka setiap pegawai dalam law center tersebut akan memperoleh hak (a) gaji, tunjangan, dan fasilitas (b) cuti (c) perlindungan (d) pengembangan kompetensi dan (e) jaminan pensiun dan jaminan hari tua (khusus PNS). Dengan mengikuti nomenklatur sebagaimana yang diatur dalam UU ASN di atas, maka jaminan kepastian terhadap pegawi lebih tinggi.

Pada DPR Periode 2004-2009 lalu telah mengusulkan Kantor Analisis Anggaran yang didalamnya terdiri para ahli. Mereka bekerja untuk merumuskan ramalan ekonomi, perkiraan base line, analisa proposal anggaran dari eksekutif, analisis jangka menengah dan beberapa fungsi analisa lainnya. Sehingga, diharapkan dengan adanya Kantor Analisis Anggaran tersebut, Anggota Banggar maupu Anggota Komisi memiliki data dan argumen yang kuat saat berhadapan dengan pemerintah dalam sidang-sidang anggaran.

Namun demikian, usulan pendirian Kantor Analisa Anggaran ini harus juga didukung sikap terbuka dari fraksi dalam proses pembahasan anggaran. Tanpa diiringi sikap terbuka dan mekanisme partisipasi publik, keberadaan KAA ini tidak akan berkontribusi banyak. Karena, hasilnya tidak akan banyak dimanfaatkan sebagaimana yang terjadi pada TA Badan Anggaran yang ada sekarang ini.

Sementara secara kelembagaan, sebagaimana pelaksanaan fungsi legislasi yang memiliki instrumen program legislasi nasional untuk menentukan prioritas legislasi dalam setahun. Seharusnya Badan Anggara juga memiliki prioritas anggaran yang dirumuskan dalam setahun ke depan berdasarkan platform partai-partai yang ada di DPR. Sehingga dengan demikian, publik dapat menilai apa saja capaian dan kerja-kerja yang dilakukan oleh Badan Anggaran.

Kurang diperhatikannya mandat dari konstituen juga ditunjukkan dengan tidak jelasnya politik anggaran DPR. Politik anggaran DPR diperoleh dengan adanya input dari konstiuen dan dukungan dari partai politik mengenai garis politik yang diambil.