MEMILIH SISTEM PEMILU YANG RELEVAN DENGAN STRUKTUR SOSIAL

Pendahuluan


Struktur sosial suatu negara – termasuk homogenitas atau heterogenitas etnis, agama, budaya, dan kelas sosial – sering dikaitkan erat dengan pilihan sistem pemilihan umum (sistem pemilu) yang digunakan. Para ilmuwan politik telah lama meneliti bagaimana perbedaan sosial dalam masyarakat memengaruhi mekanisme representasi politik. Sistem pemilu seperti proporsional (PR), mayoritarian (plurality/majority), maupun campuran, masing-masing menawarkan keunggulan dan kelemahan tergantung konteks sosialnya. Pemilihan sistem yang tidak selaras dengan kondisi kemajemukan masyarakat dapat berujung pada masalah serius, mulai dari eksklusi kelompok minoritas, polarisasi masyarakat, konflik politik, hingga fragmentasi partai yang ekstrem.

Sejarah politik global menyediakan banyak contoh mengenai konsekuensi positif dan negatif dari kesesuaian (atau ketidaksesuaian) antara struktur sosial dan sistem pemilu. Di banyak negara pasca-kolonial, misalnya, sistem first-past-the-post (FPTP) warisan kolonial dianggap tidak cocok untuk masyarakat majemuk dan berkontribusi pada instabilitas demokrasi1. Sebaliknya, beberapa negara majemuk lainnya sengaja merancang sistem yang lebih inklusif – seperti perwakilan proporsional atau mekanisme power-sharing – demi mengakomodasi keragaman internal dan mencegah dominasi satu kelompok saja. Kajian ini akan membahas hubungan tersebut secara mendalam dengan mengacu pada literatur ilmiah dan contoh praktik berbagai negara. Struktur laporan dibagi per bab sebagai berikut: landasan teori hubungan struktur sosial dan sistem pemilu, pengaruh heterogenitas sosial terhadap pemilihan sistem pemilu, perbandingan praktik global, potensi dampak negatif ketidaksesuaian sistem, serta strategi antisipatif yang diambil di berbagai negara. Setiap bagian dilengkapi dengan kutipan referensi akademik yang relevan.

Landasan Teori: Struktur Sosial dan Pilihan Sistem Pemilu


Secara teoretis, hubungan antara struktur sosial dan sistem pemilu dapat dijelaskan melalui konsep cleavage sosial dan representasi politik. Teori klasik seperti Duverger’s Law menyatakan bahwa sistem mayoritarian (plurality satu putaran) cenderung mengarah pada sistem dua partai, sedangkan sistem proporsional mendorong multi-partai.2. Implikasinya, dalam masyarakat yang homogen secara sosial (misalnya relatif satu kelompok etnis/agama dominan, atau perbedaan ideologi tidak terlampau tajam), sistem mayoritarian sering dianggap memadai karena persaingan politik berpusat di tengah (moderasi tinggi) dan minoritas tidak terlalu banyak atau terisolasi. Sebaliknya, dalam masyarakat heterogendengan banyak garis pemisah (segmented society), sistem mayoritarian berisiko menghasilkan pemenang-tunggal dari kelompok mayoritas saja dan mengecualikan kelompok-kelompok lain secara permanen.3

Para pakar demokrasi konsensus seperti Arend Lijphart berargumen bahwa untuk masyarakat yang terbelah dalam berbagai segmen (etnis, agama, dan sebagainya), diperlukan desain institusi yang inklusif. Lijphart merekomendasikan representasi proporsional (PR) sebagai pilihan utama pemilu dalam konteks masyarakat majemuk, disertai bentuk pemerintahan parlementer dan koalisi power-sharing yang melibatkan berbagai kelompok4. Pandangan ini sejalan dengan konsensus akademik yang berkembang: “pemilu plurality di distrik tunggal bukanlah sistem paling cocok untuk masyarakat heterogen”5. Bahkan, dua pakar terkemuka demokrasi di masyarakat terbelah, Lijphart dan Donald Horowitz, sepakat mengutip diktum W. Arthur Lewis bahwa “cara paling pasti untuk mematikan gagasan demokrasi di masyarakat majemuk adalah menerapkan sistem pemilu first-past-the-post (plurality)”6. Dengan kata lain, pendekatan pemenang-ambil-semua dianggap berbahaya bagi pluralitas karena cenderung mengabadikan dominasi satu kelompok.

Sebaliknya, sistem perwakilan proporsional (PR) dinilai lebih selaras dengan masyarakat beraneka ragam. PR dipandang mampu menerjemahkan cleavages sosial menjadi pembagian kursi parlementer secara adil, sehingga setiap kelompok masyarakat yang signifikan terwakili sesuai proporsi dukungan mereka7. Andrew Reynolds (1999) mencatat bahwa “untuk negara yang terbelah secara etnis, angin akademik jelas bertiup mendukung representasi proporsional dan menentang sistem plurality”8. Melalui PR, setiap kelompok masyarakat yang penting – entah suku, agama, ataupun golongan politik – memperoleh kursi sebanding dengan persentase dukungan mereka9. Representasi seperti ini diyakini menjadi prasyarat konsolidasi demokrasi dalam masyarakat dengan divisi mendalam, karena inklusi semua kelompok utama di parlemen dapat mencegah perasaan teralienasi dan meningkatkan legitimasi sistem10. Namun, teori juga mengingatkan bahwa PR sendiri bukan obat segala masalah; PR cenderung menghasilkan pemerintahan koalisi dan memungkinkan partai-partai berbasis kelompok sempit (partikularistik) sehingga tidak otomatis mendorong moderasi politik11.

Selain itu, teori tentang rekayasa institusional (institutional engineering) menekankan pentingnya menyesuaikan sistem pemilu dengan pola cleavages dan distribusi kelompok dalam masyarakat. Reilly dan Reynolds (2000) mengidentifikasi empat strategi desain sistem pemilu untuk masyarakat terbelah dan menegaskan bahwa tidak ada satu sistem yang cocok untuk semua kondisi12. Pilihan optimal bergantung pada karakter konflik dan distribusi kelompok – misalnya, seberapa jauh identitas etnik terpolitisasi, intensitas konflik antar kelompok, serta apakah kelompok-kelompok tersebar secara geografis atau terpusat13. Mereka juga menekankan pentingnya diagnosis realistis kondisi sosial sebelum merancang sistem; sayangnya, secara historis banyak negara gagal melakukan penyesuaian tersebut dan sekadar mengadopsi sistem yang sudah ada tanpa mempertimbangkan konteks lokal14. Dalam kasus ekstrem, pemilihan sistem pemilu yang keliru bagi struktur sosial tertentu dapat berakibat “fatal” bagi stabilitas demokrasi15. Atas dasar inilah, rekayasa konstitusional modern untuk negara majemuk biasanya menawarkan beberapa model: konsosiasionalisme (berbasis PR dan power-sharing), pendekatan sentripetal (berbasis insentif vote-pooling seperti alternative vote), integratif (mis. single transferable vote), atau representasi eksplisit kelompok (mis. jatah kursi khusus per komunitas)16. Masing-masing model mencoba menghubungkan sistem elektoral dengan struktur sosial dengan cara berbeda, namun tujuannya sama: mencegah dominasi eksklusif dan mendorong stabilitas melalui inklusi atau moderasi.

Pengaruh Homogenitas vs Heterogenitas Sosial terhadap Pilihan Sistem Pemilu


Tingkat homogenitas atau heterogenitas sosial sangat memengaruhi preferensi dan kinerja sistem pemilu di suatu negara. Pada masyarakat yang relatif homogen, di mana mayoritas warga berbagi identitas atau preferensi politik serupa, sistem mayoritarian/plurality dapat berfungsi baik tanpa menimbulkan ketegangan berarti. Dalam konteks homogen, pemilu cenderung menjadi persaingan di sekitar isu kebijakan atau kompetisi antar individu, bukan pertarungan antarkelompok identitas. Teori median voter (Downs, 1957) menjelaskan bahwa di masyarakat yang pemilihnya kebanyakan berada di posisi sentris, sistem plurality/distrik tunggal mendorong partai atau kandidat bergerak ke tengah untuk meraih mayoritas17. Hasilnya, politik cenderung moderat dan stabil, serta floating voters (pemilih mengambang) dapat berganti pilihan sehingga terjadi sirkulasi kekuasaan. Misalnya, Britania Raya dan Selandia Baru (sebelum 1996)– yang relatif tidak terpecah secara etnis – berhasil menggunakan sistem FPTP/plurality dengan kompetisi dua partai dominan yang bergiliran berkuasa. Demikian pula Jepang (sebelum reformasi 1994) dan Malaysia selama masa tertentu menggunakan model pluralitas, karena dianggap cocok dengan konteks sosial mereka yang memiliki kelompok mayoritas jelas. Namun, penting dicatat bahwa homogenitas mutlak jarang ada; bahkan masyarakat yang tampak homogen mungkin memiliki cleavages lain (misal: kelas sosial atau agama) yang jika tidak diakomodasi bisa menjadi sumber ketegangan.

Sebaliknya, pada masyarakat yang sangat heterogen – misalnya terdapat beberapa kelompok etnis, ras, atau agama yang cukup besar, atau terbelah dalam faksi ideologi/kelas yang tajam – pemilihan sistem pemilu menjadi lebih krusial. Beberapa pola pengaruh struktur sosial terhadap sistem pemilu dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Keragaman Etnis dan Ras: Keberagaman suku, bangsa, atau ras dalam satu negara sering mendorong adopsi sistem yang dapat menginklusi banyak suara. Sistem PR sangat lazim direkomendasikan dalam konteks ini karena memberikan peluang keterwakilan bagi kelompok etnis minoritas sekalipun. Contohnya, Afrika Selatanpasca-apartheid memilih sistem PR tertutup secara nasional. Partai terbesar (African National Congress, ANC) sebenarnya akan sangat diuntungkan jika memakai sistem FPTP (mereka bisa menang besar karena merupakan kelompok mayoritas kulit hitam). Namun, ANC justru mendukung PR pada pemilu pertama 1994 karena sadar bahwa FPTP akan mengakibatkan eksklusi total kelompok minoritas (kulit putih, India, coloured) dan meningkatkan ketidakpastian stabilitas18. Keputusan rasional ANC ini bertujuan membawa semua kelompok “masuk ke dalam tenda” demokrasi ketimbang memberi alasan bagi kelompok yang kalah untuk menolak sistem politik19. Contoh lain, India yang sangat majemuk etnis, agama, dan kasta, secara historis tetap memakai warisan sistem distrik pluralitas dari Inggris. Namun, India melengkapinya dengan inovasi seperti kursi cadangan bagi kasta terdiskriminasi (Scheduled Castes/Tribes) untuk menjamin representasi mereka di parlemen20. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun sistem utama bukan PR, mekanisme tambahan diterapkan untuk mengimbangi potensi ketidakadilan representasi di masyarakat majemuk.
  • Heterogenitas Agama atau Sektarian: Di negara dengan perbedaan agama atau sekte yang tajam, sistem pemilu sering kali dirancang khusus untuk memastikan semua golongan terwakili demi menghindari dominasi satu golongan agama. Lebanon merupakan contoh ekstrem, di mana sistem konsosiasional diterapkan: konstitusi membagi jatah kursi parlemen dan jabatan eksekutif berdasarkan komunitas agama (Maronit, Sunni, Syiah, dll.) demi keseimbangan21. Meskipun Lebanon awalnya menggunakan sistem block vote di distrik multi-kursi, pembagian kursinya diatur per sekte. Pada 2018, Lebanon bahkan beralih ke sistem PR dengan alokasi sektarian tetap, guna meningkatkan keadilan perolehan kursi setiap kelompok. Contoh lain, Irak pasca-2003 mengadopsi PR nasional dengan kuota minoritas (misal untuk komunitas Kristen, Yazidi) dan aturan pembagian kekuasaan etno-sektarian (Presiden Kurdi, PM Syiah, Ketua Parlemen Sunni). Langkah-langkah ini adalah upaya menyesuaikan sistem politik dengan mosaik sosial Irak yang terbelah antara Sunni, Syiah, Kurdi, dan lainnya22. Demikian pula Bosnia-Herzegovina pasca perang mendesain sistem pemilu PR plus pembagian jabatan berdasarkan etnis (Bosniak, Serb, Kroat) sesuai perjanjian Dayton23. Intinya, dalam konteks perbedaan agama/etnis yang berpotensi konflik, sistem proporsional atau jatah kelompok eksplisit kerap dipakai agar tidak ada kelompok yang merasa tersingkir.
  • Perbedaan Bahasa dan Identitas Regional: Negara yang terdiri dari komunitas bahasa atau identitas regional berbeda juga cenderung memilih sistem yang mengakomodasi pluralitas regional. Belgia, misalnya, terbelah antara komunitas berbahasa Flemish dan Perancis. Sistem pemilu Belgia menggunakan PR dengan dapil-dapil berbasis provinsi (dan pembagian partai juga terpecah per komunitas bahasa). Hal ini memastikan baik partai Flemish maupun Walloon mendapat representasi proporsional sesuai dukungan masing-masing, sehingga tidak ada dominasi satu komunitas di parlemen federal. Swiss serupa, sebagai konfederasi multibahasa dan multiagama, menerapkan sistem PR untuk parlemen dengan ambang batas alami di kanton. PR di Swiss dikombinasikan dengan federalisme dan tradisi grand coalition, sejalan dengan prinsip konsosiasional yang menjaga setiap kelompok (termasuk kelompok minoritas seperti keturunan Italia atau komunitas Katolik di kanton Protestan) tetap terwakili di pemerintahan.
  • Fragmentasi Kelas Sosial dan Ideologi: Cleavage berbasis kelas (kesenjangan kaya-miskin, buruh vs majikan) atau ideologi politik juga memengaruhi pilihan sistem. Di awal abad ke-20, banyak negara Eropa Kontinental beralih dari sistem mayoritarian ke sistem PR karena munculnya partai-partai buruh/sosialis yang mewakili kelas pekerja. Ekspansi hak pilih dan tumbuhnya gerakan buruh menekan elite lama untuk mengakomodasi mereka secara proporsional, daripada berisiko kalah total atau menimbulkan gejolak24. Contohnya, Belanda dan Swediamengadopsi PR sekitar 1910-1920-an ketika partai sosialis mulai kuat, agar semua arus ideologi (konservatif, liberal, sosialis, religius) mendapat porsi kursi sesuai suara25. PR menjadi solusi kompromi: aspirasi politik kelas pekerja masuk parlemen, tetapi tidak secara drastis menghapus representasi kaum lama. Sebaliknya, negara seperti Britania Raya yang perpecahan kelasnya tidak menimbulkan banyak partai (hanya Partai Buruh vs Konservatif) tetap mempertahankan FPTP. Namun bahkan di negara seperti Inggris, munculnya Partai Buruh dulu didukung oleh pakta dengan kaum Liberal untuk sementara, hingga sistem dua partai mapan. Ini menunjukkan bahwa heterogenitas kelas yang tinggi (banyak partai ideologis) cenderung membuat PR lebih menarik, sementara sistem dua partai stabil bisa bertahan dengan plurality jika perbedaan kelas terkonsolidasi ke dua kubu besar saja.

Singkatnya, struktur sosial menentukan kebutuhan representasi. Masyarakat yang tersegmentasi menuntut sistem yang bisa memetakan segmentasi itu secara adil ke dalam lembaga perwakilan, sementara masyarakat yang terintegrasi(homogen atau cross-cutting cleavages) cenderung lebih toleran terhadap sistem pemenang-ambil-semua. Studi Bogaards (2001) mencatat bahwa di negara heterogen, pemilu cenderung “seperti sensus” – pemilih memilih partai yang mencerminkan kelompok identitas mereka26. Jika sistemnya plurality, hasilnya bisa berupa mayoritas permanen untuk kelompok terbesar dan minoritas permanen bagi yang lain27. Sebaliknya, sistem PR akan membuka peluang bagi berbagai partai berbasis masing-masing kelompok untuk masuk parlemen, sesuai teori bahwa PR menerjemahkan perpecahan sosial menjadi perpecahan politik secara langsung28. Implikasinya terhadap stabilitas dan kualitas demokrasi akan dibahas di bagian berikut.

Perbandingan Praktik Global: Studi Kasus Berbagai Negara


Untuk memahami lebih konkret hubungan struktur sosial dan sistem pemilu, berikut disajikan beberapa contoh negara di berbagai kawasan dengan pendekatan berbeda:

