Polemik Gedung Baru DPR

Oleh: Arbain (Tulisan dibuat tahun 2010)

“Ah tapi kritik semacam ini kan tidak akan didengar. Beberapa hari lalu Ketua DPR kan sudah bilang, mau dikritik seperti apa pun rencana pembangunan akan jalan terus. Mereka tidak akan mereview kembali. Mereka takkan mendengar. Saya pikir sudah seperti bicara dengan badak,” (Arbi sanit, detik.com, 1/09/10).

Sarkasme ala Arbi Sanit itu, bisa jadi mewakili kemarahan sebagian rakyat negeri ini. Ekspresi ini tetap menyeruak, sekalipun gedung baru DPR nan mewah itu dibangun atas dasar argumen rasional, sebab ia masih menyisakan satu persoalan yaitu sensitifitas. Apalagi jika tenyata rencana itu lemah basis argumentasinya. Maka, tidaklah salah jika DPR terus menuai kecaman. Kemarahan publik atas rencana ini, didasarkan pada dugaan kuat bahwa sebenarnya yang diinginkan DPR adalah menciptakan proyek baru, alasannya dicari kemudian. Lihat saja bagaimana simpang siurnya alasan-alasan itu, mulai dari gedung retak, miring, overload, melanjutkan kebijakan DPR periode lalu, dan kini penambahan tenaga ahli.

Alasan melanjutkan kebijakan periode lalu, tentu sangat lemah, karena tidak ada kewajiban DPR sekarang melanjutkan kebijakan DPR periode lalu, apalagi jika kebijakan itu tidak tepat. Sementara, alasan penambahan lima tenaga ahli anggota DPR, juga tidak cukup untuk menjelaskan bahwa DPR memerlukan penambahan gedung yang sedemikian mewah. Seharusnya, ada pengkajian dan pemataan terlebih dahulu terhadap penataan ruang di gedung Nusantara I, II, III, dan gedung kura-kura. Ini yang tidak dilakukan DPR. Yang terjadi justru sebaliknya, DPR akan menghibahkan gedung Nusantara III kepada DPD RI. Padahal, sejauh ini tidak ada alasan rasional bahwa DPD memerlukan tambahan gedung baru.

Ketua DPR RI yang juga merangkap sebagai Ketua BURT adalah pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban. Melalui dua alat kelengkapan DPR yang ketuanya sama inilah, lahir sejumlah program-program kontroversial melalui rapat-rapat tertutup. Hingga saat ini, jangankan dokumen, rapat-rapat BURT saja tidak bisa diikuti oleh publik. Tahapan administratif pembangunan gedung ini tidak dipublish kepada publik mulai dari rapat Panja BURT dengan Ditjen Cipta Karya dan Setjen DPR, 6 Mei 2010; rapat Panja BURT dengan Ditjen Cipta Karya dan Setjen DPR RI, 12 Mei 2010; dan seterusnya hingga persetujuan Multi Years Contract dari Menteri Keuangan, Agustus 2010. Setelah ditentukan, publik baru diberitahu, lalu dengan enteng Ketua DPR mengatakan, “Pembangunan gedung baru itu, mau tidak mau, suka tidak suka, harus tetap dilanjutkan. Kritik publik kita terima saja.”

 

 

 

Alasan Tenaga Ahli

Minimnya jumlah tenaga ahli memang menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya kinerja DPR. Bandingkan dengan Congressional Research Service (CRS)  yang membantu kongres Amerika Serikat untuk proses legislasi, terdiri dari 700 orang staff dimana lebih dari 450 analis kebijakan, pengacara, dan kalangan profesional/ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Sementara satu orang anggota Kongres didampingi hingga 18 orang staf ahli. Tetapi melihat apa yang terjadi di DPR, persoalannya bukan hanya pada jumlah, tapi juga tidak adanya mekanisme yang menjamin bahwa rekrutmen tersebut melahirkan tenaga ahli yang kompeten. Mekanisme ini seharusnya dirumuskan terlebih dahulu.

