Press Release Pertimbangkan Proporsionalitas dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2021

 

Pada hari ini (25/11) Pukul 19.00 WIB, DPR RI akan melakukan penetapan RUU Prolegnas Prioritas Tahunan 2021. Sebelumya DPR, Pemerintah, dan DPD telah melakukan evaluasi dan penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan pada rapat kerja tripartit (23/11). Beberapa Rancangan Undang-Undang mengemuka dengan beragam alasan dan tujuan. Dari proses itu, Indonesian Parliamentary Center memberikan catatan sebagai berikut:

 

  1. DPR Sebaiknya Mempertimbangkan UlangPenggunaan Metode Omnibus Law

 

Pemerintah pada rapat kerja tripartit kembali mengusulkan sebuah RUU yang menggunakan metode omnibus law seperti di UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu Rancangan Undang Undang tentang Pengembangandan Penguatan Sektor Keuangan (Omnibus Law sektor keuangan) Usulan ini mendapatkan dukungan dari anggota dewan. Selain RUU tersebut DPR juga berharap metode omnibus law dapat diterapkan pada RUU yang lain seperti RUU Sistem Pendidikan Nasional.

 

IPC melihat DPR belum mempertimbangkan secara serius bahwa fakta metode Omnibus Law yang pertama kali diterapkan masih memiliki sejumlah catatan.

 

Pertama, perdebatan utama yang masih belum terjawab saat ini adalah keabsahan penggunaan metode Omnibus Law yang tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kondisi ini berpotensi untuk memunculkan permohonan uji formil  terhadap RUU yang menggunakan metode omnibus law sehingga berdampak  pada tidak efektifnya implementasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

 

Kedua, saat penyusunan Prolegnas Prioritas ini juga ditemukan kembali RUU yang diusulkan ulang padahal sebagian materinya telah dimasukkan ke UU Cipta Kerja, misalnya RUU Pertanahan dan RUU Penyiaran. Dalihnya, RUU yang diusulkan memiliki konsep yang berbeda. Kondisi ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih, ketidakharmonisan, dan ketidakpastian hukum antar Peraturan Perundang-undangan.

 

Ketiga, terkait dengan ambisi penggunaan metode “omnibus law” ini, seyogyanya DPR sebagai Pembentuk Legislasi  menahan diri dan melihat pemberlakuan UU Cipta Kerja ini dalam setahun atau dua tahun ke depan, untuk mendapatkan hasil pengawasan, pemantauan, dan peninjauan UU yang dibentuk mengunakan metode omnibus law.

 

  1. Membangun Proporsionalitas antara Jumlah RUU dengan Kapasitas AKD

 

Dari 38 RUU yang  terdiri dari 10 RUU usulan Pemerintah, 26 RUU usulan DPR, dan 2 RUU usulan DPD, IPC berpandangan bahwa jumlah tersebut tidak  proporsional dengan pertimbangan sebagai berikut:

 

Pertama, Alat Kelengkapan Dewan (Komisi I s.d Komisi XI) memiliki beban di luar fungsi legislasi, yaitu fungsi pengawasan dan fungsi penganggaran. Penyeimbangan antara beban kerja ini menjadi hal utama yang harus dipertimbangkan. Berdasarkan Tahun Sidang 2019-2020, hanya tiga AKD yang mampu menyelesaikan pembahasan RUU Prioritas hingga pengesahan yaitu Badan Legislasi, Komisi VII, dan Komisi XI.

 

Kedua, jika didasarkan pada Pasal 147 ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, maka setiap AKD (11 Komisi dan  Baleg) maksimal membahas dua RUU pada waktu bersamaan. Karena itu jumlah ideal RUU Prolegnas Prioritas Tahunan adalah 24 RUU.

 

Namun ada sejumlah hal yang berpotensi mempengaruhi lamanya proses legislasi di DPR, diantaranya:

  1. Proses penyusunan bergantung pada pengusul RUU sehingga memiliki jangka waktu yang beragam. Contohnya adalah penyusunan RUU Energi Baru dan Terbarukan yang hingga memasuki dua kali masa sidang belum juga selesai di Komisi VII;
  2. Proses harmonisasi di Badan Legislasiberlangsung  20 hari kerja dan apabila ada perubahan maka diberikan jangka waktu dua kali masa sidang;
  3. Proses pembahasan dengan jangka waktu yang diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertibadalah tiga kali masa sidang dan dapat diperpanjang sebanyak satu kali masa sidang. Untuk diketahui, jangka waktu  Masa Sidang bersifat  tentati Sebagai contoh:  Masa Sidang I Tahun 2020 ini berlangsung selama 33 hari kalender;
  4. Jumlah AKD pembahas RUU Prioritas  terbatas pada Komisi, gabungan Komisi dan Baleg; dan
  5. Dinamika antarfraksi yang seringkali membuat proses pembahasan berlarut-larut.