  • Afrika Selatan – Studi Kasus Negara Pasca-Konflik: Setelah berakhirnya apartheid, Afrika Selatan termasuk masyarakat yang sangat majemuk (mayoritas kulit hitam, minoritas putih, India, coloured, dengan sejarah konflik rasial). Desain konstitusi 1994 mengadopsi sistem PR daftar tertutup untuk pemilu nasional, dalam kerangka parlementer. Hasilnya, setiap pemilu Afrika Selatan melibatkan banyak partai, namun ANC selalu dominan sesuai proporsi mayoritas populasi. Sistem PR ini terbukti memberikan representasi kepada minoritas: Partai oposisi yang mewakili kepentingan warga kulit putih (seperti Democratic Alliance) tetap mendapat kursi signifikan sesuai perolehan suara mereka, sehingga minoritas tidak sepenuhnya tersingkir dari parlemen. Akan tetapi, PR juga berarti tidak ada mekanisme khusus yang mencegah pembentukan partai etnis29. Kecenderungan politik terakhir menunjukkan ANC kadang memainkan isu identitas rasial dalam kampanye30, sementara partai oposisi juga cenderung tersegmentasi menurut garis rasial atau etnis. Jadi PR menjamin inklusi, tetapi tidak banyak mendorong partai lintas ras. Meski begitu, Afrika Selatan relatif stabil secara politik dan terhindar dari konflik terbuka pasca-1994, sebagian berkat pendekatan inklusif PR yang menghindari “pemenang mutlak” di sistem yang masyarakatnya pernah terbelah akut.
  • Indonesia – Studi Kasus Negara Majemuk dengan Sistem Campuran: Indonesia merupakan negara plural dengan ratusan suku dan agama yang beragam, namun berhasil mempertahankan integrasi nasional. Secara formal, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka untuk pemilu legislatif sejak reformasi 1999, tetapi dengan modifikasi penting: adanya ambang batas parlemen (parliamentary threshold, kini 4%) dan persyaratan bagi partai untuk memiliki kepengurusan di seluruh provinsi. Aturan ini mencegah fragmentasi berlebihan dan menghalangi partai yang berbasiskan satu etnis atau daerah kecil untuk masuk parlemen31. Indonesia juga memiliki sistem pemilu presiden mayoritarian (50%+1 suara nasional plus sebaran minimal 20% di lebih dari setengah provinsi)32. Syarat sebaran geografis ini memaksa calon presiden membangun koalisi nasional yang luas – tak bisa menang hanya dengan basis satu suku atau provinsi. Praktik di Indonesia menunjukkan bagaimana desain hybriddigunakan: pemilu legislatif berbasis PR memastikan berbagai kelompok (termasuk partai Islam, nasionalis, regional) terwakili sesuai proporsi dukungan, tetapi ambang batas menyingkirkan partai sangat kecil (misal partai berbasis etnis lokal cenderung tidak lolos). Sementara itu, aturan pemilu presiden menjamin tidak ada presiden yang terpilih tanpa dukungan lintas wilayah (yang juga berarti lintas etnis/agama karena penyebaran demografi Indonesia). Hasilnya, tidak terdapat partai politik resmi di Indonesia yang identitasnya semata-mata etnis tertentu – sesuatu yang memang sengaja dihindari oleh pembuat aturan33. Kombinasi ini dianggap berhasil meredam politik sektarian eksplisit; partai-partai besar Indonesia (seperti PDI-P, Golkar, Gerindra) semuanya bersifat nasionalis dengan keanggotaan multi-etnis, meskipun ada partai berbasis agama (Islam) tetapi mereka pun harus meraih dukungan umum yang luas.
  • India – Studi Kasus Negara Demokrasi Heterogen dengan Sistem FPTP: India mewarisi sistem plurality distrik tunggal (FPTP) dari kolonial Inggris dan mempertahankannya hingga kini. Sebagai negara demokrasi terbesar dan sangat plural (beragam suku, agama, bahasa, kasta), pilihan ini menarik untuk dianalisis. FPTP di India bekerja dengan cara memaksa partai politik berkoalisi dalam payung besar atau melakukan mobilisasi lintas kelompok demi memenangkan kursi mayoritas di tiap daerah. Contohnya, partai Kongres historisnya menjadi kendaraan multi-etnis, menang di banyak daerah karena mampu mengusung calon dari berbagai komunitas. Namun, sistem ini juga punya kekurangan: kelompok minoritas yang tersebar (misal Muslim yang ~14% populasi nasional) sering kurang terwakili karena mereka tidak mayoritas di banyak daerah pemilihan. Representasi muslim di Lok Sabha cenderung lebih rendah dari proporsi populasinya, kecuali di daerah-daerah di mana mereka mayoritas lokal. Untuk mengurangi eksklusi berdasarkan identitas tertentu, India menetapkan kursi reservasi bagi komunitas Scheduled Castes dan Scheduled Tribes di daerah-daerah tertentu34. Kursi ini hanya bisa diperebutkan oleh kandidat dari kelompok tersebut, memastikan kehadiran mereka di parlemen. Tanpa mekanisme ini, kandidat dari kasta terendah mungkin sulit menang di banyak dapil mayoritas kasta tinggi. Pelajaran dari India: FPTP bisa bertahan di negara plural besar bila diimbangi dengan partai-partai yang inklusif dan beberapa kebijakan afirmatif. Namun, risiko seperti politik identitas regional tetap ada – terbukti dengan munculnya partai-partai daerah kuat (misalnya Shiv Sena di Maharashtra, Akali Dal di Punjab, partai Dravida di Tamil Nadu), yang menunjukkan bahwa heterogenitas India menghasilkan fragmentasi partai secara geografis meskipun sistemnya plurality.
  • Nigeria – Studi Kasus Regulasi “Vote-Pooling”: Nigeria adalah negara Afrika berpenduduk besar dengan heterogenitas tinggi (lebih dari 250 etnis, dengan tiga kelompok utama Hausa-Fulani, Yoruba, Igbo, serta pembelahan agama Islam-Kristen). Nigeria menjalankan sistem FPTP untuk legislatif, tetapi menghadapi tantangan bahwa politiknya rawan tersentralisasi pada etnis/region mayoritas (Utara vs Selatan). Pengalaman buruk Perang Saudara Biafra (1967) dan konflik antar-komunal mendorong inovasi dalam sistem politik Nigeria, khususnya pada pemilu presiden. Konstitusi Nigeria mensyaratkan bahwa untuk menjadi presiden, kandidat tidak cukup hanya meraih suara terbanyak secara nasional, tetapi juga minimal 25% suara di setidaknya 2/3 dari 36 negara bagian35. Ini adalah contoh mekanisme constituency pooling: calon presiden harus mendapat dukungan tersebar luas, memaksa mereka membentuk aliansi lintas etnis dan agama. Praktiknya, partai-partai besar Nigeria (misal PDP, APC) mencalonkan ticket duet presiden-wakil dari utara-selatan atau Muslim-Kristen untuk memenuhi persyaratan sebaran dan menarik pemilih lintas identitas. Di legislatif, FPTP Nigeria masih sering menghasilkan ketimpangan (kelompok mayoritas di suatu daerah menang semua kursi, minoritas lokal terpinggirkan). Namun, pembagian administratif Nigeria ke dalam banyak negara bagian dan prinsip federalisme memberi kelompok etnis utama kontrol di wilayahnya masing-masing, sedikit banyak meredakan ketegangan pusat-daerah. Pelajaran Nigeria menyoroti pentingnya vote pooling: aturan elektoral yang mewajibkan pemenang merangkul berbagai kelompok dapat menjadi alternatif ataupun pelengkap PR dalam masyarakat majemuk untuk mendorong moderasi36.
  • Kenya dan Tanzania – Studi Kasus Kontras di Afrika Timur: Kedua negara ini memiliki komposisi etnis beragam. Kenya memakai sistem FPTP sejak lama dan mengalami polarisasi etnis kuat dalam politik (terutama antara kelompok Kikuyu, Luo, Kalenjin, dll.). Pada pemilu 2007, misalnya, kompetisi politik yang winner-take-all di tengah masyarakat terfragmentasi etnis berkontribusi pada kerusuhan pascapemilu yang menelan korban besar. Pemenang (presiden Kibaki, Kikuyu) dan penantang (Raila Odinga, Luo) berbentrokan klaim kemenangan, memicu kekerasan yang sebagian besar bersifat etnis. Hal ini menunjukkan bahaya sistem pemenang-ambil-semua tanpa jaminan inklusi di masyarakat plural: pihak kalah dari kelompok tertentu merasa dirugikan total. Akhirnya, Kenya mengubah konstitusinya (2010) untuk membentuk sistem presiden yang dipilih 50%+1 dengan sebaran regionalserta mempersyaratkan pembentukan koalisi pemerintahan persatuan jika tidak ada yang menang jelas. Selain itu, Kenya menerapkan desentralisasi (pemerintahan county) agar kekuasaan lebih tersebar. Sementara Tanzaniaberhasil mengelola pluralitas etnis dengan FPTP melalui dominasi satu partai inklusif (Chama Cha Mapinduzi) dan kebijakan asimilasi nasional (seperti penggunaan lingua franca Swahili). Di Tanzania, meski sistemnya FPTP yang biasanya menguntungkan kelompok mayoritas, identitas etnis sengaja di-delegitimasikan dalam politik oleh pemerintah pascakemerdekaan. Hasilnya, konflik etnis relatif rendah. Ini contoh bahwa struktur sosial heterogen tidak selalu meletus jika ada faktor lain (seperti ideologi nasional yang kuat atau satu partai pemersatu) – namun contoh Tanzania lebih merupakan pengecualian yang sulit direplikasi di masyarakat demokratis multipartai.
  • Negara-Negara Eropa Barat: Banyak demokrasi mapan di Eropa Barat menunjukkan korelasi antara konfigurasi sosial dan evolusi sistem pemilu. Jerman setelah Perang Dunia II sadar betul akan bahaya fragmentasi (Weimar era) dan eksklusi kelompok. Konstitusi Jerman Barat 1949 memperkenalkan sistem campuran (Mixed-Member Proportional) dengan electoral threshold 5% nasional. Ambang batas 5% ini sengaja diterapkan untuk mengonsolidasikan sistem partai agar tidak terlalu banyak partai kecil yang bisa masuk parlemen37. Hasilnya, meski masyarakat Jerman tidak terpecah etnis, ada keragaman ideologi (sosial demokrat, konservatif, liberal, dst.) yang dikelola dengan 3-4 partai utama selama puluhan tahun – suatu stabilitas yang diinginkan setelah pengalaman negatif hiper-fragmentasi di era Weimar. Britania Raya yang lebih homogen etnis namun punya perbedaan kelas dan regional (Inggris vs Skotlandia/Wales) tetap bertahan dengan FPTP, tetapi akhir-akhir ini menghadapi kritik bahwa sistem tersebut mengabaikan keinginan politik di wilayah yang berbeda (misal mayoritas rakyat Skotlandia memilih partai berbeda dari mayoritas Inggris, namun di tingkat UK sering tersapu oleh dominasi partai dari Inggris). Akibatnya, Britania Raya mulai mengakomodasi pluralitas internal dengan devolusi kekuasaan(pembentukan parlemen Skotlandia, majelis Wales dengan pemilu proporsional) dan di Irlandia Utara – kawasan dengan konflik sektarian historis – diterapkan sistem STV (Single Transferable Vote) dan kabinet power-sharingsesuai Perjanjian Belfast 1998. Hal ini mencontohkan bahwa bahkan negara yang umumnya dianggap majoritarian pun melakukan penyesuaian sistem di daerah yang struktur sosialnya berbeda.
  • Israel – Studi Kasus Fragmentasi Ekstrem: Israel memiliki masyarakat yang sangat majemuk (terdapat berbagai garis perpecahan: Yahudi vs Arab, sekuler vs religius, orientasi ideologi kiri-kanan, komunitas imigran berbeda asal, dll.). Sistem politiknya menggunakan PR dengan ambang batas rendah (hanya 3.25%) dalam satu distrik nasional. Kombinasi societal diversity dan extreme PR ini menghasilkan fragmentasi partai yang tinggi38. Banyak partai kecil mewakili segmen-segmen spesifik (misal partai ultra-Ortodoks, partai kaum imigran Rusia, partai Arab, partai sayap kanan religius, dsb.), sehingga porsi kursi tersebar. Sisi positifnya, nyaris semua kelompok minoritas di Israel mendapatkan voice di Knesset sesuai proporsinya – minoritas Arab (~20% populasi) memiliki partai sendiri dan kursi yang sebanding, kelompok agama pun demikian39. Namun, harga yang harus dibayar adalah stabilitas politik yang rendah: tidak ada partai besar yang mendominasi (partai pemenang biasanya hanya meraih ~25-30 kursi dari total 120), koalisi pemerintah selalu terdiri dari multi-partai (sering 5-8 partai) yang rentan pecah40. Selama 2019-2022, Israel bahkan harus menggelar pemilu hingga lima kali karena koalisi yang terbentuk selalu rapuh dan jatuh sebelum masa jabatannya habis. Contoh Israel menggambarkan dilema antara representativitas vs governabilitas: sistem sangat proporsional cocok dengan struktur sosial yang sangat plural sehingga semua kelompok terwakili, tetapi dapat mempersulit terbentuknya pemerintahan stabil. Beberapa analis Israel mengusulkan reformasi untuk mendorong konsolidasi ke blok-blok besar demi stabilitas41, misalnya dengan menaikkan ambang batas atau memberikan kursi bonus kepada pemenang.

Rangkaian contoh di atas menegaskan bahwa tidak ada pendekatan tunggal; setiap negara menyesuaikan sistem politiknya dengan kondisi sosialnya, baik melalui desain awal maupun lewat pembaruan setelah mengalami krisis. Negara plural yang berhasil damai umumnya memiliki benang merah berupa inklusivitas (baik melalui PR, koalisi lintas kelompok, atau pengaturan khusus), sedangkan negara yang bermasalah seringkali ditandai sistem yang membuat sebagian kelompok merasa tersingkir.

Dampak Negatif Ketidaksesuaian Sistem Pemilu dengan Struktur Sosial


Jika suatu sistem pemilu tidak sesuai dengan realitas struktur sosial masyarakat, berbagai dampak negatif dapat muncul, mengancam stabilitas politik dan kohesi sosial. Beberapa potensi dampak negatif tersebut antara lain:

  • Eksklusi Kelompok Minoritas: Ini merupakan risiko utama bila sistem terlalu mayoriter di masyarakat majemuk. Sistem plurality/winner-take-all cenderung “mengunci” minoritas di luar kekuasaan42. Dalam situasi partai berbasis etnis, FPTP bisa membuat satu kelompok etnis (yang mayoritas jumlahnya) mendominasi penuhparlemen/pemerintahan, sementara etnis lain tidak mendapat representasi sebanding43. Demokrasi lantas berubah menjadi permainan zero-sum antara kelompok yang selalu menang versus yang selalu kalah, yang pada gilirannya menyuburkan politik identitas yang permusuhan. Contoh nyata adalah Sri Lanka pascamerdeka: dengan populasi ~75% Sinhala dan ~15% Tamil, sistem parlementer FPTP membuat partai nasionalis Sinhala menang terus, sedangkan perwakilan Tamil sangat minim. Ketegangan akibat marginalisasi politik kaum Tamil berkontribusi pada meletusnya pemberontakan bersenjata (ERA 1980-an) dan perang saudara selama puluhan tahun. Begitu pula di Irlandia Utara sebelum 1972, komunitas Protestan (mayoritas) terus memenangkan pemilu dan memarginalkan komunitas Katolik di bawah sistem FPTP, memperparah konflik sektarian The Troubles. Kedua contoh ini memperlihatkan bahwa ketidakadilan representasi terhadap minoritas dapat memicu radikalisasi – kelompok yang kalah permanen mungkin menolak jalur demokrasi dan memilih perlawanan lain yang mengancam keutuhan negara.
  • Polarisasi dan Politik Identitas yang Mengeras: Sistem pemilu yang tidak inklusif bisa mendorong politik menjadi sangat terpolarisasi secara identitas. Ketika satu kelompok merasa kekuasaan politik selalu jatuh ke tangan kelompok lain, maka loyalitas politik akan semakin ditentukan oleh garis identitas (etnis/agama) ketimbang isu kebijakan. Proses demokrasi berubah menjadi sensUS etnis (etnic census) di mana setiap kelompok hanya mendukung “partai mereka sendiri”. Ini feedback loop negatif: sistem yang tidak memberi insentif kolaborasi lintas kelompok akan memperkuat politik sektarian, memperlebar jurang sosial. Keadaan ini terlihat misalnya di Nigeriaera Republik Pertama (1960an) ketika FPTP melahirkan partai-partai regionals/etnis yang berkuasa di basis masing-masing dan gagal bekerja sama di pusat – politik menjadi ajang tarik-menarik antara tiga blok etno-regional. Ujungnya adalah kudeta militer dan perang saudara (1967). Polarisasi juga meningkat bila sistem pemilu memaksa pemenang memperoleh mayoritas absolut di masyarakat majemuk tanpa mekanisme vote pooling. Kompetisi elektoral model “menang total atau kalah total” mendorong elit politik memakai retorika tajam untuk memobilisasi basis etnis/religius mereka, yang dapat memicu ketegangan horizontal. Penelitian menunjukkan bahwa demokrasi di masyarakat terbelah memerlukan retorika dan sikap lebih hati-hati; sementara itu, negara Barat yang mapan bisa tahan dengan retorika oposisi keras karena konteks sosialnya stabil44. Jadi, sistem yang salah di konteks terbelah dapat menyuburkan ekstremisme: masing-masing kubu saling curiga dan enggan berkompromi karena taruhannya dianggap menyangkut eksistensi kelompok.
  • Konflik Politik dan Kekerasan: Dalam kondisi terburuk, mismatch antara sistem pemilu dan struktur sosial dapat memicu konflik terbuka atau kekerasan politik. Kegagalan institusional untuk mengelola keragaman melalui pemilu damai membuat kelompok yang kalah terus-menerus bisa kehilangan kepercayaan pada proses demokrasi. Seperti disinggung, winner-take-all dalam masyarakat plural mudah berubah menjadi “permanen inclusion vs permanent exclusion” – suatu permainan zero-sum berbahaya45. Contoh nyata ialah Kenya 2007 di mana sengketa hasil pemilu (yang diperebutkan sepanjang garis etnis) berujung kekerasan antarkelompok. Pantai Gading (Côte d’Ivoire) pada 2010 juga mengalami krisis ketika petahana dan oposisi, yang basis dukungannya terpolarisasi secara regional-etnis (Utara vs Selatan), sama-sama mengklaim kemenangan presiden winner-take-all, memicu konflik bersenjata singkat. Studi oleh Reilly (2002) mencatat bahwa desain pemilu dapat memicu atau meredam konflik; misalnya kasus Angola 1992 di mana babak kedua pemilu presiden mempertemukan dua pemimpin faksi bersenjata besar dalam kompetisi head-to-head, yang akhirnya gagal karena pihak yang kalah (União Nacional) memilih kembali ke jalur perang daripada menerima kekalahan tipis46. Ini mengindikasikan bahwa sistem elektoral harus dirancang hati-hati jika taruhannya melibatkan eks kombatan atau faksi konflik – jika tidak, pemilu justru bisa menjadi pemantik konflik baru.
  • Fragmentasi Ekstrem dan Ketidakstabilan Pemerintahan: Dampak ini umumnya terkait sistem yang sangat proporsional di masyarakat yang terfragmentasi (baik identitas maupun kepentingan). Jika sebuah masyarakat memiliki banyak sekali faksi atau kelompok (bisa karena kultur politik yang permisif terhadap partai kecil, kelembagaan lemah, dsb.), penerapan PR tanpa filter dapat menghasilkan jumlah partai berlebihan di parlemen. Fragmentasi partai yang ekstrem membuat pembentukan pemerintahan koalisi menjadi rumit dan rentan gagal, karena terlalu banyak pihak yang harus diakomodasi. Pemerintahan koalisi rapuh dapat berimplikasi pada seringnya pergantian pemerintahan (instabilitas eksekutif) dan sulitnya mencapai kebijakan jangka panjang. Contoh historis adalah Republik Weimar Jerman (1919-1933) yang memakai PR dengan threshold sangat rendah – parlemen Weimar berisi banyak partai kecil sehingga koalisi pemerintahan silih berganti, menciptakan ketidakpuasan publik dan membuka jalan bagi naiknya faksi anti-demokrasi. Meskipun analisis terbaru menunjukkan fragmentasi itu bukan semata akibat sistem PR (bahkan pada era sistem mayoritas dua putaran sebelum 1918 Jerman juga mengalami banyak partai)47, kasus Weimar kerap dijadikan pelajaran tentang bahaya PR tanpa pengamanan di masyarakat dengan cleavages ideologi yang tajam. Contoh kontemporer adalah Israel, sebagaimana diuraikan sebelumnya: sistem PR nasional dengan ambang 3.25% menghasilkan parlemen sangat terfragmentasi (10+ partai)48. Walau representasi minoritas terpenuhi, konsekuensinya pemerintah sering goyahdan harus mengeluarkan kebijakan populis demi memuaskan partai kecil penentu koalisi49. Israel mengalami deadlock politik beberapa kali akibat susahnya mencapai mayoritas stabil. Italia pra-1990an juga dikenal sering berganti kabinet (puluhan kali) walau semua melalui PR di parlemen yang terfragmentasi – walau di Italia faktor ideologi dan personal juga berperan. Dengan demikian, fragmentasi berlebihan dapat mengancam governabilitas: perhatian elite habis untuk negosiasi koalisi dan menenangkan partai-partai kecil, sementara kepentingan publik luas terabaikan50. Fragmentasi ini bisa dilihat sebagai ketidaksesuaian sistem dengan kultur politik; misal, tanpa ambang batas yang memadai, PR di masyarakat dengan banyak kelompok akan menyalurkan semuanya ke parlemen tanpa filter, sehingga sistem politik menjadi cermin sempurna masyarakat namun sulit diajak berjalan efektif.

Perlu dicatat bahwa dampak negatif di atas bukan semata diakibatkan oleh sistem pemilu saja – sering kali, konteks historis, perilaku elite, dan faktor ekonomi turut menentukan apakah perpecahan sosial berujung kekerasan atau tidak. Namun, sistem pemilu yang tidak pas dapat menjadi faktor pendukung atau pemicu yang memperburuk masalah. Oleh karena itu, banyak negara akhirnya melakukan penyesuaian atau adopsi strategi khusus untuk mengelola potensi dampak buruk tersebut.

