Perwakilan Minus Keterbukaan
Oleh: Arbain (Artikel dibuat Juli 2010)
Inilah negeri penuh ironi. Saat anggota DPR melakukan studi banding ke Prancis, yang dihantar dengan dikritik banyak kalangan karena dianggap menghamburkan uang negara tidak kurang dari Rp 2,9 miliar (termasuk anggaran ke Jerman dan Maroko), di hari yang sama (4/7/10), di Prancis sendiri, Menteri Perkembangan Internasional Alain Joyandet dan Menteri Paris Raya Christian Blanc justru mengundurkan diri setelah diminta oleh Presiden Prancis Nicolas Sarkozy karena dianggap menghamburkan uang negara.
Joyandet menggunakan uang negara mencapai EUR 116.500 (sekitar Rp 1,32 miliar) untuk menyewa pesawat dan membiayai perjalanannya ke Kepulauan Karibia dalam pertemuan internasional pascagempa bumi Haiti. Padahal dalam web pribadinya, dia mengatakan tidak satu euro pun uang publik diselewengkan untuk kepentingan pribadi saya atau keluarga saya,” Sementara Blanc menggunakan uang Negara 12.000 euro (sekitar Rp 136 juta) untuk membeli cerutu Kuba. Dua menteri muda itu minta maaf secara terbuka kepada publik Prancis.
Esok harinya (5/7/10), Perdana Menteri Prancis, François Fillon mengirim surat kepada para menteri untuk berhemat dengan membatasi jumlah staf dan mobil yang mereka gunakan. Para menteri juga diminta untuk menjadi teladan gaya hidup hemat. Bahkan anggaran perjalanan menteri dipotong 10 %. “Simplicity and savings” dua prinsip yang harus ada dalam agenda perjalanan para menteri. Sebisa mungkin, mereka harus mengusahakan naik kereta api daripada pesawat dan tinggal di tempat yang disediakan negara bukan hotel, serta membatasi acara-acara yang sifatnya seremoni.
Itulah pejabat-pejabat di negara yang sedang dikunjungi oleh anggota DPR. Berkebalikan dengan perilaku mereka di sini. Meski dihujani kritik tentang pemborosan anggaran (efisiensi), efektivitas, dan kejelasan tujuan, mereka tak bergeming. Untuk urusan ke luar negeri, anggota DPR, memang terkenal sebagai pengamal yang taat dan paling semangat, tapi sayang minim akuntabilitas. Buktinya, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikeluarkan pada Juni 2009, menyatakan disclaimer atas pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas dalam dan luar negeri pimpinan dan anggota DPR RI Tahun Anggaran 2007 dan 2008 yang mencapai Rp341,34 miliar. Melihat gaya DPR yang tak berubah, kemungkinan disclaimer bahkan adverse opinion (laporan keuangan tidak disajikan secara wajar), akan dihadiahkan lagi.
Bisa dipastikan, tidak ada kajian yang mendalam tentang urgensi kepergian anggota BURT ke Prancis (13 orang), Jerman (12 orang), dan Maroko (10 orang).”Semuanya kan punya hak untuk ke luar negeri, bukan hanya BURT, dan keniscayaan semua negara juga begitu,” kata salah seorang anggota BURT di media. Ia beralasan data hasil studi banding yang lama tidak dapat dipergunakan lagi oleh anggota periode sekarang. DPR mengadakan perjalanan itu sekaligus dalam rangka menyempurnakan bahan rencana strategis (renstra) DPR. Untuk memperoleh data dan bahan penyempurnaan rencana strategis DPR, tidak dapat dilakukan hanya dengan teleconference dan sebagainya. “Itu harus dilihat dari dapur orang lain. Dan ini juga untuk membangun hubungan antarnegara,” kata dia. Betulkah demikian?
DPR periode sebelumnya telah membentuk Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI (Surat Keputusan Pimpinan DPR RI No.12/PIMP/III/2005-2006 tanggal 16 Februari 2006). Pada Desember 2006, tim ini menerbitkan buku “Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI” Isinya identifikasi masalah, penyebab, solusi, dan rekomendasi di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan Sekretariat Jenderal DPR. Tim ini telah melakukan studi banding ke Amerika Serikat (16-22 November 2007), Kanada (19 – 26 November 2007), Amerika Serikat, Inggris, dan Ceko (November 2008) dan Australia (28 November – 1 Desember 2008).
Kemudian, ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Peningkatan Kinerja DPR RI (Surat Keputusan Pimpinan DPR RI No.72 C/PIMP/III/2006-2007) untuk mengimplementasikan rekomendasi tersebut. Pada September 2009, Tim mengeluarkan buku “Laporan Hasil Tim Peningkatan Kinerja DPR RI Jakarta, 29 September 2009). Sepanjang sejarah DPR, inilah upaya reformasi internal DPR yang sistematis, bandingkan dengan kunjungan mereka saat ini yang cuma 2-3 hari. Publik perlu diberi tahu apa dan mengapa hasil rekomendasi ini tidak dapat dipergunakan lagi oleh anggota periode sekarang? Apakah solusinya harus ke luar negeri? Dimana fungsi Tenaga Ahli yang terus bertambah, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) DPR RI, serta staf-staf fungsional DPR lain. Mengenai renstra DPR 2010-2014, sebenarnya telah diputuskan di rapat pleno BURT.