 

  1. KesetaraanDalam PembentukanRUU Usulan DPD

 

Tidak berjalannya pembahasan RUU yang diusulkan oleh DPD  menimbulkan pertanyaan bagi publik. Menurut penelusuran IPC, Naskah Akademik dan draf RUU Daerah Kepulauan telah diserahkan oleh Ketua DPD pada 25 Februari 2020. Namun hingga saat ini proses pembahasannya tidak mendapatkan porsi sebagaimana RUU lainnya. Sejatinya, DPR berkewajiban  mengirim surat kepada Presiden dalam jangka waktu 30 hari berkaitan dengan penunjukan Menteri pembahas (Pasal 134 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib). Selain itu, DPR dan Presiden berkewajiban untuk melakukan pembahasan dalam jangka waktu paling lama 60 hari sejak surat DPR diterima Presiden.

 

Apa yang terjadi saat ini juga dikeluhkan oleh Perwakilan DPD dalam rapat kerja tripartit. Hal ini kewajiban yang ada ternyata tidak diikuti secara tegas oleh DPR sehingga memperkuat dugaan ada ketidaksetaraan dalam pembahasan RUU usul inisiatif DPD.

 

  1. Perlakukan Kesetaraan Pembahasan RUU Prioritas dan RUU Kumulatif Terbuka

 

Hal lain yang menjadi catatan dari evaluasi Tahun Sidang 2019-2020 ini adalah evaluasi terhadap perumusan RUU Kumulatif Terbuka. Dari Tahun Sidang ini setidaknya tercatat ada beberapa RUU yang menjadi perhatian publik diantaranya Perppu 1/2020, Perppu 2/2020 dan RUU MK. Tiga UU ini semuanya berstatus sebagai RUU Kumulatif Terbuka. Dalam hal ini IPC memberikan catatan sebagai berikut:

 

Pertama, Perppu 1/2020 terbukti memperkecil kewenangan DPR dalam proses pengawasan anggaran. DPR terkunci meski menyadari beberapa Pasal mendelegitimasi kewenangan lembaganya. Tidak banyaknya proses pembahasan dan hanya memiliki kewenangan untuk menetapkan atau mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, DPR tidak memiliki pilihan banyak terhadap Perppu yang diberikan.

 

Kedua, berkaitan dengan RUU MK. Sejatinya RUU MK menjadi kumulatif terbuka akibat tiga Putusan MK antara lain Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, 34/PUU-X/2012, dan 7/PUU-Xl/2013. Faktanya terdapat perluasan pengaturan hingga akhirnya berujung pada penambahan materi seperti batas usia minimum dan usia maksimum. Ini tentu menjadi catatan mengingat dalih yang digunakan adalah Putusan MK. Namun, penafsirannya mengalami perluasan dan memasukkan pasal-pasal yang seolah bentuk kompromi antara Pemerintah, DPR, dan MK.

 

Ketiga, pada RUU Kumulatif terbuka minim konsultasi dan partisipasi publik, sementara setelah disahkan undang-undang tersebut bersifat mengikat. Ada kepentingan publik yang besar di sana. Artinya, seharusnya dalam pembahasan RUU Kumulatif juga diberlakukan proses yang sama dengan RUU Prioritas, misalnya adanya konsultasi publik dan keterbukaan dokumennya.

 

Rekomendasi

Berdasarkan temuan-temuan di atas, IPC menyarankan sebagai berikut:

 

  1. DPR seyogyanya menahan diri untuk menggunakan metode “Omnibus Law” yang faktanya meninggalkan catatan dan memberikan waktu untuk evaluasi dan pengawasan terhadap pemberlakuannya;
  2. DPR harus mempertimbangkan kemampuan AKD dalam perumusan jumlah usulan RUU dalam Prioritas 2021 berkisar 24RUU; dan
  3. DPR sejatinya harus memberikan perhatian dan perlakuan yang setara terhadap seluruh RUU;

 

Untuk mendapatkan softfile Press Release IPC bisa anda download link dibawah ini.

https://drive.google.com/file/d/1tBCNEYdkqlnkSOB3ZDTQQlgU6O0yYl1k/view?usp=sharing

Share your thoughts