Strategi Antisipatif dan Pendekatan Pengelolaan Dampak


Menghadapi potensi masalah akibat ketidaksesuaian antara keragaman sosial dan sistem pemilu, berbagai negara dan perancang institusi telah mengembangkan strategi antisipatif. Strategi-strategi ini bertujuan mengelola dampak negatifsembari tetap menjaga prinsip demokrasi. Beberapa pendekatan utama yang ditempuh di berbagai negara antara lain:

  • Penerapan Ambang Batas (Electoral Threshold): Banyak negara dengan sistem PR menambahkan ketentuan ambang batas perolehan suara minimum untuk mendapat kursi. Tujuannya untuk mencegah fragmentasi partai yang berlebihan dengan menyaring partai-partai sangat kecil. Contohnya, Jerman menetapkan ambang 5% sejak awal demokrasi pascaperang, yang terbukti efektif memfokuskan parlemen pada 3-5 partai utama saja51. Turkimemiliki ambang 10% (sangat tinggi) – walau kontroversial karena sempat mendiskualifikasi banyak suara Kurdi – tetapi efektif memastikan hanya beberapa partai besar di parlemen. Indonesia secara bertahap menaikkan ambang batas parlemen (dari 2% pada 1999, menjadi 4% pada 2014, dan diusulkan naik 5%) untuk mendorong konsolidasi partai di tengah masyarakat majemuk. Langkah ini diambil setelah Pemilu 1999 menghasilkan sembilan fraksi parlementer sehingga koalisi pemerintahan sulit stabil; dengan ambang 4% di 2019, jumlah partai di DPR tersisa enam, relatif lebih manageable. Threshold pada dasarnya adalah kompromi: sedikit mengorbankan proporsionalitas murni demi kemudahan tata kelola (governability). Negara perlu menyeimbangkan agar ambang tidak terlalu rendah (fragmentasi) dan tidak terlalu tinggi (eksklusi minoritas).
  • Sistem Pemilu Campuran atau Kombinasi: Pendekatan campuran menggabungkan elemen mayoritarian dan proporsional untuk memetik kelebihan dan mengurangi kekurangan masing-masing sistem. Jermanmempelopori Mixed-Member Proportional (MMP) – separuh kursi lewat distrik FPTP, separuh lewat PR kompensatoris – sehingga setiap daerah punya wakil langsung, namun total hasil tetap proporsional secara nasional. Model ini diadaptasi misalnya di Selandia Baru (sejak 1996, pasca referendum publik yang menilai sistem FPTP lama gagal merepresentasikan keragaman pendapat). Hasil di Selandia Baru menunjukkan peningkatan representasi kelompok Maori, perempuan, dan minoritas lainnya setelah beralih ke MMP, tanpa mengorbankan stabilitas berlebihan (biasanya dua partai besar masih dominan koalisi). Jepang juga merombak sistemnya pada 1994 menjadi kombinasi distrik tunggal dan PR (walau PR-nya non-kompensatoris/parallel), dengan tujuan mendorong pembentukan partai-partai besar dan menghindari fragmentasi kecil namun juga memberikan proporsionalitas sebagian. Sistem campuran ini sering dipilih oleh negara yang menghendaki representasi proporsional tapi khawatir kehilangan akuntabilitas perwakilan lokal atau stabilitas eksekutif. Dengan memberi tiap pemilih dua suara (satu untuk kandidat daerah, satu untuk partai), diharapkan aspirasi lokal tersalur dan peta politik nasional pun inklusif. Meski begitu, desain campuran harus memperhatikan proporsi komposisi kursi agar efeknya seimbang; terlalu dominan unsur distrik bisa mengembalikan masalah eksklusi minoritas, terlalu dominan PR bisa tetap memunculkan banyak partai.
  • Penataan Daerah Pemilihan dan Sistem Distrik Multikursi: Di beberapa kasus, solusi dilakukan dengan mengubah besaran atau bentuk daerah pemilihan. Negara dengan masyarakat teritorial tersebar kadang menghindari distrik kecil homogen yang bisa memonopoli suara oleh satu kelompok. Sebaliknya, dibuat district magnitude lebih besar atau multimember districts, sehingga hasil di setiap dapil lebih proporsional dan minoritas lokal bisa memperoleh kursi. Spanyol misalnya menggunakan provinsi (multikursi) sebagai dapil dengan PR, tetapi provinsi kecil menguntungkan partai besar. Lebanon dalam reformasi 2018 memperbesar daerah pemilihan agar tiap dapil lebih heterogen sehingga mendorong politisi mencari suara lintas sekte. Gerrymandering positif juga bisa dilakukan: misal di Amerika Serikat, komunitas minoritas rasial diberikan district mayoritas-minoritassupaya bisa memilih wakil “orang mereka” ke Kongres (praktek ini didorong oleh Voting Rights Act untuk meningkatkan representasi Afrika-Amerika dan Hispanic di DPR AS). Di tingkat lokal AS, beberapa kota yang dulunya memakai at-large election (seluruh kota memilih semua kursi) yang sering mengakibatkan minoritas tersapu, beralih ke sistem distrik agar komunitas minoritas setempat bisa menang di distrik mayoritas mereka52. Inti strategi ini adalah mengatur demografi dalam dapil sedemikian rupa sehingga peluang representasi minoritas meningkat, bahkan dalam sistem non-PR.
  • Kuota dan Kursi Cadangan: Cara langsung untuk menjamin inklusi adalah menyediakan alokasi khusus kursi bagi kelompok tertentu. Kita telah membahas India dengan kursi cadangan untuk kasta terdiskriminasi53. Contoh lain, New Zealand sejak abad 19 memiliki Maori reserved seats di parlemen untuk memastikan penduduk Maori asli punya wakil (sistem ini berjalan paralel dengan pemilu umum, di mana pemilih Maori bisa memilih mendaftar di daftar pemilih umum atau Maori). Nepal dan Pakistan mempunyai kursi cadangan untuk minoritas agama dan etnis di legislatif. Rwanda pasca-genosida menetapkan 24 dari 80 kursi parlemen dicadangkan untuk perempuan, dan beberapa kursi untuk pemuda dan disabilitas – ini untuk mengatasi ketimpangan gender dan kelompok rentan (Rwanda juga bahkan mewajibkan 30% quota perempuan di semua badan terpilih). Kuota dapat diterapkan dalam berbagai bentuk: bisa hard quota berupa kursi tertentu, atau soft quota dalam daftar partai (misal banyak negara Eropa memberlakukan zipper system/quotas gender pada daftar calon PR agar perempuan minimal 30-50%54). Untuk kelompok etnis, kuota keras lebih umum dipakai bila kelompok itu secara demografis kecil dan rawan tak dapat kursi (contoh: minoritas Hindu dan Sikh di Afghanistan mendapat 10 kursi cadangan dalam sistem PR di sana; minoritas Kristen di Iran dapat beberapa kursi tertentu dalam parlemen yang mayoritas Muslim). Strategi kuota memastikan representasi deskriptif – hadirnya anggota legislatif dari kelompok tersebut – meski tentu ada debat apakah ini mengorbankan prinsip kesetaraan kandidat. Namun, dalam masyarakat post-konflik atau sangat terpolarisasi, kuota dapat membangun rasa inklusi simbolis yang penting untuk legitimasi lembaga.
  • Pengaturan Power-Sharing dan Grand Coalition: Di luar sistem pemilu teknis, beberapa negara melengkapi mekanisme elektoral dengan perjanjian berbagi kekuasaan formal. Contohnya di Irlandia Utara, sistem Good Friday Agreement (1998) mengatur bahwa partai Protestan dan Katolik utama wajib berbagi jabatan eksekutif dalam pemerintahan koalisi, terlepas dari siapa yang terbesar. Posisi Perdana Menteri dan Wakilnya harus diisi masing-masing oleh perwakilan komunitas yang berbeda, dan keputusan penting di parlemen membutuhkan dukungan dua komunitas (cross-community support). Ini mencegah “tirani mayoritas” meskipun satu kubu menang suara lebih banyak. Lebanon juga memiliki kesepakatan tidak tertulis (kemudian menjadi konstitusional) bahwa Presiden selalu dari komunitas Maronit, PM dari Sunni, Ketua Parlemen dari Syiah, plus proporsi menteri seimbang. Model konsosiasional seperti ini memastikan setiap segmen utama mendapat jatah kekuasaan, sehingga mengurangi insentif konflik. Kekurangannya, kadang power-sharing membuat proses politik kurang efisien dan bisa mengabadikan pembelahan identitas karena selalu diperkokoh dalam pembagian jabatan. Meski demikian, untuk jangka pendek hingga menengah, pendekatan ini kerap diperlukan di masyarakat pascakonflik agar semua pihak merasa aman terwakili. Bosnia mengadopsi presidensi tripartit (Bosniak, Serb, Kroat masing-masing satu presiden bergilir) dengan veto etnis untuk melindungi kepentingan tiap kelompok. Pendekatan ini tidak ideal secara demokratis (karena membatasi pilihan pemilih berdasarkan identitas yang dipatok), tapi dianggap “harga” yang perlu dibayar demi perdamaian.
  • Sistem Preferensial (Vote Pooling): Salah satu ide Horowitz untuk memoderasi politik etnis adalah menggunakan sistem vote pooling seperti Alternative Vote (AV) atau Single Transferable Vote (STV). Dalam sistem preferensial ini, pemilih meranking kandidat; kandidat harus meraih dukungan mayoritas lewat transfer suara preferensi. Teorinya, di masyarakat majemuk, AV di distrik etnis campuran akan mendorong kandidat mencari suara pilihan kedua dari kelompok lain, sehingga kandidat paling ekstrem kurang diuntungkan. Fiji pernah mencoba sistem AV untuk parlemen (1999 dan 2001) dengan harapan partai etnis Fiji dan Indo-Fiji saling memberi preferensi kedua. Hasilnya campuran: sempat ada koalisi moderat, tapi akhirnya terjadi kudeta juga pada 2000, dan sistem ini dihapus tahun 2013. Papua Nugini pernah memakai Limited Preferential Vote (mirip AV) sejak 2007, yang menggantikan FPTP. Tujuannya agar di masyarakat PNG yang sangat fragmentasi klan, kandidat harus meraih preferensi luas, mengurangi konflik lokal. Studi Reilly (2000) mencatat, saat PNG pasca-kolonial secara kebetulan mewarisi sistem AV dari Australia, hal itu justru membantu pembentukan perilaku politik yang lebih akomodatif: kandidat mencari aliansi untuk mendapatkan suara kedua dan ketiga, sehingga tercipta kooperasi antarkelompok55. Ketika PNG lalu bergeser ke FPTP pada 1970-an, perilaku politik menjadi lebih eksklusif dan kurang akomodatif, partai pun terurai56. Ini menunjukkan vote pooling dapat bermanfaat bila cocok dengan struktur sosial (PNG sangat terfragmentasi sehingga preferensi kedua menjadi penting). Irlandia Utara menggunakan STV (bentuk preferensial PR) untuk pemilu majelisnya, yang memberi pilihan bagi pemilih di komunitas minoritas untuk tetap berpengaruh melalui preferensi. Meskipun STV sendiri tidak otomatis membuat partai moderat menang, minimal STV menjamin setiap suara tertransfer dan sedikit mengurangi kemungkinan satu kelompok menyapu habis kursi di dapil campuran.
  • Federalisme dan Desentralisasi: Walau di luar ranah sistem pemilu pusat, federalisme sering dijadikan komplemendalam mengelola masyarakat majemuk. Dengan memberi otonomi ke unit-unit daerah (yang sering berbasis identitas etnis/region), ketegangan dapat diredakan karena kelompok dapat memerintah diri di wilayahnya dan tidak merasa harus mendominasi pusat. Contoh, Swiss memadukan PR di pusat dengan federalisme kuat di kanton-kanton berdasarkan bahasa/religius, sehingga setiap komunitas punya kemandirian. Spanyol pasca-1978 memberikan status otonomi ke Catalonia, Basque, dll., mengurangi tuntutan separatisme yang dulunya diperangi oleh rezim sentralistis. India memiliki federalisme asimetris (negara bagian berbasis linguistik, beberapa dengan hak khusus seperti Kashmir, Nagaland) sehingga identitas lokal terakomodasi. Dalam konteks pemilu, federalisme bisa meringankan winner-take-all nasional, karena losers di tingkat pusat masih bisa menang di tingkat sub-nasional. Irak menerapkan semi-federalisme (region Kurdi otonom) agar kelompok Kurdi terjamin hak pemerintahannya. Pendekatan ini lebih ke pembagian kekuasaan vertikal, tetapi dampaknya menyokong stabilitas demokrasi dengan menyadari pluralitas sosial pada struktur pemerintahan.

Strategi-strategi di atas sering digunakan secara bersamaan. Misalnya, Afrika Selatan selain PR juga melakukan pembagian kekuasaan sementara (pemerintahan persatuan nasional 1994-1997 yang memasukkan partai lawan ke kabinet). Belgia memadukan PR dengan federalisme dan parity rule di kabinet (jumlah menteri Walonia dan Flandria harus seimbang). Indonesia mengkombinasikan PR terbuka berambang batas, presidensial dengan syarat sebaran, dan desentralisasi ke daerah. Semua ini menunjukkan bahwa desain institusional demokrasi ibarat “jahit-menjahit” yang harus disesuaikan dengan pola tenun masyarakatnya. Seperti peringatan para ahli, transplantasi buta sistem dari satu negara ke negara lain tanpa mempertimbangkan struktur sosial setempat dapat berakibat fatal57. Oleh karena itu, negara-negara baru atau yang mengalami konflik identitas umumnya berkonsultasi pada pengalaman internasional sebelum menetapkan sistem pemilunya.

Kesimpulan


Pemilihan sistem pemilu bukan semata persoalan teknis, melainkan terkait erat dengan struktur sosial dan dinamika kekuasaan dalam masyarakat. Kajian global memperlihatkan pola umum: semakin majemuk masyarakat, semakin dibutuhkan sistem yang inklusif dan proporsional untuk menjaga semua kelompok terwakili dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap proses politik. Homogenitas sosial yang tinggi cenderung kompatibel dengan sistem mayoritarian yang sederhana, tetapi pada kemajemukan tinggi sistem semacam itu rawan meminggirkan kelompok tertentu dan menimbulkan ketidakpuasan mendalam58. Sebaliknya, sistem proporsional menjanjikan representasi luas sesuai heterogenitas masyarakat, meski bila diterapkan tanpa pengaturan dapat menghasilkan fragmentasi politik yang menyulitkan pemerintahan59. Oleh sebab itu, banyak negara mencari titik tengah dengan inovasi institusional: ambang batas, sistem campuran, federalisme, hingga perjanjian pembagian kekuasaan, semuanya bertujuan menjembatani pluralitas sosial dengan kebutuhan akan efektivitas pemerintahan.

Dampak negatif jika sistem tidak selaras – seperti eksklusi minoritas, polarisasi identitas, konflik, ataupun fragmentasi ekstrem – telah terbukti di sejumlah negara sebagai pelajaran berharga. Namun, pengalaman juga menunjukkan masalah-masalah itu dapat diantisipasi atau diperbaiki melalui reformasi kelembagaan yang tepat. Kunci utamanya adalah kesadaran akan pola cleavages sosial dalam merancang sistem politik: diagnosa sosial yang jitu merupakan prasyarat mendesain sistem pemilu yang berhasil60. Terkadang solusi yang dibutuhkan bersifat kontekstual dan kombinatif – tidak cukup hanya mengganti sistem pemilu, tetapi juga menyertakan perubahan struktural lain.

Pada akhirnya, tujuan dari mencocokkan sistem pemilu dengan struktur sosial ialah memastikan demokrasi dapat berfungsi sebagai mekanisme damai untuk mengelola perbedaan. Seperti diungkap oleh para peneliti, demokrasi sebaiknya dipandang sebagai sistem pengolahan konflik secara terbuka daripada pemaksaan homogenitas61. Dengan sistem elektoral yang tepat, perbedaan etnis, agama, budaya, dan kelas dapat “diterjemahkan” menjadi institusi representatif secara adil, mencegah dominasi sepihak dan memupuk budaya koalisi atau kompromi. Sebaliknya, sistem yang keliru ibarat memasang kompas yang salah arah – alih-alih mengarahkan perbedaan menuju kerjasama, justru memicu benturan. Oleh karena itu, lesson learned dari perbandingan global ini menegaskan pentingnya pendekatan hati-hati dan berbasis bukti dalam merancang (maupun mereformasi) sistem pemilu, agar demokrasi mampu meredam potensi konflik laten dalam struktur sosial dan menjelma menjadi alat persatuan dalam keberagaman.

MEMBACA KEHENDAK KONSTITUSI UNTUK SISTEM PEMILU

Pendahuluan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang telah diamendemen pada periode 1999–2002 mengandung norma-norma fundamental yang membingkai penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Ketentuan-ketentuan konstitusional ini menentukan siapa yang berhak berkompetisi dalam pemilu serta bagaimana prinsip dasar pemilu dilaksanakan, sehingga secara implisit turut mengarahkan model sistem pemilu yang digunakan. Kajian ini akan membahas pasal-pasal UUD 1945 yang relevan dengan pemilu legislatif (DPR/DPRD), pemilu presiden, dan pemilu DPD, serta menjelaskan bagaimana norma-norma tersebut membentuk batasan atau preferensi tersirat terhadap sistem pemilu tertentu (misalnya kecenderungan sistem mayoritas dua putaran untuk presiden, sistem proporsional untuk DPR, dan sistem non-partai untuk DPD). Selanjutnya, akan dianalisis pula sejauh mana UUD 1945 bersifat netral atau fleksibel terhadap variasi sistem pemilu, dan di sisi lain di mana UUD 1945 secara tegas mengarahkan pada model tertentu.

Pemilu Legislatif (DPR dan DPRD) dalam UUD 1945


Kerangka konstitusional pemilu legislatif diatur terutama melalui Pasal 19 dan Pasal 22E UUD 1945 pasca-amendemen. Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipilih melalui suatu pemilihan umum secara langsung oleh rakyat1. Ketentuan serupa berlaku untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi maupun kabupaten/kota sesuai amanat konstitusi bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD2. Lebih lanjut, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menetapkan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL) yang harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali sebagai landasan normatif pemilu Indonesia3.

Yang paling signifikan, Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik4. Norma ini memberikan konsekuensi penting: calon-calon legislatif hanya dapat diajukan melalui kendaraan partai politik, sehingga calon independen perseorangan tidak diperkenankan bertarung memperebutkan kursi DPR/DPRD di tingkat manapun. Implikasi konstitusional tersebut cenderung mendorong diterapkannya sistem pemilu yang berorientasi pada perwakilan proporsional berbasis partai (party-list proportional representation). Dalam sistem demikian, partai politik menjadi aktor utama yang mengusung daftar calon dan perolehan kursi masing-masing partai akan sebanding dengan proporsi perolehan suara mereka secara nasional atau di daerah pemilihan terkait. Sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga era Reformasi, Indonesia memang menganut berbagai varian sistem proporsional untuk pemilihan anggota parlemen, baik dengan daftar tertutup maupun terbuka, sehingga norma Pasal 22E ayat (3) tersebut sejalan dengan tradisi representasi berimbang melalui partaiⁱᵛ. Di era pasca-reformasi, sistem proporsional terbuka – di mana pemilih dapat memilih langsung calon legislatif dari partai pilihannya – digunakan dalam pemilu DPR/DPRD (mulai Pemilu 2004 hingga kini), menggantikan model proporsional tertutup sebelumnya yang menekankan daftar urut caleg oleh partai. Meskipun UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebut “sistem proporsional” apalagi merinci terbuka atau tertutup, rumusan Pasal 22E ayat (3) tentang peserta pemilu legislatif hanya dari partai politik mengandung preferensi implisit bahwa mekanisme pemilu legislatif Indonesia bersifat kolektif-partisan, bukan kompetisi individual seperti sistem distrik mayoritarian. Hal ini berbeda dengan, misalnya, sistem pemilu distrik plurality (first-past-the-post) ala Inggris atau AS di mana calon perseorangan (meski bisa diusung partai) bertarung memperebutkan satu kursi di setiap daerah. Konstitusi kita, dengan hanya mengakui partai sebagai peserta, menutup kemungkinan adanya calon independen memenangkan kursi legislatif, sehingga penerapan sistem distrik murni secara teoretis akan mengakibatkan semua calon tetap harus berlabel partai. Kenyataan sosio-politis Indonesia yang majemuk dengan banyaknya partai politik membuat sistem distrik sederhana kurang sesuai, sehingga pilihan yang selaras dengan konstitusi dan kondisi tersebut adalah sistem proporsional multi-partai.

