Berkaca dari Kasus Korupsi E-KTP, Keterbukaan Parlemen Mendesak Diterapkan
DPR kembali disorot publik. Apalagi kalau bukan soal E-KTP. Proses penganggaran yang tidak transparan dan komitmen partai terhadap tata kelola pemerintah yang bersih menjadi penyebab utamanya.
Semenjak tahun 2004 sampai tahun 2013 saja ada sekitar 74 anggota DPR yang menjadi pesakitan di KPK (TII). Indeks korupsi DPR pada 2017 berada di peringkat tertinggi dari pada lembaga-lembaga negara yang lain (TII-GCB). Adapun kasus korupsi yang sekarang menyeruak di DPR yakni terkait kasus korupsi e-KTP. Korupsi yang menelan anggaran negara sampai triliunan rupiah itu bahkan disinyalir sebagai babak baru sebagai korupsi terbesar yang pernah ditangani KPK.
Secara institusi, DPR sebenarnya memiliki tugas sentral di tengah pusaran tata kelola negara. DPR dapat menjadi kelompok pengontrol serta pengawas jalannya pemerintahan, sehingga mampu meminimalisir dan mengantisipasi penyelewengan dana-dana negara. Sebab dengan adanya kontrol, maka sistem check and balances dalam pelaksanaan pemerintaha dapat tercipta, dan pemerintahan dapat berjalan sesuai amanat konstitusi.
Tapi, realita seringkali bertolak belakang dengan harapan, alih-alih menjadi lembaga pengawas, DPR malah pelaku korupsi itu sendiri.
Celah-celah Korupsi DPR
Penguatan peran DPR di Indonesia terjadi pasca reformasi. Di masa orba, DPR banyak diisi oleh para kroni dan kumpulan orang-orang dekat Soeharto yang tugasnya hanya dua: manut dan tunduk, sehingga stigma yang muncul kala itu hanya memposisikan DPR sebagai ‘lembaga stempel’ (Ichlasul Amal dan Samsurizal Pangabean, 2012).
Munculnya reformasi, menjadi penanda baru bagi desain DPR yang lebih progresif. Indikasi adanya penguatan peran DPR era reformasi adalah adanya bargaining posisi DPR yang setara dalam konteks sistem presidensiil, di mana DPR mempunyaipower yang kurang lebih sama dengan presiden. Bahkan posisi tersebut dipertegas dalam dalil yang termaktub dalam pasal 7C yang menyatakan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Mandat DPR sebagai lembaga kontrol sebetulnya dapat kita lihat dalam UU hasil amandemen tahun 2002 pasal 20 A ayat 1. Dalam pasal tersebut secara tegas disebutkan bahwa DPR adalah lembaga negara yang memiliki 3 fungsi penting. Selain fungsi legislasi dan fungsi anggaran, DPR juga bertanggung jawab dalam konteks pengawasan. Makna konteks fungsi pengawasan DPR tak lain ditujukan guna menyeimbangkan dinamika kekuasaan antar eksekutif dan legislatif.
Dengan 3 fungsi tersebut, DPR dipastikan memiliki wewenang strategis dalam mengarahkan berbagai kepentingan ekonomi-politik. Melalui fungsinya dalam hal pembuatan legislasi misalnya, DPR setidaknya memiliki potensi untuk melakukan korupsi dalam hal politisasi produk kebijakan serta perundang-undangan di momen-momen pembahasan. Fenomena jual-beli pasal undang-undang demi kepentingan perorangan atau lembaga di luar DPR merupakan fakta kecil dari sengkarutnya proses legislasi di DPR.
Sedangkan melalui fungsi anggaran, menurut Busyro Muqodas, DPR berpotensi melakukan korupsi di penyusunan alokasi dana optimalisasi serta proses pembahasan anggaran di DPR yang terlalu detail (KPK, 12/2013). Artinya, dalam hal fungsi budgeting, DPR bisa saja mengkooptasi ruang gerak pembiayaan berbagai program yang diajukan oleh eksekutif bila kehendak yang mereka inginkan tidak terpenuhi. Makanya, di banyak kasus penyusunan anggaran bersama sering terjadi mark up anggaran dalam proses penyusun anggaran oleh pemerintah bersama DPR.