Di Bundestag (parlemen) Jerman, misalnya. Masing-masing Anggota Bundestag mendapatkan anggaran sebanyak 14 ribu euro untuk rekrutmen supporting pribadi. Dengan dana tersebut, mereka dapat mengusulkan beberapa staf dengan kualifikasi S3 dengan gaji 7 ribu euro, selanjutnya S2 digaji sekitar 5 ribu euro, dan S1 sekitar 4 ribu euro. Dengan demikian, bisa jadi Anggota merekrut 2 orang tenaga ahli S3, atau bervariasi sesuai anggaran. Anggota hanya berhak mengajukan nama-nama yang direkomendasikan, kemudian Sekretariat melakukan seleksi terhadap kualitas keilmuan, keahlian, dan keterampilan serta memastikan tidak ada hubungan keluarga di antara mereka. Ini hanya bisa dijalankan, jika Sekretariat memiliki kapasitas untuk melakukannya.

Jumlah, kompetensi, dan sistem rekrutmen yang baik, pun tidak cukup. Ada satu hal lagi, yaitu sejauhmana peran mereka. Di DPR, tenaga ahli anggota DPR tidak memiliki peran cukup signifikan dalam legislasi, bandingkan dengan orang staf ahli anggota konges AS, mereka terlibat langsung dalam rapat-rapat legislasi di parlemen. Kejelasan peran ini harus diciptakan. Di Inggris, ini diatur melalui sebuah undang-undang yang diperjuangkan sendiri oleh para staf parlemen, sehingga ada kejelasan mekanisme kerja dan berdampak jelas pada kinerja parlemen.

Pertanyaannya, sudahkah ini dirumuskan oleh DPR? Jika sistem rekrutmen, kompetensi, peran tenaga ahli anggota DPR masih seperti saat ini, maka berapapun jumlahnya, tidak memberi pengaruh yang bisa dipertanggungjawabkan terhadap kinerja DPR. Lihat saja bagaimana pencapaian legislasi DPR RI periode ini, tidak menunjukkan adanya perbaikan dari periode sebelumnya. Hingga kini DPR juga tidak mampu membuat draft RAPBN yang berpihak pada rakyat. Untuk itu, diperlukan supporting semilsal central budget office di kongres AS yang diisi oleh para ahli perancang anggaran. Semua ini memang memerlukan penambahan staf, tetapi sekali lagi yang didahulukan adalah kejelasan sistem rekrutmen, kompetensi, peran tenaga ahli, bukan semata-mata gedungnya, apalagi dengan kemewahan yang tidak sesuai dengan akan sehat

Hal di atas, semestinya menjadi perhatian DPR jika konteksnya ingin menambah tenaga ahli untuk kepentingan peningkatan kinerja DPR, bukan malah merancang gedung baru terlebih dahulu, yang menguras anggaran sedemikian banyak. Jika pun ternyata berdasarkan kajian DPR, bahwa gedung Nusantara I, II, III, IV dan gedung kura-kura memang tidak memadai untuk itu semua, tentu tidak mengapa untuk membangun gedung baru. Tapi bukan dengan konsep semewah ini.

Rp, 1,6 Triliun untuk pembangunan gedung DPR baru, bukanlah angka yang sedikit,  jumlah itu, setara dengan beban utang luar negeri yang sudah mencapai Rp. 1.625 trilyun. Pada akhirnya, rasionalitas harus beriring dengan sensitifitas. Anggota Dewan semestinya juga memiliki empati lebih dalam kepada rakyat yang diwakinya, jika tidak, gedung rakyat ini hanya menjadi kumpulan manusia yang dimabuk hasrat akan kuasa, harta, dan kehormatan duniawi semata, dan semakin lupa di luar sana puluhan juta rakyat tak berpunya, hidup tanpa tempat tinggal.

 

Share your thoughts