Meskipun demikian, UUD 1945 tidak mengunci satu model proporsional tertentu. Netralitas konstitusi terlihat dari pendelegasian pengaturan lebih lanjut kepada undang-undang. Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang5. Akibatnya, legislatif dan pembentuk undang-undang memiliki ruang fleksibilitas untuk menentukan desain teknis pemilu selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi. Misalnya, perihal apakah sistem proporsional yang dipakai berupa daftar tertutup (pemilih memilih partai saja, lalu partai menentukan urutan caleg yang jadi anggota dewan) atau daftar terbuka (pemilih dapat memilih langsung caleg, dan kursi diberikan pada caleg dengan suara terbanyak dalam partainya) ditentukan melalui UU, bukan langsung oleh UUD 1945. Kedua model tersebut pernah dipraktikkan tanpa memerlukan perubahan konstitusi, menandakan konstitusi cukup fleksibel mengakomodasi keduanya. Namun, perdebatan hukum pernah muncul mengenai mana yang lebih sesuai semangat UUD 1945. Sebagian kalangan berpendapat bahwa frasa Pasal 22E ayat (3) tersebut mengisyaratkan kecenderungan ke sistem proporsional tertutup, karena UUD menegaskan peran sentral partai politik dalam pemilu legislatif. Dalam pandangan ini, memberikan hak penuh kepada pemilih menentukan individu caleg terpilih (sistem terbuka) dianggap mengurangi peran konstitusional partai yang dijamin UUD 1945 sebagai pilar demokrasi perwakilan6. Tokoh dan pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra, misalnya, pernah berargumen di Mahkamah Konstitusi bahwa sistem proporsional terbuka “menggeser” kedaulatan rakyat yang seharusnya dilaksanakan melalui partai (sesuai Pasal 22E ayat (3)) menjadi seolah-olah kedaulatan per orangan, sehingga menurutnya bertentangan dengan UUD 19457. Di lain pihak, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tahun 2008 menekankan bahwa asas pemilu langsung yang diatur UUD 1945 justru menuntut penghormatan terhadap pilihan langsung pemilih, sehingga MK memerintahkan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak (menerapkan proporsional terbuka) tanpa dianggap melanggar konstitusi. Perbedaan tafsir ini menunjukkan bahwa UUD 1945 memberikan kerangka yang cukup luwes, di mana preferensi implisit terhadap sistem berbasis partai ada, tetapi implementasi spesifik sistem pemilu legislatif (proporsional terbuka vs tertutup, besaran daerah pemilihan, ambang batas parlementer, dsb.) dapat berubah mengikuti UU dan penafsiran konstitusional yang berkembang.

Pemilu Presiden dalam UUD 1945


Tidak seperti pemilu legislatif yang relatif lebih fleksibel, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur secara lebih tegas dalam UUD 1945 hasil perubahan. Perubahan ketiga UUD 1945 (tahun 2001) mencabut mekanisme lama (di mana Presiden dipilih oleh MPR) dan memperkenalkan sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Pasal 6A UUD 1945 mengatur tata cara pemilu presiden secara mendetail. Pasal 6A ayat (1) menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih sebagai satu pasangan secara langsung oleh rakyat8. Artinya, legitimasi presiden bersumber dari mandat rakyat pemilih, tidak lagi melalui perwakilan di MPR. Norma ini sekaligus menegaskan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial penuh pasca-reformasi, di mana eksekutif tertinggi dipilih secara terpisah dari legislatif.

Selanjutnya, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 memuat ketentuan bahwa pasangan calon presiden-wapres hanya dapat dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu9. Konstitusi tidak membuka jalur pencalonan independen untuk jabatan presiden, sehingga serupa dengan pemilu legislatif, partai politik juga menjadi satu-satunya kendaraan pencalonan di pemilu eksekutif nasional. Ketentuan ini mencerminkan konsistensi peran partai sebagai penyalur aspirasi politik dalam sistem demokrasi Indonesia. Bedanya, untuk pemilihan presiden hanya ada satu jabatan yang diperebutkan secara nasional, sehingga mekanisme kompetisinya berbeda dengan pemilu legislatif yang multi-kursi.

UUD 1945 secara eksplisit menetapkan model sistem mayoritas dengan dua putaran (majority run-off) untuk pemilu presiden. Pasal 6A ayat (3) menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh lebih dari 50% suara dari seluruh suara rakyat dalam pemilu, dengan syarat minimal meraih 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, akan langsung ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih10. Persyaratan konstitusional ini menuntut mayoritas absolut (lebih dari separuh suara nasional) sekaligus sebaran dukungan yang luas secara geografis. Dengan demikian, UUD 1945 mengandung preferensi kuat bahwa kepala eksekutif nasional harus memiliki legitimasi mayoritas dan representasi lintas-wilayah, guna menjamin kepemimpinan yang didukung secara nasional dan tidak hanya bertumpu pada kantong suara terbatas. Norma tersebut relevan mengingat kondisi sosial-politik Indonesia yang sangat majemuk secara kewilayahan; konstitusi ingin memastikan presiden terpilih adalah figur pemersatu dengan dukungan yang merata di Nusantara.

Apabila syarat kemenangan pada putaran pertama di atas tidak terpenuhi, Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 mengatur bahwa dilakukan pemilu putaran kedua. Dua pasangan calon dengan perolehan suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama berhak maju ke putaran kedua, dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak pada putaran kedua itulah yang akhirnya dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden11. Ketentuan ini secara jelas mengadopsi model two-round system (sistem dua putaran) dalam pemilu presiden. Dengan demikian, UUD 1945 mengarahkan format pemilihan presiden Indonesia serupa dengan sistem mayoritas absolut yang digunakan di Perancis dan beberapa negara lain, berbeda dari sistem plurality/first-past-the-post (satu putaran sederhana) maupun sistem parlementer. Konstitusi tidak memberi ruang bagi konsep “siapa suara terbanyak relatif, langsung menang” untuk pemilihan presiden – legitimasi Presiden harus mayoritas, bukan sekadar pluralitas. Hal ini pernah terbukti pada Pemilu Presiden 2004 dan 2009, di mana putaran kedua diperlukan karena tidak ada paslon yang memenuhi ambang konstitusional di putaran pertama.

Dapat disimpulkan bahwa terkait pemilu presiden, UUD 1945 bersifat sangat spesifik dan direktif. Praktis, parameter utama sistem pemilu (langsung, mayoritas >50% dengan distribusi tertentu, dua putaran bila perlu) sudah ditetapkan di level konstitusi, menyisakan detail teknis pelaksanaan untuk diatur UU (sesuai Pasal 6A ayat (5) UUD 1945). Ruang fleksibilitas pembuat undang-undang dalam hal ini lebih sempit dibanding pemilu legislatif. Misalnya, untuk mengubah sistem pemilu presiden menjadi satu putaran saja (pluralitas) atau menghapus syarat sebaran provinsi, diperlukan amendemen UUD 1945 terlebih dahulu, bukan cukup dengan revisi undang-undang biasa. Demikian pula, membuka peluang calon presiden independen tidak dimungkinkan tanpa perubahan Pasal 6A ayat (2). Jadi, konstitusi secara sengaja mengunci pemilu presiden pada model mayoritarian yang dianggap mampu menghasilkan kepala negara dengan mandat kuat dan luas.

Pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam UUD 1945


Lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan hasil inovasi konstitusional dalam perubahan UUD 1945, dimaksudkan untuk memperkuat representasi daerah dalam sistem ketatanegaraan yang tetap bercorak negara kesatuan. Norma-norma terkait DPD mengindikasikan penerapan sistem perwakilan non-partisan yang berbeda dengan DPR. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Berbeda dengan DPR yang jumlah kursinya ditentukan proporsional terhadap jumlah penduduk atau pemilih, Pasal 22C ayat (2) mengatur bahwa jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah sama (tanpa memandang besar kecilnya provinsi), dan bahwa total seluruh anggota DPD tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Ketentuan ini menghasilkan suatu bentuk perwakilan teritorial yang mirip konsep senate di beberapa negara federal: setiap daerah otonom (provinsi) diberikan suara yang setara di DPD, sehingga provinsi kecil memiliki representasi pusat yang seimbang dengan provinsi besar. Implementasi aturan ini melalui UU menetapkan 4 orang DPD dipilih di setiap provinsi. Akibat adanya batas maksimal 1/3 DPR, jumlah anggota DPD saat ini (136 orang untuk 34 provinsi) memang jauh lebih kecil dibanding DPR (575 orang), menegaskan peran DPD yang lebih terbatas.

Yang paling khas, UUD 1945 menegaskan sifat non-partisan DPD melalui Pasal 22E ayat (4), yaitu bahwa **peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan (calon individu)**. Artinya, berbeda dengan pemilu DPR/DPRD, partai politik tidak diperkenankan mengajukan calon dalam pemilu DPD. Setiap calon anggota DPD harus maju secara independen mewakili diri (dan kepentingan daerahnya), terlepas dari afiliasi partai. Norma ini menyiratkan preferensi konstitusional bahwa DPD dirancang sebagai forum representasi daerah yang bebas dari politik kepartaian secara formal. Rancang bangun tersebut lahir dari semangat untuk menghadirkan penyeimbang bagi DPR: jika DPR diisi politisi partai yang cenderung memperjuangkan platform ideologi dan konstituen partai, maka DPD diharapkan mengutamakan aspirasi kedaerahan secara non-partisan. Dalam praktik, aturan ini mewajibkan calon DPD tidak sedang menjadi pengurus partai politik dan mengumpulkan dukungan minimal dari pemilih di provinsinya (syarat dukungan KTP, dll., diatur dalam UU), tetapi tanpa pengusungan partai. Beberapa ahli bahkan menafsirkan bahwa secara konstitusional, seorang anggota partai harus menanggalkan keanggotaan partainya bila ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD, demi menjaga prinsip non-partisan tersebut. Irman Putra Sidin, pakar hukum tata negara, pernah menegaskan bahwa meskipun UUD 1945 tidak eksplisit melarang “orang partai” maju sebagai DPD, gabungan makna Pasal 22E ayat (3) dan (4) mengindikasikan anggota parpol seharusnya di ranah DPR, sedangkan DPD untuk perseorangan non-partai12. Pendapat ini sejalan dengan etos konstitusi bahwa DPD bukan perwakilan politik partisan, melainkan perwakilan daerah.

Dari sudut sistem pemilu, pengaturan di atas membawa kecenderungan pada sistem pemilu mayoritarian personal dalam pemilihan DPD. Karena peserta yang berlaga adalah individu-individu (bukan partai dengan daftar calon), metode pemilihan yang digunakan pada dasarnya adalah single non-transferable vote (SNTV) di daerah multi-kursi: para pemilih memberikan suara untuk satu calon DPD di provinsinya, lalu sejumlah calon (empat orang) dengan suara terbanyak ditetapkan sebagai anggota DPD. Sistem ini tidak berbasis proporsional, melainkan pluralitas (suara terbanyak) di masing-masing provinsi, meski tiap provinsi memiliki beberapa wakil. Konstitusi sendiri tidak menyebut secara tersurat metode penghitungan suara tersebut – detail demikian diserahkan ke undang-undang – namun pilihan desain yang tersedia terbatas oleh karakteristik yang digariskan UUD: karena tidak ada partai, tidak mungkin menggunakan formula proporsional berbasis partai; satu-satunya jalan adalah kompetisi individual top-n vote getters. Dengan demikian, dapat dikatakan UUD 1945 di satu sisi fleksibel (tidak mengatur mekanisme perolehan suara calon DPD), tetapi di sisi lain secara implisit mengarahkan bahwa pemilu DPD bersifat perorangan dan pluralitas. Hal ini konsisten dengan tujuan pembentukan DPD sebagai kamar kedua yang mewakili entitas wilayah secara setara dan personal.

Netralitas vs Arah Sistem: Sikap Konstitusi


Berdasarkan uraian per segmen di atas, tampak bahwa UUD 1945 pasca-amendemen mengatur kerangka pemilu dengan pendekatan campuran antara ketegasan dan keluwesan. Untuk jabatan Presiden, konstitusi bersikap tidak netral dan justru sangat spesifik: mengamanatkan model pemilu tertentu (langsung, mayoritas dua putaran) demi menjamin terpilihnya pemimpin nasional yang kuat legitimasi. Begitu pula, untuk DPD, UUD 1945 memberi arahan jelas bahwa jalur representasi daerah harus terpisah dari partai politik, menunjukkan preferensi normatif terhadap model non-partisan. Sementara itu, untuk pemilu legislatif DPR/DPRD, konstitusi memberikan batasan tegas bahwa partai politik adalah satu-satunya peserta, namun dalam batasan tersebut terdapat fleksibilitas mengenai sistem representasi yang dapat dipakai. Konstitusi cenderung netral atau agnostik terhadap pilihan sistem proporsional spesifik (tertutup vs terbuka, besar daerah pemilihan, metode konversi suara ke kursi, dan sebagainya) asalkan prinsip kedaulatan rakyat melalui partai dan asas-asas pemilu demokratis terpenuhi. Hal-hal teknis tersebut dianggap wilayah legislator (policy making) yang dapat disesuaikan dengan perkembangan politik, tanpa perlu mengubah UUD.

Kombinasi norma konstitusional ini mencerminkan kompromi antara kebutuhan stabilitas pemerintahan dan representasi keragaman masyarakat. Di satu pihak, syarat mayoritas nasional bagi presiden dimaksudkan untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat dan didukung luas, mengimbangi sistem multi-partai di parlemen yang mungkin terfragmentasi. Di pihak lain, sistem proporsional untuk DPR memungkinkan berbagai kelompok sosial-politik mendapatkan kursi sesuai proporsi dukungannya, sehingga mencegah dominasi tunggal dan mengakomodasi pluralitas suara rakyat. UUD 1945 dengan demikian menyediakan kerangka yang mendorong eksekutif kuat dan legitimatif (melalui pemilu presiden mayoritarian) sekaligus legislatif representatif (melalui pemilu proporsional multi-partai). Adapun DPD ditambahkan sebagai unsur penyeimbang yang membawa aspirasi kedaerahan secara langsung, dengan harapan memperkaya proses legislasi terutama terkait isu-isu daerah tanpa terikat disiplin partai.

Dari segi netralitas, UUD 1945 dapat dikatakan cukup netral dan terbuka dalam hal-hal yang tidak diaturnya secara eksplisit. Misalnya, konstitusi tidak mengatur ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dalam pemilu DPR – itu sepenuhnya kebijakan undang-undang untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Konstitusi juga tidak mengatur detail seperti apakah pemilu dilaksanakan serentak atau terpisah (isu yang kemudian diadres oleh MK melalui penafsiran sistemis, misalnya Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang mensinkronkan jadwal pemilu). Keluwesan ini memungkinkan penyesuaian institusional tanpa harus mengubah konstitusi berulang kali. Namun, di area prinsipil tertentu, UUD 1945 bukanlah netral melainkan mengandung preferensi jelas. Preferensi itu antara lain: peran utama partai politik dalam politik elektoral (baik pencalonan presiden maupun kontestasi legislatif), keharusan presiden terpilih memiliki dukungan mayoritas rakyat yang tersebar luas, dan konsep perwakilan daerah yang berbeda hakikat dari perwakilan politik umum.

Pada akhirnya, UUD 1945 sebagai hukum dasar memberikan bingkai konstitusional yang menjaga agar sistem pemilu apapun yang dipilih oleh pembuat undang-undang tetap berada dalam koridor demokrasi yang diinginkan bangsa. Ia mengunci aspek-aspek tertentu demi menjaga tujuan bernegara (misalnya persatuan dalam kemajemukan melalui syarat sebaran suara presiden, atau keterlibatan partai sebagai pilar demokrasi perwakilan), sekaligus membiarkan ruang gerak pada aspek lainnya untuk beradaptasi dengan dinamika kebutuhan zaman. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 bersifat tidak sepenuhnya netral karena di beberapa titik ia mengarahkan pada model sistem pemilu tertentu, tetapi pada saat yang sama ia menyediakan fleksibilitas internal sehingga sistem pemilu Indonesia dapat diperbaiki dan disempurnakan melalui legislasi dan penafsiran selama tetap sejalan dengan spirit konstitusi.

MEMINIMALISIR REPRESENTASI SEMU DALAM SISTEM PROPORSIONAL

Pendahuluan


Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka secara teoritis memberi kebebasan bagi pemilih untuk memilih calon legislatif individual, sehingga diharapkan menghasilkan wakil-wakil yang mencerminkan keragaman masyarakat. Namun, dalam praktik di banyak negara (termasuk Indonesia), mekanisme ini kerap menghasilkan “representasi semu” – yaitu keterwakilan politik yang secara prosedural demokratis tetapi tidak sungguh-sungguh mencerminkan kemajemukan identitas pemilih1. Pemilu memang berjalan langsung, umum, bebas, dan rahasia; namun komposisi anggota legislatif yang terpilih sering homogen secara gender, etnis, agama, maupun kelas sosial. Dengan kata lain, meski pemilih punya keleluasaan mencoblos calon pilihan, hasil akhirnya tetap didominasi kelompok mayoritas atau elite tertentu. Fenomena ini menandai defisit representasi deskriptif: parlemen gagal merefleksikan proporsi perempuan vs laki-laki, kelompok etnis dan agama minoritas, serta kalangan kelas sosial berbeda sesuai populasi.

Laporan ini akan mengkaji secara mendalam masalah representasi semu dalam sistem proporsional daftar terbuka. Pembahasan mencakup: (1) Analisis penyebab homogenisasi hasil dalam sistem daftar terbuka (misalnya dominasi modal, infrastruktur kampanye, bias pemilih, hingga desain daerah pemilihan); (2) Studi perbandingan negara-negara yang berhasil menciptakan hasil pemilu lebih representatif dari segi identitas dalam sistem proporsional terbuka; (3) Strategi desain sistem atau kebijakan afirmatif (seperti kuota, penempatan calon wajib dalam daftar, insentif elektoral) yang efektif meningkatkan keterwakilan berbagai identitas; serta (4) Rekomendasi teknis dan kebijakan khusus bagi Indonesia dengan mempertimbangkan tantangan sosial-hukum yang ada.

