Konsekuensi Cacat Formil UU Ciptaker

Rabu, 15 Februari 2022, Badan Legislasi akhirnya menyepakati Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Sikap Pemerintah yang membuat UU baru (melalui Perppu) untuk mencabut UU Ciptaker, didasari pada pertimbangan materil dan formil. Secara formil, kami berpendapat membentuk UU baru adalah satu-satunya jalan konstitusional jika substansi UU Ciptaker ingin diberlakukan. Meskipun Mahkamah Konstitusi dapat saja menguji kembali baik materil maupun formil, jika ada permohonan. Pilihannya adalah apakah UU ini dibentuk dengan proses legislasi biasa atau melalui Perppu. Jika dibentuk dengan Perppu, maka harus dipastikan ada kegentingan memaksa yang melatarbelakanginya (sehingga partisipasi publik menjadi terabaikan). Alasan kegentingan memaksa inilah, yang tidak cukup tergambar dalam Perppu tersebut.

Mengapa membentuk UU baru menjadi satu-satunya jalan agar substansi UU Ciptaker dapat diberlakukan? Dalam pertimbangan hukum 3.19 pada putusan MK 91/PUU-XVIII/2020, MK menyebutkan bahwa tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.

Dengan tiga cacat formil di atas, maka seharusnya UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional, tanpa kata bersyarat. UU yang cara, metode, dan sistematikanya tidak memiliki landasan hukum, seharusnya dinyatakan inkonstitusional, bukan dibuatkan landasan hukum baru atau dibuatkan UU perubahan.

Pemerintah sendiri mungkin menyadari hal ini sehingga menafsirkan bahwa perbaikan dimaksud adalah dengan penggantian UU. Bukan perubahan UU. Karena itu, dalam konsideran Perppu Ciptaker disebutkan bahwa untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 I/PUU-XVIII/2020, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Demikian pula terkait perubahan UU pasca persetujuan bersama dan pengabaian asas pembentukan UU (keterbukaan dan meaningfull participation), ini tidak mungkin dipenuhi kecuali dengan membentuk RUU baru. RUU baru ini merupakan objek yang berbeda dengan UU No. 11 Tahun 2020 ini.

Dalam Penjelasan UU Ciptaker disebutkan, “Sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah dilakukan: a. Meningkatkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) yang mencakup 3 (tiga) komponen yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Untuk itu Pemerintah Pusat telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja (Satgas UU Cipta Kerja) yang memiliki fungsi untuk melaksanakan proses sosialisasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Satgas UU Cipta Kerja bersama kementerian/ lembaga, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan telah melaksanakan proses sosialisasi di berbagai wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.” Jadi, pemerintah “terpaksa” memaknai meaningfull participation ini pada aspek implementasi, karena memang tidak rasional dimaknai dalam konteks perubahan UU.

Dengan telah disahkannya Perppu Ciptaker ini menjadi UU, sementara hal-ihwal kegentingan yang memaksa tidak cukup tergambar dalam perppu tersebut, hal ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi pembentukan UU ke depannya. Dengan modal konfigurasi politik yang tak berimbang, perppu akhirnya jadi siasat baru bagi pemerintah untuk memaksakan kehendak secara pintas meski argumentasinya tak tuntas.

Share your thoughts