Selain soal besaran anggaran, cara DPR menetapkan studi banding juga terkesan asal-asalan. Hampir semua pembahasan RUU, menyertakan agenda studi banding ke luar negeri. Terlepas diperlukan atau tidak, pokoknya studi banding, sebuah cara berpikir yang tidak logis. Bahkan jika pun bahan yang dicari ternya ada, “Jangan dibuka dulu, nanti studi bandingnya gak jadi,” kata salah seorang oknum anggota DPR. Yang menggelikan, studi bandingnya jalan terus, RUU yang dibahas tidak kunjung selesai. Lalu apa manfaatnya bagi rakyat? Apalagi jika bicara soal akuntabilitas publik, sangat memprihatinkan.
Mereka tahu itu semua. Tapi, mereka juga tahu bahwa ragam pertimbangan itu kadang tidaklah penting, sebab ada jenis kunjungan yang sekadar “jatah” pemerataan jalan-jalan, sebab mereka mengerti kalau tidak sekarang, kapan lagi, sebab mereka mungkin tahu selisih uang perjalanan ke luar negeri lumayan menggiurkan sekitar Rp 10 juta sampai Rp 20 juta bahkan lebih, sebab mereka tahu “l’argent n’a pas d’odeur” uang tidak bau, kata orang Prancis, sehingga semua orang pasti mendambakannya.
Rapat BURT tidak Pro Publik
Cukup dengan mengada-ngada, maka ada. Mungkin kalimat itu pas menggambarkan DPR dalam menetapkan beberapa program kontroversialnya. Selain kunjungan ke Prancis, Jerman, dan Maroko, juga rencana pembangunan gedung DPR yang pembahasannya terus berjalan, dugaan korupsi proyek renovasi pembangunan Rumah Jabatan Anggota DPR di Kalibata dengan total kerugian negara sebesar Rp 139 miliar yang laporannya telah masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lain-lain.
Berbagai kegaduhan agenda itu, dihasilkan dari sebuah proses yang tertutup di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Sejauh ini, semua rapat-rapat BURT tidak dapat diakses oleh publik. Di sinilah, beragam kontroversi itu dimulai. Padahal merujuk Pasal 200 UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dinyatakan, “Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.” Demikian juga dalam Peraturan Tata Tertib DPR, Pasal 240, disebutkan, “Setiap rapat bersifat terbuka, kecuali yang dinyatakan tertutup.”
Namun bagaimana publik bisa mengetahui rapat itu terbuka atau tertutup, untuk masuk ke ruangan rapat saja dilarang. Ketertutupan dapat memicu orang yang jujur menjadi jahat. Apalagi, jika jejak rekamnya memang hitam. Dengan landasan hukum di atas, rapat-rapat di BURT, seharusnya terbuka untuk umum. Dalih bahwa rapat BURT tidak dapat dibuka untuk umum karena yang dibahas adalah urusan internal DPR tidak dapat diterima, sebab apa yang mereka bahas tetap terkait dengan kebijakan publik dan menggunakan uang Negara.
DPR pun tentu tidak lupa dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang mereka hasilkan bersama pemerintah. Dengan landasan UU itu, maka DPR wajib mempublish laporan kinerja mereka. Terkait dengan studi banding, maka DPR semestinya memberikan laporan kepada publik mengenai: latar belakang masalah, tujuan, jadwal, anggaran yang digunakan, kegiatan yang dilakukan selama studi banding, hasil yang diperoleh, indikator keberhasilan, dan dampak studi banding tersebut. Publik sendiri berhak memintanya jika DPR tidak menyampaikan laporan itu.
DPR sejatinya menjadi teladan dalam implementasi UU yang ia lahirkan sendiri. Tetapi kenyataannya, selama dua tahun masa persiapan pelaksanaan UU KIP, DPR belum juga siap. Bukalah situsnya (dpr.go.id), informasi yang disampaikan sangat normatif. Adakah informasi tentang hal-hal di atas, dalam studi banding mereka ke Prancis, Jerman, Maroko, dan studi-studi banding sebelumnya? Atau adakah informasi latar belakang pembangunan gedung baru yang terus dibahas? Tidak ada.
Padahal UU KIP yang dibuat dan disahkan oleh DPR dan pemerintah itu sendiri menyebutkan, setiap Badan Publik wajib mengumumkan Informasi secara berkala (paling singkat 6 bulan sekali) meliputi: a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik; b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait; c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 9).
Sementara dalam Pasal 11 ayat (1), Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi: a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya; c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya; d. rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik; e. perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga; dst.
DPR wajib membuka diri dan melaksanakan apa yang mereka undangkan. Dengan keterbukaan demikian, jika pun tingkah mereka tak mampu dikontrol, setidaknya kita tahu, seperti apa wajah-wajah yang telah kita pilih? Semoga kunjungan itu memberi hasil yang diinginkan. Selebihnya, sebuah inspirasi ketegasan Nicolas Sarcozy dan François Fillon, bukan cerita di Histoire de la folie à l’classique, tentang manusia yang memiliki hasrat akan kuasa, harta, dan kehormatan duniawi lalu mendobrak semua penghalangnya dengan segala cara. Publik negeri ini, tak akan pernah mendeskripsikan kegilaan sebagai hal yang positif.