Penyebab Homogenisasi Hasil dalam Sistem Daftar Terbuka


Berbagai penelitian dan pengalaman empiris menunjukkan sejumlah faktor yang menyebabkan output sistem proporsional terbuka cenderung homogen dan kurang merepresentasikan keragaman identitas. Faktor-faktor kunci tersebut antara lain:

  • Dominasi Modal dan Biaya Kampanye Tinggi: Politik dengan daftar calon terbuka cenderung mahal dan menguntungkan kandidat bermodal besar. Karena pemilih memilih individu, setiap calon legislatif harus berkampanye personal secara intensif untuk meraih suara terbanyak, tidak bisa hanya mengandalkan popularitas partai. Akibatnya, ongkos kampanye melambung tinggi – mencakup biaya sosialisasi diri, iklan, tim sukses, hingga “uang terima kasih” untuk jaringan pemilih. Sebuah studi Westminster Foundation for Democracy pada Pemilu 2024 di Indonesia menemukan rata-rata biaya kampanye calon DPR mencapai Rp5 miliar (sekitar USD 315 ribu); bahkan beberapa kandidat menghabiskan Rp20–25 miliar demi mendongkrak popularitas pribadi2. Angka ini terpaut jauh dari pendapatan per kapita rakyat (Rp36 juta per tahun), sehingga praktis hanya orang berkekayaan atau berakses dana besar yang mampu bersaing3. Imbasnya, komposisi wakil rakyat didominasi kalangan elite ekonomi. Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan 61% anggota DPR RI 2019–2024 berlatar belakang pengusaha atau terkait bisnis4. Ini menandakan keberpihakan struktural sistem terbuka terhadap “politisi pebisnis”, sementara keterwakilan kelas pekerja, petani, atau kelompok ekonomi lemah terpinggirkan. Biaya politik yang mahal juga menciptakan barrier bagi perempuan dan kaum muda yang umumnya memiliki sumber daya finansial lebih terbatas5. Dominasi modal ini tak hanya menghomogenkan representasi dari sisi kelas sosial, tapi juga menghasilkan “oligarki elektoral” di mana para pemodal besar cenderung muncul sebagai pemenang kontestasi.
  • Infrastruktur Kampanye, Petahana, dan Dinasti Politik: Selain uang, akses terhadap jaringan politik dan infrastruktur kampanye (mesin partai, relawan, media) memberi keunggulan besar dalam sistem daftar terbuka. Kandidat petahana (incumbent) yang sudah menjabat atau mereka yang berasal dari dinasti politik cenderung lebih mudah terpilih kembali karena memiliki nama yang dikenal, basis konstituen yang loyal, dan jaringan struktur sampai ke akar rumput. Studi menunjukkan banyak kursi legislatif ditempati “orang-orang lama” – aktor yang itu-itu saja atau keluarganya – sehingga terjadi reproduksi elit secara turun-temurun6. Misalnya, investigasi pasca-Pemilu 2019 mengungkap 11–30% anggota DPR terafiliasi dinasti politik tergantung definisi7. Kehadiran politik kekerabatan ini mempersempit peluang masuknya wajah baru dari latar belakang berbeda. Infrastruktur kampanye partai pun acap tersentral pada figur populer tertentu; alokasi sumber daya partai (logistik, saksi, dll) biasanya diprioritaskan bagi caleg “unggulan” – yang seringkali datang dari kelompok mayoritas (misalnya laki-laki Jawa Muslim di konteks Indonesia). Kandidat dari kelompok minoritas atau non-establishment kalah dukungan sehingga sulit menandingi perolehan suara para favorit partai. Media massa turut memperkuat homogenisasi: figur publik (selebriti, tokoh tenar) dengan akses media lebih mudah terpilih ketimbang aktivis akar rumput. Dengan demikian, infrastruktur politik yang timpang membuat sistem terbuka cenderung menghasilkan wakil dari kalangan itu-itu saja, bukan representasi beragam.
  • Bias Pemilih dan Budaya Patriarki: Preferensi pemilih juga berperan dalam homogenisasi hasil. Bias sosio-kultural dapat menyebabkan pemilih secara tidak proporsional memilih calon dari kelompok dominan. Contohnya, di masyarakat yang patriarkis, pemilih cenderung lebih mempercayai kandidat laki-laki untuk jabatan publik dibanding perempuan. Stereotip gender (“pemimpin harus laki-laki”) masih kuat di banyak komunitas, sehingga caleg perempuan sering diabaikan kecuali ia sangat terkenal atau mendapat dukungan tokoh lokal. Akibatnya, meskipun secara hukum jumlah caleg perempuan cukup (berkat kuota 30% di Indonesia), suara yang mereka peroleh jauh lebih rendah rata-rata dibanding caleg laki-laki, sehingga sedikit sekali yang lolos. Selain gender, bias juga muncul terkait etnis dan agama: caleg dari etnis minoritas atau agama non-mayoritas bisa kalah suara jika pemilih lebih memilih “putra daerah” mayoritas. Misalnya, di daerah dengan sentimen kedaerahan kuat, kandidat yang dianggap “outsider” etnis atau suku kerap tidak dipilih. Prasangka dan preferensi identitas di bilik suara ini berarti walau sistem terbuka inklusif di atas kertas, hasil akhirnya dapat timpang. Selain itu, sebagian besar pemilih awam cenderung memilih nama yang sudah dikenali (popularitas effect). Hal ini menguntungkan figur-figur publik tertentu (yang umumnya datang dari kelompok mayoritas juga), sementara calon dari kelompok marginal yang kurang dikenal publik tersisih. Data Pemilu Indonesia sejak diberlakukannya daftar terbuka (2009) menunjukkan bahwa pemilih semakin berfokus pada individu daripada partai – pada 2019, sekitar 83% suara diberikan langsung ke caleg (hanya 17% ke partai)8. Namun, fokus pada individu ini tidak otomatis meningkatkan keragaman representasi, sebab yang paling dikenal/dipilih publik biasanya figur homogen (incumbent, tokoh mayoritas, dsb). Alhasil, bias pemilih turut melanggengkan komposisi parlemen yang kurang beragam.
  • Desain Daerah Pemilihan (Dapil) dan Magnitudo: Struktur dapil dalam sistem proporsional turut memengaruhi peluang keterwakilan kelompok berbeda. Magnitudo (jumlah kursi per dapil) yang kecil cenderung mengurangi probabilitas terpilihnya calon dari minoritas. Jika satu dapil hanya memiliki, misalnya, 3–5 kursi, maka tiap partai realistisnya hanya mendapatkan 1 kursi (atau 2 untuk partai besar). Dalam situasi itu, caleg yang terpilih biasanya hanya peraih suara terbanyak tunggal di partainya – seringkali sosok paling mapan atau populer (laki-laki, elit lokal). Caleg perempuan atau minoritas meski ada di nomor urut, bila suaranya kalah dari rekan separtainya, tidak akan mendapat kursi. Sebaliknya, dapil besar (10+ kursi) memberi peluang satu partai memenangkan multi-kursi, yang secara teori dapat membuka jalan bagi calon kedua atau ketiga dari kelompok berbeda. Namun, dapil besar juga meningkatkan skala kampanye (butuh dana lebih besar, area luas), sehingga lagi-lagi hanya kandidat berjejaring kuat yang unggul. Distribusi geografis etnis/agama pun penting: jika komunitas minoritas terpecah di banyak dapil, mereka sulit mengumpulkan suara untuk meloloskan wakil. Sebaliknya, bila terkonsentrasi di satu wilayah, sistem PR terbuka bisa mengakomodasi mereka melalui partai etnis atau caleg setempat. Di Indonesia, pembagian dapil belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek representasi identitas; beberapa provinsi dipecah sehingga kelompok minoritas tersebar dan tidak dominan di satu dapil pun. Fakta empiris Pemilu 2019: Masih terdapat 16 dapil DPR RI (19% dari total) yang tidak meloloskan satupun legislator perempuan9, menunjukkan kombinasi faktor budaya lokal dan konfigurasi dapil bisa mengakibatkan absennya keterwakilan gender di daerah tertentu. Desain dapil juga memengaruhi strategi pencalonan partai: aturan internal kuota 30% perempuan Indonesia memang mewajibkan setiap 3 nama caleg mengandung minimal 1 perempuan, tetapi partai kerap menempatkan perempuan di nomor urut “tidak aman” (misal nomor 3 atau 6). Data menunjukkan 67% caleg perempuan ditempatkan di nomor 3, sedangkan yang ditempatkan di nomor urut 1 hanya 19%10. Akibatnya, di dapil-dapil di mana partai hanya mendapat 1 kursi, perempuan di nomor 3 nyaris mustahil terpilih. Walau nomor urut seharusnya kurang relevan di sistem terbuka, kenyataannya nomor urut 1 tetap memberi keunggulan sosialisasi – sering kali nomor 1 dijadikan “wajah” partai di daerah tersebut. Dengan demikian, desain dan alokasi dapil yang kurang sensitif terhadap persebaran minoritas serta praktik penempatan caleg dalam daftar dapat berkontribusi pada homogenisasi hasil pemilu.

Faktor-faktor di atas saling berkelindan menciptakan output pemilu proporsional terbuka yang kurang beragam. Dominasi modal dan jaringan membuat hanya kalangan tertentu yang berhasil; bias kultural pemilih mempersempit peluang kelompok under-represented; sementara aturan main dapil dan tata cara pencalonan partai bisa tanpa sengaja mengecilkan kemungkinan keterpilihan calon dari kelompok identitas berbeda. Alhasil, meski sistem terbuka dianggap lebih demokratis, kita menyaksikan adanya kesenjangan representasi: parlemen hasil pemilu tak se-majemuk komposisi penduduk. Inilah esensi “representasi semu” dalam konteks ini – terbuka secara prosedur, tetapi tertutup secara hasil bagi banyak identitas.

Studi Perbandingan: Negara dengan Hasil Representatif dalam Sistem Terbuka


Meskipun tantangan di atas lazim, beberapa negara berhasil mengurangi efek homogenisasi dan mencapai keterwakilan lebih inklusif meski menggunakan sistem proporsional (semi) terbuka. Berikut beberapa contoh dan pelajaran yang dapat dipetik:

  • Finlandia: Finlandia dikenal menggunakan sistem proporsional terbuka (voters memberi suara pada kandidat dalam daftar partai). Secara historis, Finlandia merupakan pelopor partisipasi politik perempuan (hak pilih sejak 1906) dan memiliki budaya egaliter kuat. Hasilnya, representasi gender sangat maju – saat ini 45,5% anggota parlemen Finlandia adalah perempuan11, salah satu yang tertinggi di dunia. Tanpa kuota gender legislasi, partai-partai Finlandia secara sukarela menerapkan keseimbangan pencalonan dan pemilih tidak segan memilih calon perempuan. Norma sosial yang mendukung kesetaraan berperan besar: survei menunjukkan pemilih Finlandia (termasuk pria) tidak keberatan dengan pemimpin perempuan, bahkan cenderung memilih berdasarkan isu ketimbang gender calon. Selain itu, sistem multipartai mapan dengan basis ideologi (misal partai Hijau, Sosial Demokrat, dll) mendorong keragaman wakil terkait platform, termasuk keterwakilan kelompok muda, minoritas Swedia-Finlandia, hingga perwakilan kelas pekerja melalui partai buruh. Finlandia menunjukkan bahwa budaya politik inklusif dan komitmen partai dapat membuat sistem daftar terbuka menghasilkan parlemen yang relatif representatif secara gender dan kelompok sosial, walau tanpa regulasi afirmatif ketat.
  • Belgia: Belgia menerapkan sistem proporsional semi-terbuka – pemilih dapat memberikan suara preferensi pada kandidat dalam daftar partai (daftar partai awal ditentukan, tapi preferensi populer bisa mengubah urutan). Belgia berhasil mencapai keterwakilan perempuan sekitar 41% di majelis rendah12 berkat kombinasi kuota legislasi dan penempatan wajib. Sejak 2002, Belgia memiliki gender quota law yang mewajibkan minimal 50% calon dari tiap partai adalah perempuan, dan aturan “zipper system”: daftar calon harus disusun selang-seling pria-wanita. Dengan demikian, setiap partai menempatkan perempuan di posisi teratas sekitar separuh dapil. Meskipun pemilih bebas menentukan preferensi, hasil akhirnya mendekati keseimbangan gender karena perempuan mendapat eksposur setara dan banyak yang terpilih berkat dukungan preferensi atau tetap lolos via daftar partai. Keberhasilan Belgia menegaskan bahwa kebijakan afirmatif yang kuat (kuota + zipper) dapat bekerja efektif dalam kerangka sistem terbuka, menghasilkan parlemen yang lebih beragam. Selain gender, Belgia juga mengelola representasi komunitas linguistik (Flemish dan Wallonia) melalui pembagian dapil berdasar wilayah bahasa, sehingga kedua kelompok etno-linguistik terwakili proporsional. Ini contoh penataan sistemik agar identitas kultural utama tercermin di parlemen.
  • Swiss (Swiss Confederation): Swiss menggunakan sistem proporsional terbuka untuk majelis rendah (Nationalrat) dengan dapil per kanton. Menariknya, Swiss tanpa kuota gender mampu mencapai lompatan representasi perempuan secara signifikan baru-baru ini. Pada Pemilu 2019, dipicu gerakan kesetaraan (Women’s strike 2019) dan kesadaran pemilih, jumlah anggota parlemen perempuan naik drastis menjadi 42% dari total 200 kursi13. Ini merupakan rekor tertinggi Swiss, yang sebelumnya ~32%. Faktor pendorong sukses Swiss: keterbukaan sistem multi-partai yang memungkinkan partai progresif (misal Partai Hijau) mengusung banyak perempuan dan menang, tekanan masyarakat sipil agar partai besar mencalonkan perempuan lebih banyak, serta preferensi pemilih yang berubah – survei mendapati pemilih (terutama perempuan) secara sengaja mencoblos kandidat wanita untuk meningkatkan kesetaraan14. Selain itu, beberapa partai Swiss menerapkan kuota sukarela internal (misal Partai Sosial Demokrat menetapkan 40% kandidat perempuannya)15. Swiss juga dikenal menjaga representasi etnis/bahasa melalui sistem federal: parlemen terdiri dari wakil-wakil dari 26 kanton dengan empat komunitas bahasa, sehingga minoritas seperti penutur Prancis dan Italia mendapat kursi sesuai proporsinya. Pelajaran dari Swiss: perubahan sosial dan komitmen partai dapat selaras dengan mekanisme daftar terbuka untuk mendorong hasil lebih inklusif, bahkan tanpa mandat hukum formal. Namun, Swiss juga menunjukkan pentingnya upaya berkelanjutan – misalnya, seruan agar negara menerapkan kuota legislasi demi mencapai paritas 50% masih bergema16.
  • Irak: Irak merupakan contoh negara yang menerapkan sistem proporsional terbuka pasca konflik, tetapi disertaikuota afirmatif tegas untuk memastikan keterwakilan identitas. Konstitusi Irak 2005 menetapkan kuota minimal 25% kursi parlemen untuk perempuan. Pada praktiknya, setiap partai/daftar wajib mencantumkan calon perempuan di setiap tiga nama (mirip aturan Indonesia)17, dan setelah pemilu, alokasi kursi di tiap provinsi disesuaikan agar jatah 25% perempuan terpenuhi (dengan menaikkan perempuan peraih suara tertinggi berikutnya jika perlu). Hasilnya, parlemen Irak 2021 berisi 28,9% perempuan18 – suatu peningkatan drastis dibanding era sebelum kuota (hampir nol perempuan di 1990-an). Capaian ini menempatkan Irak kedua tertinggi di dunia Arab untuk representasi perempuan, hanya di bawah Uni Emirat Arab (yang anggota dewan perwakilannya 50% perempuan via penunjukan)19. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa kuota gender konstitusional efektif mendorong representasi lebih seimbang meski dalam sistem terbuka dan kultur tradisional. Selain gender, Irak juga memiliki mekanisme representasi komunitas etnoreligius minoritas: sejumlah kursi parlemen dicadangkan untuk kelompok seperti Kristen, Yazidi, Shabak, dll. Meski jumlahnya kecil, reserved seats tersebut menjamin ada suara minoritas di legislatif. Dari kasus Irak, terlihat bahwa perpaduan sistem terbuka dengan hard quota (kuota wajib) dapat menghasilkan parlemen yang lebih mencerminkan keragaman demografis negara, asalkan ada kemauan politik menerapkannya.
  • Negara Lain: Sejumlah negara proporsional terbuka lain patut dicatat. Polandia misalnya, menerapkan kuota 35% calon perempuan sejak 2011 tanpa penempatan khusus; hasilnya proporsi perempuan di parlemen perlahan naik dari ~20% menjadi 28% (2019). Brasil menggunakan daftar terbuka dengan kuota 30% caleg perempuan sejak 1997, ditambah alokasi dana kampanye publik yang harus proporsional gender dan etnis; walau implementasinya lambat, Pemilu 2018 menunjukkan kenaikan jumlah perempuan (15% jadi 18%) dan representasi kulit hitam di Kongres berkat insentif pendanaan bagi kandidat kulit hitam. Slovenia dan Serbia (OLPR) mewajibkan kuota perempuan plus posisi minimal di setengah atas daftar, sehingga mencapai ~36% dan ~39% perempuan di parlemen masing-masing dalam beberapa pemilu terakhir. Sementara itu, Nepal mengombinasikan proporsional terbuka dengan kursi cadangan: Inclusive outcome was achieved in its Constituent Assembly (33% perempuan, representasi suku/kelompok terendah signifikan) melalui kombinasi kursi PR tertutup berkuota dan kursi distrik terbuka. Secara umum, tren global menunjukkan negara dengan PR (terbuka maupun tertutup) + kebijakan kuota cenderung memiliki persentase wakil perempuan dan minoritas lebih tinggi dibanding sistem mayoritarian20. Namun, di banyak kasus, sistem daftar tertutup lebih mudah mencapai target diversitas karena partai bisa langsung menempatkan kandidat dari kelompok terpinggir di nomor jadi. Negara Nordik seperti Swedia dan Norwegia (proporsional tertutup, kuota sukarela) misalnya telah lama mencapai >40% perempuan di parlemen. Walaupun demikian, contoh-contoh di atas membuktikan bahwa proporsional terbuka bukan halangan absolut untuk representasi majemuk – dengan desain regulasi dan kultur politik yang tepat, keterwakilan identitas dapat ditingkatkan.