Di samping itu, pada konteks fungsi pengawasan sendiri, rasionalisasi penyelewengan wewenang anggota DPR yang seringkali diperlihatkan adalah justeru karena tidak berjalannya tugas dan fungsi tersebut. Fungsi pengawasan di dalam banyak kesempatan malah dioptimalisasikan untuk proses-proses transaksional serta lobi (Kompas, 12/2013). Di sinilah reinkarnasi DPR sebagai lembaga kartel mendapatkan bentuknya. Kartelisasi parlemen sebetulnya merupakan ancaman serius dalam proses ‘legislative act’ yang diemban oleh DPR, karena orientasi kelembagaan tidak lagi memperhatikan asas tanggung jawab kemaslahatan bangsa, melainkan lebih mengedepankan hitung-hitungan pragmatisme semata.
Keterbukaan Parlemen Tak Bisa Ditunda Lagi
Dengan peluang korupsi yang terpolarisasi di berbagai fungsi DPR, maka bukan hal yang aneh bila akhirnya mega proyek e-KTP menjadi bancakan bersama Komisi II. Bahkan berdasarkan data yang dirilis oleh Tempo, hampir para petinggi partai politik ikut menerima praktek ‘ijon’ tersebut. Besarannya pun sangat mengejutkan, karena dari 5,9 triliun jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai proyek e-ktp, 2,3 triliun di antaranya digunakan untuk memuluskan jalannya proyek (Tempo, 03/2017). Maka, secara itung-itungan matematis, hampir 50 persen dari jumlah nominal pembiayaan proyek telah dikorupsi.
Dilihat dalam sudut pandang proses pengambilan kebijakan dan penganggaran di parlemen, patologi korupsi e-ktp yang muncul secara terencana dan sistemik bisa ditengarai oleh banyak faktor. Faktor terpenting tersebut di antaranya,
-
Minimnya transparansi dan akuntabilitas DPR dalam hal proses legislasi dan penganggaran, sehingga keterbukaan atas akses informasi publik itu tidak tersedia. Informasi diperlukan publik sebagai bahan untuk mengontrol kinerja parlemen. Dengan absennya kontrol dari publik, otomatis DPR leluasa untuk melakukan penyimpangan. Mereka dapat bersekongkol secara efektif dengan pihak eksekutif dan swasta, me-mark up anggaran, dan menentukan jumlah besaran yang siap dialirkan guna mengamankan keberlangsungan proyek bagi kepentingan mereka.
- Kaburnya pola komunikasi oposisi-koalisi partai politik di parlemen. Dalam kasus pengadaan e-KTP, pola komunikasi tersebut tidak berjalan. Dari seluruh fraksi yang ada, hampir semuanya bermain dalam proyek ini. Ketiadaan kelompok oposisi tersebut semakin menegaskan perilaku politik kartel yang menggurita di tubuh parlemen kita. Hal ini memiliki kohesi yang linear dengan riset yang pernah diakukan oleh Kuskridho Ambardi (2009) dan Dan Slater (2004) mengenai perilaku kartel partai politik di Indonesia era reformasi. Kesimpulan dari studi tersebut adalah bahwa dalam banyak kasus, partai politik kini telah menanggalkan platform asas kepartaian mereka dan berjalan ke arah kartel. Tipologi partai kartel seperti ini salah satunya bisa diidentifikasi melalui komposisi koalisi partai yang tak lagi berbasiskan ideologi, dan arah partai yang makin ke sini makin memanifestasikan dirinya sebagai kelompok rent seeking.
Berdasakan penjelasan di atas, Indonesian Parliamentary Center menuntut kepada
-
Dewan Perwakilan Rakyat untuk menerapkan keterbukaan kelembagaan. Baik keterbukaan pelaksanaan sidang-sidang maupun keterbukaan dokumen hasil sidang sesuai ketentuan yang berlaku.
-
Partai Politik untuk membenahi mekanisme rekrutmen dan memasang calon anggota DPR yang berkualitas.
-
Komisi Pemberantasan Korupsi agar mengusut tuntas kasus ini secara independen dan tidak terpengaruh oleh tekanan dari partai politik.
Jakarta, 14 Maret 2017
Indonesian Parliamentary Center
Jl. Tebet Utara III D No 12 A
Tebet Jakarta Selata
Kontak Person
Ahmad Hanafi: 08119952737
Ahmad Nurcholis: 081342771289