Strategi Desain Sistem dan Kebijakan Afirmatif untuk Meningkatkan Keterwakilan


Berdasarkan analisis penyebab dan praktik perbandingan, terdapat beragam strategi yang dapat ditempuh untuk membuat hasil pemilu proporsional (terutama yang berformat daftar terbuka) lebih representatif secara identitas. Strategi-strategi ini meliputi reformasi teknis sistem pemilu maupun kebijakan afirmatif pendukung:

  • Penerapan Kuota Kandidat yang Ketat: Kuota legislatif merupakan langkah afirmasi paling umum untuk meningkatkan representasi perempuan atau kelompok marginal. Kebijakan ini mewajibkan partai mencalonkan persentase minimum (misal 30% atau 50%) kandidat dari kelompok sasaran. Indonesia sendiri sudah menerapkan kuota 30% caleg perempuan sejak 2004. Namun, untuk efektivitas, kuota harus disertai sanksi tegas (seperti penolakan daftar calon jika kuota tak terpenuhi, yang Indonesia lakukan) dan perluasan cakupan. Selain gender, kuota bisa dipertimbangkan bagi identitas lain: misal kuota etnis minoritas (mengharuskan partai mencalonkan sejumlah calon dari kelompok etnik tertentu di daerah di mana kelompok itu signifikan), atau kuota agama/kelompok adat jika relevan secara nasional. Kuota untuk kaum muda (di bawah 30-35 tahun) juga mulai diadopsi di beberapa negara untuk menyegarkan parlemen. Meski kuota identitas non-gender lebih kompleks (memerlukan definisi jelas kelompok sasaran dan basis data demografis), beberapa negara menerapkannya melalui pendekatan partai (voluntary party quotas bagi minoritas). Intinya, tanpa intervensi kuota, kelompok under-represented cenderung terus tersisih, sehingga kuota merupakan “jalan pintas” yang terbukti berhasil memperbaiki komposisi legislatif di puluhan negara21.
  • Penempatan Wajib dalam Daftar (Zipper System): Untuk sistem proporsional terbuka, kuota saja tidak cukup – diperlukan aturan penempatan calon agar calon dari kelompok terpinggir ditempatkan di posisi yang berpeluang terpilih. Zipper system yakni penyusunan daftar secara selang-seling (contoh: pria-wanita-pria-wanita, dan seterusnya) terbukti efektif di banyak negara (Belgia, Slovenia, Meksiko, dll). Dengan zipper, setiap dapil otomatis menominasikan 50% kandidat perempuan di nomor urut atas, sehingga meningkatkan eksposur dan potensi terpilih. Dalam konteks terbuka seperti Indonesia, di mana nomor urut tidak menentukan langsung kursi, penempatan di nomor urut 1 tetap krusial untuk menarik suara. Oleh sebab itu, strategi khusus bisa berupa mewajibkan setiap partai menempatkan calon perempuan sebagai nomor urut 1 di persentase tertentu dapil. Sebuah studi menunjukkan di Indonesia porsi perempuan di nomor urut 1 dapil masih sangat rendah (hanya 19%) dan dominan justru di nomor 3 (67%)22, yang berkontribusi pada rendahnya keterpilihan. Intervensi kebijakan dapat berupa: setiap partai wajib menempatkan perempuan sebagai caleg nomor urut 1 di minimal 30% dapil yang diikutinya. Aturan ini akan memaksa partai mengedepankan kader perempuan terbaiknya di daerah-daerah potensial. Selain gender, prinsip penempatan wajib bisa diperluas: misal mewajibkan pencalonan wakil kelompok minoritas tertentu di dapil dengan populasi heterogen (contoh: partai harus menominasikan perwakilan komunitas lokal non-dominan minimal di salah satu dari tiga posisi teratas daftar). Desain penempatan kandidat yang sensitif identitas memastikan bahwa caleg-caleg dari kelompok sasaran tidak sekadar menjadi “pelengkap daftar”, tapi benar-benar bersaing di barisan terdepan untuk kursi legislatif.
  • Kursi Cadangan dan Mekanisme “Best Loser”: Selain lewat daftar calon, mekanisme alokasi kursi pasca pemilu bisa dirancang mendukung keterwakilan identitas. Salah satu caranya adalah sistem reserved seats (kursi cadangan) bagi kelompok tertentu. Misalnya, menetapkan sejumlah kursi parlemen khusus perempuan atau per grup minoritas, terlepas dari hasil pemilu umum. Negara seperti Pakistan dan beberapa negara Arab menggunakan formula: setelah alokasi kursi biasa, tambahan seats dialokasikan ke perempuan hingga persentase tertentu tercapai, dengan mengambil kandidat perempuan peraih suara tertinggi berikutnya dari tiap partai. Mekanisme “best loser” semacam ini dapat diadopsi dalam sistem terbuka: contohnya, jika dalam hasil awal pemilu jumlah legislator perempuan belum mencapai ambang (misal 30%), maka diberikan kursi tambahan kepada caleg-caleg perempuan non-terpilih dengan perolehan suara tertinggi secara nasional hingga ambang 30% terpenuhi. Pendekatan ini menjamin target keterwakilan tanpa mengganggu hasil utama secara drastis (karena hanya menambah, bukan mengganti yang terpilih). Demikian pula untuk keterwakilan etnis/agama: bisa dipertimbangkan jatah kursi tertentu untuk perwakilan komunitas (contoh: di Indonesia, kursi tambahan untuk perwakilan Orang Asli Papua, komunitas Tionghoa, dll apabila mereka tidak terpilih melalui mekanisme biasa). Memang, reserved seats harus dirumuskan hati-hati agar tidak menimbulkan kontroversi (misal harus proporsional dengan jumlah populasi kelompok tersebut dan diisi melalui proses yang transparan). Meski demikian, di masyarakat majemuk, kursi cadangan adalah salah satu cara paling langsung memastikan hadirnya unsur minoritas dalam lembaga legislatif – terbukti efektif, contohnya di Selandia Baru (kursi khusus suku Maori), Tunisia pasca-revolusi (kursi diaspora dan minoritas agama), serta India di tingkat lokal (reservasi kursi kepala desa bagi kasta terendah dan perempuan secara bergilir). Untuk sistem nasional, formula reserved seats bisa diintegrasikan dalam konstitusi atau UU pemilu sebagai komponen khusus.
  • Insentif Elektoral dan Reformasi Pendanaan: Strategi lain adalah memberikan insentif atau disinsentif finansial kepada partai politik terkait performa representasi. Beberapa negara Eropa menerapkan sanksi pendanaan: di Prancis, partai yang gagal mencalonkan 50% perempuan dikenai pengurangan bantuan keuangan negara hingga 150% perbedaan proporsi. Hasilnya, partai terdorong memperbanyak perempuan agar tidak rugi finansial. Indonesia juga dapat mengadopsi kebijakan serupa: misalnya, besar bantuan dana partai dari APBN diperhitungkan berdasarkan proporsi kursi perempuan yang dimiliki – partai dengan lebih banyak legislator perempuan mendapat bonus dana, sedangkan yang paling rendah bisa didenda (dikurangi hak dana). Insentif ini memberi dorongan ekonomi bagi partai untuk serius mendorong kader perempuan/minoritas maju dan menang. Selain itu, regulasi biaya kampanye perlu direformasi untuk menciptakan level playing field antar calon. Batas sumbangan dan belanja kampanye yang rendah dan diawasi ketat akan mengurangi keunggulan kandidat bermodal besar, memberi kesempatan lebih adil bagi calon dari berbagai latar belakang. Pendanaan publik kampanye juga bisa didesain afirmatif: misal, menyediakan grant khusus bagi kandidat perempuan atau muda untuk kegiatan kampanye, atau mewajibkan partai mengalokasikan persentase tertentu dana kampanyenya bagi caleg perempuan (kebijakan serupa sudah diterapkan di Brasil). Dengan menurunkan hambatan finansial dan memberikan insentif, pool kandidat yang bisa berkompetisi akan lebih beragam. Tak kalah penting, penegakan hukum terhadap politik uang harus diperkuat – praktik vote-buying kerap lebih sulit dilakukan oleh kandidat dari kelompok minoritas (karena sumber daya terbatas), sementara kandidat kaya bisa memanfaatkannya untuk menang. Penindakan tegas akan mencegah kursi jatuh ke “pembeli suara” dan membuka peluang bagi mereka yang menang secara bersih (termasuk dari kelompok yang selama ini kalah modal).
  • Pendidikan Pemilih dan Kaderisasi Inklusif: Upaya jangka panjang yang tak kalah penting adalah mengubah paradigma pemilih serta meningkatkan suplai calon berkualitas dari berbagai identitas. Program pendidikan pemilih harus digalakkan, menekankan pentingnya memilih wakil rakyat yang berkomitmen memperjuangkan seluruh kelompok masyarakat. Kampanye publik seperti “Pilih Perempuan!” yang diluncurkan menjelang Pemilu 2024 oleh berbagai LSM dan Kementerian PPPA adalah contoh baik – bertujuan mendorong konstituen memberikan suara kepada kandidat perempuan yang kompeten23. Demikian pula, narasi anti-stereotip perlu disebarkan: misalnya, menampilkan kesuksesan perempuan atau pemimpin muda/daerah minoritas dalam politik untuk mengikis bias. Sisi suplai, partai politik perlu mereformasi proses rekrutmen dan kaderisasi agar lebih inklusif. Langkah konkrit: membentuk sayap organisasi perempuan, pemuda, dan minoritas yang kuat di internal partai, lalu memberikan mereka akses maju sebagai calon. Partai juga bisa memberlakukan target internal: misal menargetkan kemenangan sekian kursi perempuan, lalu memusatkan sumber daya ke dapil-dapil dimana perempuan dicalonkan nomor atas. Menyediakan pelatihan kepemimpinan dan kampanye khusus bagi caleg perempuan/kelompok rentan akan meningkatkan daya saing mereka. Dengan kata lain, ikhtiar representasi harus dimulai sejak hulu: mendorong sebanyak mungkin tokoh potensial dari komunitas beragam untuk bergabung partai dan dimajukan dalam pemilu. Jika basis calonnya sudah inklusif dan publik siap menerima, sistem terbuka pun akan melahirkan legislatif yang lebih majemuk.

Rekomendasi untuk Indonesia


Berdasarkan pemetaan masalah dan opsi solusi di atas, berikut rekomendasi teknis dan kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan representasi identitas dalam sistem pemilu proporsional terbuka Indonesia. Rekomendasi ini disesuaikan dengan kondisi sosial (struktur masyarakat, budaya politik) dan tantangan hukum di Indonesia saat ini:

  1. Memperkuat Regulasi Kuota dan Penempatan Calon: Indonesia perlu mempertahankan dan memperkuat kebijakan kuota 30% perempuan dalam pencalonan. Pertama, revisi UU Pemilu sebaiknya memasukkan mandat penempatan: misalnya, mewajibkan setiap partai politik menempatkan calon perempuan pada nomor urut 1 di sekurang-kurangnya 30% dapil yang diikutinya. Ini untuk mencegah praktik partai menumpuk perempuan di nomor buncit daftar. Data empiris menunjukkan perempuan Indonesia kerap ditempatkan di nomor tidak strategis (#3, #6) sehingga peluang terpilihnya rendah24. Dengan kehadiran perempuan di posisi puncak daftar di lebih banyak dapil, visibilitas mereka meningkat dan potensi keterpilihannya membesar. Kedua, Indonesia dapat mengkaji penerapan kuota untuk kelompok lain dalam batas konstitusional. Misalnya, kuota calon legislatif muda (di bawah 35 tahun minimal 20% dari daftar) untuk mendorong regenerasi dan keterwakilan generasi milenial. Atau, mewajibkan partai menyertakan perwakilan kelompok disabilitas dalam daftar caleg nasional mereka (beberapa negara seperti Thailand memiliki kuota informal untuk disabilitas di senat). Penerapan kuota etnis/agama secara langsung kemungkinan terkendala prinsip kesetaraan dan sensitivitas SARA di Indonesia, namun partai bisa didorong secara moral untuk merekrut caleg dari komunitas lokal beragam di tiap daerah (misal mendorong partai mencalonkan putra asli Papua, figur Tionghoa di wilayah dengan populasi Tionghoa signifikan, tokoh non-Muslim di dapil mayoritas non-Muslim, dll). Hal ini dapat dimonitor oleh Bawaslu atau melalui publikasi perbandinganketerwakilan calon lintas identitas per partai, sehingga ada kompetisi reputasi untuk tampil inklusif.
  2. Mempertimbangkan Mekanisme Afirmatif dalam Alokasi Kursi: Mengingat proporsi perempuan di parlemen nasional Indonesia stagnan ~20% sejak satu dekade terakhir25, terobosan dapat dipertimbangkan melalui mekanisme alokasi kursi. Salah satu opsi wacana: menerapkan kursi tambahan 30% perempuan di DPR jika hasil pemilu reguler tidak mencapai angka tersebut. Mekanismenya, setelah penghitungan kursi biasa, dilakukan perhitungan berapa jumlah perempuan terpilih dan jumlah tambahan yang dibutuhkan untuk mencapai 30%. Tambahan kursi dialokasikan kepada perempuan-perempuan dengan suara tertinggi berikutnya (dalam partai yang sudah memperoleh kursi). Opsi lain, lebih sederhana, adalah mengembalikan sebagian unsur sistem proporsional tertutup secara terbatas: misalnya, jika partai A memperoleh 5 kursi di suatu provinsi tetapi tidak ada satupun perempuan di antara pemenangnya (semua caleg laki-laki yang suaranya tertinggi), maka satu kursi terakhir partai A tersebut dialihkan kepada caleg perempuan dari partai A dengan suara tertinggi di dapil itu. Ini semacam best loser khusus gender di tingkat dapil. Kebijakan ini tentu memerlukan dasar hukum kuat dan komunikasi publik bahwa ia bukan diskriminasi terbalik, melainkan koreksi atas distorsi bias. Namun, dengan landasan konstitusional kesetaraan gender dan mandat UU untuk afirmasi 30% (UU Pemilu No.7/2017 mengamanatkan peningkatan partisipasi politik perempuan), langkah semacam ini bisa dibenarkan sebagai aksi corrective measure sementara hingga tercapai level playing field. Untuk jangka panjang, ketika representasi sudah mendekati seimbang, mekanisme tambahan ini bisa dievaluasi ulang.
  3. Reformasi Pendanaan Politik untuk Mengurangi Dominasi Modal: Seperti diuraikan sebelumnya, biaya politik tinggi adalah musuh utama keragaman representasi26. Maka, Indonesia perlu mereformasi sistem pendanaan kampanye dan partai. Pertama, memperketat batas maksimal sumbangan dan pengeluaran kampanye serta benar-benar menegakkan auditnya. Batas yang lebih rendah dan penegakan ketat akan memaksa calon bersaing mengandalkan program, bukan finansial. Kedua, meningkatkan bantuan dana politik dari negara kepada partai, tetapi dengan syarat akuntabilitas dan inklusivitas (misal, partai harus menunjukkan program kaderisasi perempuan/minoritas untuk mendapat porsi penuh bantuan). Peningkatan dana publik dapat mengurangi ketergantungan partai pada donor besar yang sering mensponsori calon “titipan” oligarki. Ketiga, alokasi dana kampanye internal yang adil: KPU/Bawaslu bisa mengatur agar partai menyediakan alokasi anggaran kampanye minimal (misal 30%) untuk caleg perempuan yang dicalonkan, sehingga mereka tidak kalah start dalam sosialisasi. Keempat, melarang tegas praktik mahar politik dalam pencalonan – biaya tersembunyi ini memberatkan calon dari kelompok kurang mampu. Sanksi tegas bagi partai yang ketahuan memungut mahar pencalonan akan membuka akses lebih luas bagi caleg berlatar belakang sederhana tetapi berintegritas. Melalui langkah-langkah ini, diharapkan hambatan ekonomi yang membuat parlemen didominasi pebisnis dapat diatasi, sehingga orang-orang dari kelas sosial menengah-bawah pun punya peluang wajar untuk terpilih (tentunya dengan dukungan suara pemilih). Perlu diingat, DPR sebagai penampung aspirasi seharusnya berisi representasi lintas kelas – bukan hanya konglomerat atau keluarga politik. Reformasi pendanaan adalah kunci memecah “lingkaran setan” biaya mahal-elit berkuasa yang disebut ICW27.
  4. Penataan Daerah Pemilihan yang Sensitif Representasi: Peninjauan ulang desain dapil bisa menjadi kebijakan jangka menengah. Prinsipnya, dapil sebaiknya diatur sedemikian rupa agar komunitas minoritas memiliki peluang mendapatkan kursi dan partai berpeluang memenangkan lebih dari 1 kursi per dapil (agar calon nomor urut berikutnya – yang mungkin dari kelompok berbeda – bisa terpilih). Saat ini, banyak dapil DPR berukuran kecil (3-8 kursi) yang cenderung menghasilkan 1 kursi per partai. Mungkin dapat dipertimbangkan penggabungan dapil kecil menjadi dapil yang lebih besar (tanpa mengubah total kursi per provinsi) untuk meningkatkan magnitudo. Misal, bila dua dapil berdampingan masing-masing 3 kursi digabung jadi 6 kursi, partai besar bisa dapat 2 kursi, membuka peluang keterwakilan ganda (termasuk dari sisi gender). Selain itu, aspek kohesi komunitas patut diperhatikan: hindari memecah komunitas adat/etnis yang signifikan ke dalam dapil berbeda sehingga suara mereka terfragmentasi. Justru, jika memungkinkan, garis dapil sebaiknya mengikuti pola sebaran penduduk: contoh, wilayah dengan populasi suku atau agama minoritas tinggi dikelompokkan sedemikian rupa sehingga mereka bisa mempengaruhi pemilihan setempat. Memang, Indonesia tidak mengakui pengelompokan berbasis SARA secara eksplisit, namun faktor kultural dapat selaras dengan faktor geografis. Sebagai ilustrasi, dapil DPR di Provinsi Papua dan Papua Barat saat ini sudah pada tingkat provinsi (semua kursi di satu dapil), hal ini relatif baik karena memastikan perwakilan menyeluruh suku-suku di provinsi tersebut diakomodasi melalui berbagai partai. Penataan dapil juga harus transparan dan non-partisan, dengan melibatkan ahli demografi dan perwakilan daerah untuk memastikan tidak ada kelompok yang terpinggirkan akibat delineasi wilayah.
  5. Peningkatan Peran Lembaga Pengawas dan Penegak Aturan Afirmatif: Indonesia telah memiliki regulasi afirmatif (kuota caleg perempuan), tetapi implementasinya perlu terus diawasi dan dievaluasi. Bawaslu, KPU, dan DKPP harus proaktif memastikan partai memenuhi ketentuan inklusivitas sejak tahap pencalonan. Verifikasi dokumen calon bisa mencakup misalnya pemeriksaan latar belakang keanekaragaman calon (untuk data, bukan syarat). Selain itu, pengumpulan dan publikasi data mengenai keterwakilan (berapa persen caleg perempuan di tiap partai, berapa terpilih, distribusi usia, dll) perlu rutin dilakukan – misalnya setelah pemilu, KPU dapat merilis “Indeks Representasi” yang mengukur seberapa dekat profil DPR terpilih dengan profil demografi penduduk. Indeks ini akan memberikan basis ilmiah apakah kebijakan afirmasi perlu diperkuat. Dari sisi hukum, bila diperlukan, judicial review bisa diajukan untuk mengklarifikasi dukungan konstitusional terhadap langkah-langkah afirmatif. Mahkamah Konstitusi RI sebelumnya telah menegaskan kesetaraan gender sebagai agenda konstitusional dan mengizinkan tindakan khusus sementara (temporary special measures) demi mencapainya. Ini memberi payung hukum bahwa rekomendasi seperti penempatan wajib atau kursi cadangan gender tidak melanggar asas pemilu, melainkan memperkaya demokrasi substansial.
  6. Pendekatan Sosial: Mengikis Bias dan Membangun Koalisi Sipil: Terakhir namun fundamental, upaya kebijakan harus diiringi perubahan sosial. Pemerintah dan civil society perlu intens mengedukasi publik bahwa parlemen yang beragam itu lebih adil dan efektif. Keterwakilan perempuan, misalnya, terbukti korelatif dengan keluarnya kebijakan lebih pro-keluarga, kesejahteraan, dan anti-kekerasan28– sehingga memilih perempuan bukan semata isu identitas, tapi juga kualitas kebijakan. Demikian pula representasi berbagai suku/agama akan memperkuat rasa inklusi nasional dan mencegah disintegrasi. Pesan-pesan ini harus disebar agar pemilih menilai calon tidak lagi dengan bias kuno. Organisasi masyarakat sipil, media, akademisi, bisa membangun koalisi untuk mendukung calon-calon dari kelompok terpinggir (misal gerakan “Vote for Women”, “100% Orang Asli” di Papua, dll). Tekanan publik inilah yang di negara-negara lain (Swiss, misalnya) berhasil mendorong partai melakukan perubahan nyata29.

Sebagai penutup rekomendasi, Indonesia dihadapkan pada pilihan penting dalam desain sistem pemilu. Perdebatan antara daftar terbuka vs tertutup sempat mengemuka menjelang Pemilu 2024, dengan argumentasi bahwa sistem tertutup memungkinkan partai mengatur komposisi caleg terpilih agar lebih representatif. Namun, beralih ke tertutup bukanlah jaminan otomatis bagi keberagaman tanpa komitmen partai; justru ia berisiko mengurangi akuntabilitas langsung wakil pada pemilih. Oleh karena itu, solusi terbaik barangkali bukan mengubah fundamental sistem, tetapi menyempurnakan sistem terbuka yang ada dengan inovasi-inovasi afirmatif di atas. Dukungan regulasi, reformasi pendanaan, penataan dapil, dan perubahan kultur politik harus dilakukan secara terpadu. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan “representasi semu” dapat dikoreksi menjadi representasi sejati – yakni DPR/DPRD yang komposisinya mencerminkan mosaik Indonesia: laki-laki dan perempuan setara, berbagai etnis, agama, dan kelas sosial bersuara, sehingga demokrasi prosedural kita bermuara pada demokrasi substansial yang inklusif.

Catatan: Upaya meningkatkan keterwakilan identitas harus tetap memperhatikan konstitusi dan prinsip NKRI (misalnya menghindari polarisasi SARA). Kebijakan afirmatif sebaiknya dikomunikasikan sebagai langkah untuk memperkuat persatuan dalam keberagaman, bukan memecah belah. Dengan kehendak politik yang kuat dan partisipasi publik, representasi politik Indonesia dapat menjadi lebih berwarna dan benar-benar “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat” dalam keragaman maknanya.

MENGUATKAN AKUNTABILITAS ANGGOTA DAN KONSTITUEN DALAM SISTEM PROPORSIONAL

Pendahuluan


Sistem pemilihan proporsional (PR) dikenal mampu menghasilkan representasi politik yang lebih adil secara agregat, karena proporsi kursi sebanding dengan proporsi suara yang diperoleh partai1. Namun, sistem PR sering dikritik karena lemahnya akuntabilitas individu anggota parlemen (MP) terhadap konstituen. Dalam sistem plurality/majority seperti first-past-the-post, setiap daerah hanya diwakili satu MP, sehingga pemilih dapat “menghukum” wakil yang dianggap gagal dengan tidak memilihnya kembali – hubungan konstituen-wakil bersifat langsung dan personal2. Sebaliknya, dalam sistem PR terutama daftar tertutup, pemilih memilih partai, bukan individu, sehingga hubungan pertanggungjawaban personal cenderung tersamar. Laporan ini mengkaji secara mendalam bagaimana desain sistem proporsional dapat dioptimalkan untuk memperkuat hubungan akuntabilitas antara MP dan konstituen, mencakup tantangan yang ada, pelajaran dari berbagai negara, opsi desain institusional, serta rekomendasi reformasi untuk konteks Indonesia.

Tantangan Akuntabilitas dalam Sistem Proporsional


  1. Pola Pertanggungjawaban Kolektif vs Individu: Dalam sistem PR daftar tertutup, MP lebih bertanggung jawab kepada pimpinan partai daripada pemilih. Urutan calon ditentukan partai, sehingga nasib MP ditentukan oleh posisi dalam daftar dan kinerja partai secara keseluruhan, bukan oleh preferensi pemilih per individu3. Pemilih sulit “membuang” kandidat tertentu yang buruk tanpa sekaligus menghukum partainya4. Akibatnya, ada defisit akuntabilitas individu – MP mungkin lolos kembali ke parlemen selama partainya tetap kuat, meski kinerjanya di daerah mengecewakan. Hubungan wakil–konstituen menjadi tidak langsung, dan kepercayaan publik pada wakilnya dapat menurun.
  2. Daerah Pemilihan Multi-anggota (Distrik Besar): PR mengharuskan pemilihan di distrik multi-anggota (multi-member districts). Jika besaran distrik terlalu besar, keterikatan geografis MP ke konstituen melemah. Setiap wilayah diwakili banyak MP, tidak ada satu wakil tunggal yang jelas5. Konstituen bingung harus mengadu kepada siapa, dan MP bisa saling lempar tanggung jawab. Dengan konstituen yang terbagi di antara beberapa MP, insentif untuk menanggapi kebutuhan lokal tertentu berkurang. Penelitian menunjukkan bahwa di sistem proporsional level nasional (seperti Belanda dengan satu dapil nasional), keterikatan konstituen jauh lebih abstrak dibanding sistem distrik kecil6. Selain itu, tanggung jawab menjadi kolektif – keberhasilan atau kegagalan lebih dipandang sebagai kinerja partai secara keseluruhan, bukan individu tertentu.
  3. Loyalitas pada Partai vs Konstituen: Sistem PR kerap memicu politik transaksional dan loyalitas ganda. Di Indonesia, penerapan sistem proporsional (terbuka) pun masih menghadapi tantangan ini. Studi menunjukkan bahwa mekanisme daftar terbuka justru memicu persaingan internal yang tinggi dan perilaku transaksional: wakil rakyat lebih sibuk mengamankan restu elit partai untuk pencalonan dan bersaing dengan rekan separtainya, daripada fokus memperjuangkan kepentingan publik7. Loyalitas MP cenderung tertuju ke pimpinan partai (agar tetap dicalonkan atau tidak di-recall), sehingga komitmen terhadap konstituen bisa terpinggirkan8. Hal ini diperburuk oleh aturan Indonesia yang mengizinkan Pergantian Antar Waktu (PAW) – partai dapat mencabut mandat MP di tengah jalan. Mahkamah Konstitusi menegaskan mekanisme PAW konstitusional demi menjaga otoritas partai, bahkan menyebutnya bagian dari “keseimbangan hubungan partai, caleg, dan konstituen”9. Implikasinya, MP yang menyimpang dari garis partai (meski demi konstituen) dapat diberhentikan, sehingga akuntabilitas ke atas (partai) lebih dominan daripada akuntabilitas ke pemilih di bawah. Upaya melibatkan pemilih dalam proses PAW – misalnya melalui pemilihan ulang di dapil – pernah diusulkan, tetapi ditolak MK karena dianggap tidak sejalan dengan kerangka demokrasi perwakilan saat ini10.
  4. Politik Uang dan Persaingan Personal: Tantangan serius lainnya adalah biaya politik tinggi dan maraknya politik uang dalam sistem PR, terutama daftar terbuka. Karena MP harus bersaing meraih suara personal, dorongan untuk mengeluarkan biaya kampanye besar meningkat. Penelitian Burhanuddin Muhtadi (2020) dan Aspinall & Berenschot (2020) menemukan praktik money politics kian merajalela pasca-adopsi proporsional terbuka di Indonesia11. Caleg berlomba menghabiskan dana untuk membeli dukungan pemilih, yang ironisnya melemahkan akuntabilitas politik itu sendiri – alih-alih responsif pada aspirasi warga, caleg lebih terikat pada sponsor/donor dan oligarki yang membiayai mereka12. Persaingan internal partai yang ketat juga mendorong MP menonjolkan popularitas pribadi (misal melalui pencitraan atau program individu) demi mengalahkan kolega separtai, seringkali mengorbankan kerja kolektif penyusunan kebijakan13. Dengan demikian, orientasi jangka pendek untuk menang pemilu berikutnya menggeser fokus dari tugas legislasi substantif. Semua ini menggerus hubungan akuntabilitas ideal: MP mungkin merasa lebih “berutang” kepada donatur atau kelompok tertentu daripada kepada publik luas yang diwakilinya.

Singkatnya, tantangan utama sistem proporsional terkait akuntabilitas individu mencakup kurangnya ikatan personal MP-konstituen, dominannya peran partai dalam karier MP, dan insentif elektoral yang kurang mendorong pelayanan konstituen. Meski beberapa perbaikan (seperti daftar terbuka) telah dilakukan untuk mengurangi hegemoni partai dan memberi pemilih kendali memilih individu14, tantangan-tantangan di atas menunjukkan perlunya desain sistem yang lebih inovatif agar setiap MP merasa benar-benar bertanggung jawab kepada rakyat yang diwakilinya.

Studi Perbandingan: Sistem Proporsional dengan Hubungan MP–Konstituen Kuat


Meskipun PR kerap dianggap mengorbankan ikatan dapil, sejumlah negara berhasil memadukan sistem proporsional dengan hubungan konstituen yang erat. Pelajaran dari kasus-kasus berikut menunjukkan bahwa melalui modifikasi tertentu – seperti daftar terbuka, distrik kecil, atau sistem campuran – akuntabilitas individu tetap terjaga dalam kerangka proporsional.

  1. Sistem Daftar Terbuka dan Preferensi Pemilih – Skandinavia & Belanda: Banyak negara Eropa menggunakan PR daftar terbuka yang memberi ruang bagi pemilih memilih kandidat spesifik, bukan sekadar partai. Finlandia, misalnya, menerapkan PR terbuka penuh sejak 1950-an: pemilih hanya boleh mencoblos kandidat individu, dan perolehan suara pribadi sepenuhnya menentukan siapa yang terpilih dari partainya15. Efeknya, kompetisi terjadi di tingkat kandidat, mendorong mereka membangun dukungan di komunitas lokal masing-masing. Finlandia membagi negara ke dalam 14 dapil berisi beberapa kursi (rata-rata 12–15 kursi), cukup kecil untuk menjaga keterikatan regional16. Sistem ini berhasil menggabungkan proporsionalitas partai dengan pilihan kandidat: perolehan kursi antar partai proporsional, namun MP terpilih adalah mereka yang memiliki suara preferensi terbanyak di daerahnya, sehingga merasa mendapat mandat langsung dari pemilih setempat. Hal serupa terlihat di Swedia, Denmark, dan Norwegia yang menggunakan open (or flexible) list PR: meski partai mengajukan daftar, pemilih dapat mencentang calon pilihannya. Di Denmark, calon legislatif biasanya berkampanye di kawasan pemilihan nominasi yang relatif kecil di dalam dapil, sehingga warga mengenal “wakil lokal” meski secara formal pemilu bersifat proporsional tingkat daerah. Studi Van Coppenolle (2017) menunjukkan bahwa pengakuan pemilih terhadap kandidat meningkat pada sistem berdaftar terbuka dan distrik berukuran kecil17. Dengan kata lain, PR dengan preferensi kandidat memperkuat hubungan personal, karena MP tahu mereka membutuhkan dukungan langsung dari konstituen untuk menang. Bahkan di Belanda – dengan satu dapil nasional – para kandidat biasanya memusatkan kampanye di provinsi asal dan membuka kantor pelayanan di daerah. Tiap partai Belanda cenderung menugaskan anggotanya untuk “menggarap” wilayah tertentu, menjaga koneksi konstituen meski secara konstitusional seluruh negeri satu daerah pemilihan.
  2. Single Transferable Vote di Irlandia – PR Berbasis Kandidat: Republik Irlandia membuktikan bahwa proporsionalitas dan ikatan dapil bukanlah dikotomi yang tak terjembatani18. Sejak 1922, Irlandia menerapkan sistem Single Transferable Vote (STV), di mana pemilih meranking kandidat dalam dapil multi-anggota kecil (3–5 kursi). STV menghasilkan hasil proporsional sekaligus mendorong kampanye sangat lokal dan berorientasi personal19. Para kandidat Irlandia berlomba membangun reputasi di komunitas spesifik: mereka menonjolkan proyek yang berhasil dibawa ke daerah pemilihannya, bahkan fokus hingga tingkat kota atau kawasan di dalam dapil. Riset perbandingan menunjukkan Anggota Parlemen Irlandia (TD) jauh lebih aktif di konstituensi dibanding anggota parlemen di Westminster (UK)20. Praktik umum di Irlandia, setiap TD membuka kantor tetap di wilayahnya dan rutin mengadakan surgeries (pertemuan dengan warga) layaknya MP sistem distrik. Imbal baliknya, pemilih Irlandia sangat mengenal wakil-wakil mereka dan dapat memilih ulang atau tidak berdasarkan rekam jejak pelayanan lokal. Contoh konkrit: pada Pemilu 2016, tercatat banyak kampanye TD berpusat pada isu-isu daerah seperti pembangunan infrastruktur setempat21. Ini menunjukkan bahwa desain PR dengan STV mampu memelihara akuntabilitas individu: karena keberhasilan kandidat bergantung pada dukungan preferensial dari komuniten lokal, ada insentif kuat bagi mereka untuk responsif terhadap konstituen.
  3. Distrik Kecil Multi-anggota – Contoh: Jepang (Pra-1994) dan Chili: Sebelum reformasi 1994, Jepang memakai sistem Single Non-Transferable Vote (SNTV) dalam distrik multi-anggota berukuran kecil-menengah (3–5 kursi). Meskipun bukan PR murni (lebih ke pluralitas terbatas), pengalaman Jepang relevan: caleg dari partai sama bertarung memperebutkan suara dalam satu daerah, mendorong mereka membangun basis konstituen setia. Tiap calon LDP, misalnya, menggarap “mesin politik” lokal (koenkai) di wilayah tertentu dalam dapil untuk memastikan minimal satu kursi. Akibatnya, hubungan patronase dan pelayanan konstituen sangat menonjol – seorang anggota Diet merasa langsung bertanggung jawab atas segmen pemilih di dapilnya. Kelemahan sistem Jepang lama adalah biaya politik tinggi dan fraksi internal, namun dari sisi keterwakilan lokal sistem itu kuat. Chili memberikan contoh lain pasca reformasi 2015: negeri ini beralih dari sistem binominal (2 kursi per dapil) ke PR terbatas dengan magnitude kecil (3–8 kursi per dapil). Tujuannya mendapatkan proporsionalitas lebih baik tanpa kehilangan keterikatan lokal. Hasil awal menunjukkan anggota parlemen Chili kini lebih tersebar secara geografis dan lebih mudah diidentifikasi oleh komunitas lokal dibanding saat dapilnya terlalu luas mencakup dua provinsi sekaligus. Distrik kecil cenderung memperkuat identifikasi MP dengan daerahnya, karena cakupan pemilihnya lebih sempit dan homogen.
  4. Sistem Campuran (Mixed-Member) – Jerman dan Selandia Baru: Mixed-Member Proportional (MMP) sering disebut sebagai “yang terbaik dari dua sistem” karena menggabungkan kursi distrik perorangan dengan alokasi proporsional secara nasional. Jerman merupakan pelopor MMP: separuh kursi Bundestag dipilih dari distrik tunggal (FPTP), separuh lagi dari daftar partai, dengan mekanisme kompensasi agar total kursi proporsional terhadap suara21. Dengan sistem ini, setiap pemilih memiliki wakil distrik langsung – memastikan jalur akuntabilitas personal seperti di sistem mayoritarian – tanpa mengorbankan kemajemukan representasi secara keseluruhan. MP distrik di Jerman memiliki konstituency service aktif: mereka rutin turun ke daerah, mengadakan pertemuan warga, dan menangani kasus lokal, mirip model Westminster. Sementara itu, MP daftar tetap mewakili partai di parlemen tetapi biasanya juga ditugaskan partai untuk “membina” wilayah tertentu (misal provinsi asal mereka) supaya tidak kehilangan sentuhan dengan pemilih. Demikian pula di Selandia Baru sejak mengadopsi MMP (1996): setiap daerah pemilihan memiliki MP lokal yang dipilih langsung, sehingga konstituen tahu siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban. Survei pasca-reformasi menunjukkan kepuasan publik Selandia Baru atas constituency link tidak berkurang, bahkan meski proporsionalitas meningkat. Kelemahan MMP adalah muncul dua kelas MP – MP distrik vs MP daftar – yang kadang menimbulkan kecemburuan atau perbedaan fokus22. Namun, secara umum Jerman dan NZ berhasil menjaga akuntabilitas individu tinggi (karena ada MP daerah) bersamaan dengan proporsionalitas sistem partai. Variasi sistem campuran lain, seperti Mixed-Member Majoritarian (MMM) di Jepang dan Meksiko (kursi distrik + kursi proporsional tanpa kompensasi penuh), juga meningkatkan keterwakilan geografis. Di Meksiko, 300 deputi dipilih dari distrik single-member dan 200 dari daftar proporsional. Walau alokasi akhirnya tidak proporsional sempurna, keberadaan deputi distrik memberikan wajah lokal di legislatur. Kombinasi ini mendorong partai besar di Meksiko membina kader di akar rumput untuk memenangkan kursi distrik, sekaligus memanfaatkan kursi plurinominal guna memastikan keberagaman representasi. Intinya, desain sistem campuran menggaransi setiap sudut negara memiliki wakil yang dapat dimintai tolong langsung, sehingga hubungan MP–konstituen tetap terjaga tanpa harus meninggalkan prinsip proporsionalitas.

Dari perbandingan di atas, tampak benang merah: sistem proporsional dapat diperkuat akuntabilitas individunya dengan cara memberi pemilih kendali lebih besar terhadap kandidat (open list/STV), memperkecil lingkup daerah pemilihan, atau menyertakan elemen perwakilan langsung. Negara-negara yang berhasil menciptakan hubungan erat MP–konstituen umumnya menghindari daftar tertutup nasional yang kaku, dan memilih model di mana MP memperoleh legitimasi personal dari pemilih lokal. Hal ini menumbuhkan insentif bagi MP untuk berperilaku responsif – mereka sadar nama mereka dikenali dan kinerja akan diuji oleh konstituen pada pemilu berikutnya23.

Desain Institusional untuk Memperbaiki Akuntabilitas dalam Kerangka PR


Berdasarkan tantangan dan studi perbandingan di atas, terdapat beberapa opsi desain institusional yang dapat memperkuat akuntabilitas individu tanpa harus meninggalkan sistem proporsional:

  1. Mengurangi Besaran Distrik: Menyesuaikan district magnitude (jumlah kursi per dapil) adalah cara langsung untuk menyeimbangkan proporsionalitas dan akuntabilitas. Distrik yang lebih kecil (misal 3–5 kursi) mempersempit basis konstituen per MP, sehingga wakil terpilih lebih mudah diidentifikasi publik. Penelitian Carey & Hix (2011) mengemukakan adanya “sweet spot” jumlah kursi dapil rendah-menengah (sekitar 4–8 kursi) yang menghasilkan trade-off optimal: cukup kecil untuk mendorong kedekatan wakil dengan pemilih, namun cukup besar untuk tetap proporsional24. Dengan magnitude rendah, cakupan geografis MP mengecil – memudahkan mereka fokus pada isu lokal spesifik. Selain itu, partai cenderung mengajukan lebih sedikit kandidat per dapil, mengurangi persaingan internal berlebihan. Namun, ada konsekuensi: proporsionalitas sedikit menurun (partai kecil lebih sulit mendapat kursi di dapil kecil) dan jumlah dapil harus ditambah. Desainer sistem perlu menimbang keseimbangan ini sesuai konteks. Contohnya, Jerman dan Selandia Baru dalam MMP membagi negara ke puluhan dapil kecil (1 kursi) dan menambahkan kursi proporsional kompensasi; Swedia memiliki dapil rata-rata 12 kursi ditambah kursi leveling nasional. Kedua pendekatan ini menunjukkan bahwa distrik kecil dapat dipadukan dengan mekanisme kompensasi agar total tetap proporsional. Jika tidak memakai kompensasi, besaran dapil bisa dibuat moderat (4–6) untuk menjaga pluralitas partai. Inti idenya, memperkecil dapil meningkatkan akuntabilitas teritori: MP merasa benar-benar “mewakili” komunitas spesifik, bukan sekadar figur anonim di daftar panjang.
  2. Modifikasi Sistem Daftar Terbuka: Apabila mempertahankan PR daftar, struktur dan aturan daftar dapat dimodifikasi untuk meningkatkan hubungan MP-konstituen. Salah satu opsi adalah open list dengan sub-dapil internal: partai dapat membagi dapil besar menjadi sub-area non-formal, menominasikan kandidat tertentu untuk setiap area. Pemilih tetap memilih kandidat (atau partai) seperti biasa, dan kursi dialokasikan proporsional di tingkat dapil besar; tetapi penentuan kandidat terpilih per partai mempertimbangkan persaingan dalam sub-area tersebut. Desain semacam ini akan memastikan setiap wilayah kecil memiliki wakil partai terpilih, mencegah semua MP partai justru bertumpuk dari satu kota saja misalnya. Gagasan serupa pernah diusulkan di Afrika Selatan pasca-apartheid: mengkombinasikan daftar proporsional nasional dengan penugasan kursi ke distrik-distrik kecil agar setiap daerah punya “wajah” di parlemen. Alternatif lain adalah daftar semi-terbuka: pemilih dapat memilih partai atau memberikan suara preferensi ke kandidat. Kursi partai dibagi pertama-tama kepada kandidat yang mencapai ambang batas suara preferensi tertentu, sisanya mengikuti urutan daftar. Model ini (contohnya diterapkan di Belgia dan sebelumnya di Indonesia 2004) memberi kompromi: partai masih dapat memastikan calon unggulannya terpilih jika pemilih tidak keberatan (tidak banyak yang memberi preferensi berbeda), tapi pemilih punya senjata untuk menggeser calon yang dianggap kurang layak dengan cara memberi suara langsung pada calon lain. Semi-terbuka memang tidak sekuat daftar terbuka penuh dalam akuntabilitas individual, tetapi bisa mengurangi dominasi elit partai tanpa meningkatkan persaingan antar caleg setinggi sistem terbuka penuh. Selain itu, threshold preferensi dapat diatur rendah agar kandidat termotivasi berkampanye ke rakyat. Modifikasi daftar terbuka lain yang penting adalah mewajibkan kandidat berkampanye di daerah asal atau domisili tertentu, mencegah “napas papan reklame nasional” semata. Beberapa negara melarang calon maju di lebih dari satu dapil (Finlandia menerapkannya sejak 196925), sehingga kandidat harus fokus membina satu basis konstituen saja. Langkah-langkah ini menjaga supaya hubungan geografis dan emosional antara calon dengan pemilih di dapilnya tetap kuat, meskipun sistem pemilunya proporsional.
  3. Mekanisme Recall oleh Konstituen: Untuk meningkatkan akuntabilitas horizontal (dari rakyat ke wakil, di luar siklus pemilu), dapat dipertimbangkan penerapan mekanisme recall oleh konstituen. Recall memberi peluang bagi pemilih di suatu dapil untuk mencabut mandat MP yang dianggap melanggar janji atau berkinerja buruk, sebelum masa jabatan habis. Dalam konteks PR, recall perlu dirancang cermat agar tidak mengganggu keseimbangan representasi partai. Satu usulan adalah: jika sejumlah tertentu pemilih (misal 25% dari daftar pemilih) menandatangani petisi recall, maka MP tersebut diberhentikan dan kursinya diisi oleh calon berikutnya dari partai yang sama (berdasarkan perolehan suara pemilu lalu). Dengan demikian, komposisi partai di parlemen tidak berubah (proporsionalitas terjaga), tetapi individu MP yang ditolak konstituen dapat digantikan figur lain. Cara ini mengombinasikan tekanan akuntabilitas langsung dengan prinsip perwakilan partai. Tentu, ada risiko penyalahgunaan (misal oleh lawan politik yang menggalang recall) sehingga persyaratan harus ketat: ambang petisi tinggi, dan mungkin dibatasi hanya untuk kasus pelanggaran etik/kriminal atau pengkhianatan mandat. Beberapa negara bagian di Jerman pernah mendiskusikan recall untuk anggota legislatif lokal, dan sejumlah negara Amerika Latin seperti Venezuela secara teoritis membolehkan recall legislator, meski jarang diterapkan. Tantangan utamanya di Indonesia adalah landasan hukum: saat ini UU belum mengenal recall oleh rakyat, dan MK cenderung berpandangan mekanisme PAW melalui partai sudah cukup26 . Perlu lobi politik dan edukasi publik untuk menjelaskan bahwa recall bukan menafikan sistem perwakilan, melainkan memperkuat hubungan pertanggungjawaban wakil kepada pemilih di antara pemilu. Jika diterapkan dengan bijak, mekanisme ini meningkatkan kontrol konstituen: MP akan berpikir dua kali sebelum mengabaikan aspirasi dapil, karena ada konsekuensi langsung tidak hanya dari partai tapi juga dari pemilihnya.
  4. Penguatan Peran Konstituen dalam Kinerja MP: Desain institusional tak hanya soal sistem pemilu, tetapi juga aturan-aturan legislatif yang mendorong MP terhubung dengan konstituennya. Misalnya, dapat dibuat aturan internal parlemen yang mewajibkan anggota DPR melaporkan kegiatan reses dan serap aspirasi di daerah pemilihannya secara periodik, lalu laporan itu dipublikasikan. Demikian pula, fasilitas kantor daerah: parlemen bisa menyediakan anggaran bagi setiap MP untuk membuka kantor pelayanan di dapil, dengan staf yang menampung aduan warga. Beberapa negara dengan PR telah melakukan ini – di Swedia dan Norwegia misalnya, meski MP dipilih proporsional, mereka mendapat tunjangan kunjungan dapil dan sering bertemu konstituen layaknya MP distrik. Kode etik legislatif juga dapat memasukkan kewajiban mempertahankan hubungan konstituen; misal seorang MP harus mengadakan sejumlah pertemuan publik di dapil per tahun. Sanksi moral atau disiplin dapat dijatuhkan bila kewajiban ini diabaikan. Terkait fungsi legislasi, mendorong penggunaan constituency bill initiatives (RUU usulan dapil) atau mekanisme aspirasi online dari konstituen kepada wakilnya bisa meningkatkan interaksi. Intinya, meskipun pemilih memilih partai, setelah terpilih MP dipacu untuk “bermuara” ke rakyat dalam kerja sehari-hari, memastikan suara konstituen nyata terdengar di forum parlemen.
  5. Reformasi Tata Kelola Partai: Akhirnya, memperbaiki akuntabilitas individual juga perlu diiringi reformasi institusi partai politik. Demokratisasi internal partai – misalnya seleksi calon melalui pemilihan di tingkat cabang atau konvensi – dapat memastikan calon yang diusung memiliki akar dan keterikatan dengan konstituen lokal. Bila calon merasa didukung basis akar rumput, ia akan lebih bertanggungjawab kepada mereka. Di Selandia Baru, banyak partai menerapkan pemilihan pendahuluan terbuka di distrik untuk menentukan kandidat FPTP mereka; meski kursi ditentukan proporsional nasional, calon yang menang primary merasa mandatnya dari anggota partai lokal. Langkah lain adalah transparansi dan akuntabilitas pendanaan kampanye: aturan tegas membatasi donasi dan pengeluaran kampanye akan mengekang politik uang27, sehingga MP tidak “berhutang” pada cukong melainkan pada pemilih. Institusi seperti lembaga antikorupsi dan Bawaslu harus memperketat pengawasan belanja kampanye dan vote-buying, agar hubungan yang terbentuk adalah programatik, bukan transaksional. Dengan demikian, reformasi sistem pemilu sebaiknya dibarengi penataan partai sebagai kendaraan representasi, sehingga partai berfungsi mendisiplinkan wakil tanpa memadamkan koneksi wakil dengan rakyat.

Semua rancangan di atas menunjukkan bahwa akuntabilitas dapat ditingkatkan dalam banyak cara tanpa harus beralih ke sistem mayoritarian. Esensinya adalah memberi insentif struktural agar MP menempatkan kepentingan pemilih di dapil sebagai prioritas, seimbang dengan loyalitas kepada partai dan agenda nasional. Desain final bisa berbeda-beda tergantung konteks, namun kombinasi elemen-elemen tersebut (dapil kecil, suara preferensi, recall, kewajiban layanan konstituen, dsb.) akan menghasilkan sistem proporsional yang lebih berorientasi konstituen.

Rekomendasi Reformasi untuk Indonesia


Konteks Indonesia – dengan masyarakat majemuk, multi-partai, dan kerangka hukum tertentu – memerlukan pendekatan hati-hati dalam mereformasi sistem pemilu. Berikut rekomendasi teknis yang kiranya sesuai, tanpa meninggalkan prinsip proporsional:

  1. Menyempurnakan Sistem Daftar Terbuka: Mengingat MK telah meneguhkan proporsional terbuka sebagai sistem saat ini, Indonesia sebaiknya mempertahankan daftar terbuka demi menjaga hak pilih individu dan akuntabilitas langsung. Namun, perlu penyempurnaan. Pertama, batasi besaran dapil maksimum menjadi lebih kecil. Saat ini UU Pemilu mengatur 3–10 kursi per dapil; disarankan diubah menjadi 3–6 kursi per dapil. Konsekuensinya jumlah dapil DPR akan bertambah, mungkin dengan membagi dapil besar menjadi dua. Misal, Provinsi Jawa Barat yang kini dibagi 11 dapil (4–12 kursi masing-masing) dapat dipecah jadi ~20 dapil lebih kecil. Dampak positif: area kampanye tiap caleg menyempit, ikatan geografis menguat, dan pemilih lebih mudah mengenali calon. Studi Jurdi, et al. (2023) menyebut proporsional terbuka lebih demokratis karena pemilih bisa memilih langsung sehingga meningkatkan akuntabilitas dan keterwakilan28– efek ini akan makin terasa bila dapilnya kecil (lebih “personal”). Kedua, mengatasi ekses kompetisi mahal: memperketat regulasi dana kampanye dan penegakan hukuman politik uang. DPR bersama pemerintah perlu merevisi aturan limitasi sumbangan dan pengeluaran, disertai audit transparan. Dengan biaya politik turun, caleg tidak perlu bergantung pada sponsor sehingga lebih independen dalam mewakili rakyat. Ketiga, mempertimbangkan vote poolingintra-partai yang adil. Misal, tetap terbuka tapi bila ada dua caleg satu partai di dapil sama-sama meraih suara tinggi di sub-wilayah berbeda, keduanya bisa mendapat prioritas kursi (daripada semuanya dari satu kota). Ini bisa diatur dalam detail alokasi internal partai, agar representasi sub-kawasan dalam dapil terjamin.
  2. Opsi Sistem Campuran Jangka Panjang: Untuk jangka menengah-panjang, Indonesia dapat mengeksplorasi sistem pemilu campuran (mixed) demi mengokohkan constituency link. Salah satu model yang diusulkan beberapa pakar adalah Mixed Member Proportional (MMP) ala Jerman, tetapi disesuaikan dengan UUD 1945. Caranya: alokasi kursi DPR tetap melalui partai (sesuai Pasal 22E ayat (3) UUD 194529), namun separuh di antaranya diisi melalui pertarungan di dapil single-member (mewakili kabupaten/kota atau gabungan kecil) dan separuh lagi dari daftar kompensasi untuk menjaga proporsionalitas total. Dalam praktik, pemilih akan mencoblos dua kali: satu untuk calon DPR di dapilnya, satu untuk partai (tingkat provinsi/nasional). Kursi total partai ditentukan suara partai (proporsional), lalu kandidat distrik yang menang otomatis duduk dan mengurangi jatah kursi partainya, sisanya dipenuhi dari daftar. Model ini memastikan tiap kabupaten/kota punya wakil langsung di DPR, tanpa mengubah komposisi proporsional akhir. Rintangan utamanya: penentuan dapil single-member (perlu penataan ulang yang signifikan) dan potensi penambahan kursi overhang jika suatu partai menang dapil lebih banyak dari jatah proporsionalnya. Namun, solusi penyeimbang bisa diadopsi (misal menambah seat adjustment atau menggunakan kursi cadangan). Secara hukum, penerapan MMP mungkin memerlukan revisi UU saja tanpa amendemen UUD, sebab partai tetap jadi peserta pemilu legislatif dan prinsip proporsionalitas dipertahankan – MMP hanya memperkenalkan cara pemilihan ganda. Dukungan politik untuk MMP mungkin menantang (karena partai besar bisa waswas kehilangan kursi distrik di beberapa basis lawan), tapi argumentasi publik kuat: “Masyarakat dapat wakil langsung tanpa mengurangi proporsionalitas nasional”. Jika MMP terlalu kompleks, Mixed Member Parallel (MMM) bisa jadi alternatif lebih sederhana: misalnya 300 kursi DPR dipilih proporsional seperti sekarang, ditambah 75–100 kursi dipilih dari distrik tunggal (tanpa kompensasi). Hasilnya semi-proporsional (karena kursi distrik menambah kekuatan partai besar), tetapi setiap provinsi/kawasan terpencil dijamin punya figur wakil. Dalam situasi Indonesia yang geografisnya luas, sistem campuran dapat menjembatani keterwakilan wilayah (khususnya Indonesia timur) dengan konfigurasi politik nasional.
  3. Mekanisme Recall dengan Aturan Khusus: Walau MK skeptis, kita dapat mendorong mekanisme recall oleh rakyat dengan kerangka yang akomodatif. Rekomendasinya: revisi UU MD3 untuk memasukkan ketentuan bahwa pemilih dapil dapat mengajukan mosi tidak percaya terhadap MP di dapilnya. Misal, inisiasi oleh sejumlah minimal (misal 50 ribu) pemilih, diverifikasi KPU, lalu jika memenuhi syarat dilanjutkan voting recall. Jika mayoritas konstituen yang berpartisipasi setuju MP di-recall, maka MP tersebut diberhentikan dan kursinya diberikan kepada calon peringkat berikutnya dari partai yang sama di dapil itu pada pemilu terakhir. Skema ini tidak mengubah jatah partai (jadi kecil kemungkinan ditolak MK dengan alasan mengganggu sistem perwakilan partai). Untuk mencegah politisasi, syarat ambang partisipasi bisa ditetapkan (misal minimal 50% dari jumlah suara sah dapil tersebut saat pemilu lalu harus ikut serta dalam voting recall agar sah). Recall hanya bisa diaktifkan sekali saja pertengahan periode, dan tidak berlaku di tahun terakhir menjelang pemilu berikut. Dengan aturan ketat, recall akan digunakan sangat selektif – mungkin bagi kasus keterlibatan korupsi, pengkhianatan konstituen yang nyata, atau mangkir total dari tugas. Efek keberadaannya saja bisa menjadi daya tekan: MP akan lebih berhati-hati menjaga amanah. Tentu, edukasi publik penting agar mekanisme ini tidak disalahartikan sebagai cara instan ganti preferensi politik. Ini semata jaring pengaman akuntabilitas jika wakil benar-benar menyimpang dari mandat rakyat.
  4. Meningkatkan Keterhubungan MP–Konstituen dalam Fungsi DPR: Reformasi berikutnya bersifat non-elektoral namun mendukung akuntabilitas: memperkuat fungsi representasi DPR. DPR dapat menginisiasi program “Hari Konstituen Nasional” misalnya, di mana dalam setahun ada masa sidang khusus yang didedikasikan bagi anggota melaporkan isu-isu dapil dan mengagendakan pemecahannya bersama pemerintah. Setiap fraksi bisa diwajibkan menyusun laporan tahunan yang merangkum aspirasi dari dapil-dapil anggotanya, dipresentasikan di sidang paripurna. Selain itu, teknologi informasi bisa dimanfaatkan: platform daring resmi di mana konstituen dapat menyampaikan keluhan atau masukan langsung kepada MP dapilnya, dan tiap MP diwajibkan menanggapi dalam batas waktu tertentu. Praktik semacam ini sudah mulai dicoba di beberapa demokrasi (misal di Inggris ada situs TheyWorkForYou yang memantau aktivitas MP per dapil). Indonesia dapat mengembangkan dashboard akuntabilitas: berisi info kehadiran, aktivitas legislasi, penggunaan dana reses, dll. per anggota DPR, mudah diakses publik. Dengan transparansi demikian, pemilih dapat menilai kinerja individu wakilnya dan bersiap mengambil tindakan elektoral (atau recall) bila merasa tidak puas.
  5. Penyesuaian dengan Struktur Hukum Nasional: Semua rekomendasi di atas harus diselaraskan dengan kerangka hukum Indonesia. UUD 1945 Pasal 22E mensyaratkan pemilu legislatif diikuti partai politik30; ini berarti apapun sistemnya, peran partai tetap sentral. Oleh karena itu, reformasi harus melibatkan buy-in partai. Misalnya, pengurangan besaran dapil dan adopsi recall perlu dibahas dalam perubahan UU Pemilu/UU MD3 yang pasti melibatkan DPR (para “ incumbent” mungkin enggan). Namun, argumen yang dapat meyakinkan adalah: reformasi ini justru menguntungkan demokrasi dan citra partai jangka panjang. Partai akan dipersepsi lebih demokratis bila mendorong kadernya dekat dengan rakyat. Selain itu, partai dapat diberi peran dalam mekanisme baru: misal dalam recall, partai diberi hak mengganti dengan calon berikutnya (sudah diakomodasi di skenario). Dalam MMP, partai justru punya jalur ganda representasi (bisa pasang tokoh untuk menang di dapil sekaligus amankan daftar). Secara hukum, tidak ada larangan eksplisit untuk sistem campuran selama proporsionalitas terjaga – buktinya, UU pernah mengatur formula “BPP” (Bilangan Pembagi Pemilih) di 2004 yang semi-tertutup, dan MK kala itu mendorong terbuka penuh demi hak pilih, bukan melarang variasi sistem. Intinya, prinsip proporsional harus dipertahankan (jumlah kursi sebanding suara nasional), tetapi implementasinya bisa kreatif. Dukungan yudisial kemungkinan dapat diperoleh jika disiapkan argumentasi bahwa perubahan ini memperkuat kedaulatan rakyat tanpa menyalahi konstitusi.
  6. Mempertimbangkan Realitas Sosial-Politik: Indonesia memiliki kemajemukan suku, agama, wilayah, serta kualitas pendidikan politik yang bervariasi. Reformasi harus mempertimbangkan ini agar tidak menimbulkan ekses negatif. Contohnya, mengecilkan dapil bisa berisiko memperkuat politik kekerabatan di daerah kecil dan dominasi mayoritas setempat terhadap minoritas. Untuk itu, perlu dipikirkan langkah mitigasi: misal menyusun dapil sedemikian rupa agar tetap inklusif (menggabungkan wilayah heterogen dalam satu dapil kecil jika mungkin), atau menerapkan threshold nasional yang mencegah fragmentasi berlebihan. Selain itu, kultur politik kita yang masih berkembang berarti perlu pendidikan pemilih intensif saat mengubah sistem. Jika MMP diterapkan, sosialisasi dua surat suara harus masif agar tidak membingungkan (pengalaman negara lain, pemahaman butuh waktu31). Dalam hal recall, masyarakat perlu diedukasi untuk tidak gegabah mencabut mandat hanya karena perbedaan politik biasa. Prinsip musyawarah dalam politik lokal bisa diintegrasikan: misal sebelum formal recall, adakan dialog publik antara MP dan tokoh konstituen untuk evaluasi kinerja. Ini sejalan dengan budaya Indonesia yang mengedepankan rembug sebelum mengambil tindakan drastis. Realitas lain adalah peran uang dalam politik kita – ini harus dihadapi dengan penegakan hukum supaya inovasi sistem tidak dibajak oleh politik uang dalam format baru (contoh: jangan sampai recall dimanfaatkan pihak bermodal untuk menyingkirkan MP idealis dengan mobilisasi massa berbayar). Oleh karenanya, kelembagaan pengawas pemilu dan penegak hukum mesti diperkuat beriringan dengan reformasi sistem.

Kesimpulan


Akuntabilitas individual anggota parlemen dalam sistem proporsional bukanlah tujuan yang mustahil. Tantangan klasik seperti jauhnya hubungan wakil–pemilih, dominasi partai, dan politik uang dapat diatasi melalui desain sistem yang cermat dan pelengkap institusional yang tepat. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa unsur-unsur seperti daftar terbuka, preferensi pemilih, distrik berukuran kecil, dan sistem campuran mampu mendekatkan wakil rakyat dengan konstituennya tanpa menghilangkan manfaat representasi proporsional. Bagi Indonesia, menjaga sistem proporsional berarti menjaga kebinekaan politik; namun kebinekaan tersebut akan lebih bermakna jika setiap wakil benar-benar terdorong mempertanggungjawabkan amanah kepada rakyat. Reformasi teknis yang diusulkan – mulai dari penataan dapil, kemungkinan MMP, mekanisme recall, hingga penguatan peran konstituen – perlu dipertimbangkan serius oleh pembuat kebijakan. Tentu, tidak ada sistem yang sempurna atau cocok sepenuhnya tanpa penyesuaian; diperlukan kehati-hatian serta konsultasi luas sebelum perubahan. Namun demikian, arah pembenahan sudah jelas: menempatkan pemilih sebagai pusat dalam hubungan perwakilan. Dengan kombinasi desain sistem pemilu yang tepat dan komitmen para aktor politik, sistem proporsional dapat ditransformasikan menjadi mesin demokrasi yang tidak hanya representatif secara proporsi, tetapi juga responsif dan akuntabel secara personal.