PERS DAN UU KIP
Jakarta, ipc.or.id – Di beberapa training, kami mendapatkan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya perlakuan Badan Publik terhadap pers dalam pelayanan informasi publik. Apakah Badan Publik menggunakan mekanisme UU KIP ketika melayani permintaan informasi publik oleh pers?
Pasca diberlakukan pada April tahun 2010, memang ada kekhawatiran di kalangan pers bahwa UU ini akan merepotkan mereka dalam mendapatkan data. Karena itu, pada 14 Juli 2011, Komisi Informasi Pusat membangun Nota Kesepahaman (MoU) dengan Dewan Pers. Tujuannya, untuk memastikan bahwa kinerja pers tidak “terganggu” dengan mekanisme UU KIP. Bisa dibayangkan, repotnya wartawan jika mendapatkan dokumen yang diminta pada 10 + 7 hari kerja, padahal deadline-nya besok. Nah, MoU ini pun diharapkan menjadi dasar pengecualian prosedural terhadap UU KIP. “Kalau dengan pers, ya jangan gunakan UU KIP,” Begitu kira-kira pesan MoU tersebut.
Sebenarnya, khusus wartawan, unit yang melayani mereka bukanlah PPID, tapi unit khusus – lazimnya disebut Humas. Tugas unit ini mengarahkan wartawan untuk wawancara pada pejabat tertentu; mengorganisir konferensi pers; mengolah dan memberikan press release; menginformasikan kegiatan-kegiatan pejabat Badan Publik untuk liputan media; menyediakan dokumen yang dibutuhkan wartawan, dan lain-lain.
Sebagaimana disampaikan di atas, jika ada dokumen yang dibutuhkan wartawan, tugas Humas untuk melayani. Humas dapat berkoordinasi langsung dengan unit yang menguasai dokumen tersebut. Unit ini dapat memberikan dokumen yang diminta dengan memastikan terlebih dahulu bahwa informasi yang diminta bukanlah informasi pribadi dan/atau informasi publik yang dikecualikan. Untuk memastikan ini, unit tersebut dapat berkoordinasi terlebih dahulu dengan PPID.
UU Pers sendiri menegaskan bahwa peran pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (pasal 6 huruf d UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers). Frase “kepentingan umum” menunjukkan bahwa ada hal membatasi wilayah peran pers tersebut, yaitu kepentingan umum. Badan Publik berhak menolak permintaan informasi yang tidak relevan dengan kepentingan umum.
Apa ukurannya? Jika yang diminta informasi pribadi yang bersifat rahasia dan/atau informasi publik yang dikecualikan, maka Badan Publik dapat menolak permintaan tersebut. Tapi bagi pers, tentu ada standar yang berbeda dengan Badan Publik dalam memaknai kepentingan publik. Pers jelas lebih sensitif. Bisa jadi, apa yang dikecualikan oleh Badan Publik, justru menjadi wilayah yang harus diungkap oleh pers karena ada kepentingan publik yang harus diungkap. Karena itu, cara pers mendapatkan informasi tak semata dengan permintaan dokumen, wawancara, pemetaan lapangan, tapi juga hingga penyamaran hingga “pencurian” dokumen.
Televisi ABC pernah membuat penyamaran untuk membongkar perlakuan buruk terhadap anak-anak cacat mental di sebuah rumah sakit. Rumah sakit akhirnya mengubah kebijakan mereka. Pemerintah setempat pun minta maaf. Lalu terjadi perubahan besar-besaran aturan pemerintah soal rumah sakit anak-anak cacat. Link
Dalam kasus di atas menunjukkan bahwa dalam menjalankan perannya, pers memang perlu melakukan berbagai cara untuk mendapatkan dokumen atau informasi, termasuk investigasi. Investigasi sendiri menurut Bill Kovach sebaiknya dilakukan jika narasumber tidak memberikan data yang diminta. Dengan kata lain, ada indikasi dimana narasumber menyembunyikan data tersebut.
KEWAJIBAN MENJAGA RAHASIA NEGARA
Dalam proses investigasi, mungkin saja pers mendapatkan informasi pribadi, informasi bisnis yang bersifat rahasia, dan/atau informasi publik yang dikecualikan. Untuk itu, ada empat yang perlu diperhatikan.
Pertama, wartawan juga memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan sebuah informasi, sesuai tingkatannya. Mengacu pada regulasi kearsipan, ada tiga tingkat kerahaasiaan. Sangat rahasia, rahasia, dan terbatas.
Sangat Rahasia adalah klasifikasi informasi dari arsip yang memiliki informasi yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau keselamatan bangsa.
Rahasia adalah klasifikasi informasi dari arsip yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional dan/atau ketertiban umum.
Terbatas adalah klasifikasi informasi dari arsip yang memiliki informasi yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pemerintahan.
(PERKA ANRI NO. 17 Tahun 2011)
Wartawan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan/atau keselamatan bangsa, antara lain dengan tidak memberitakan informasi yang bersifat sangat rahasia. Namun pada praktiknya, mungkin saja muncul dilema. Misalnya, apakah wartawan menjaga nama baik negara ataukah berpihak korban-korban aparatur negara dalam sebuah kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu?
Jika Badan Publik memiliki mekanisme uji konsekuensi untuk mengecualikan sebuah informasi publik, maka sebaiknya pers memiliki mekanisme untuk menguji apakah sebuah informasi yang bersifat sangat rahasia itu, memang secara substansial bersifat rahasia atau sekadar kerahasiaan yang bersifat politis. Misalnya, untuk melindungi kejahatan kemanusiaan, korupsi, atau penyimpangan dari pejabat tertentu. Jika yang terjadi hanyalah kerahasiaan politis seperti ini, maka pers dapat melakukan investigasi dan membuka hasilnya ke publik.
Cara mengujinya sederhana. 1. Jika kasus ini diungkap, apakah negara secara institusi dirugikan kedaulatan, keutuhan, dan keselamatannya? Atau yang dirugikan hanyalah aparatur tertentu karena posisi mereka sebagai pelaku. 2. Jika kasus ini diungkap, apakah akan berdampak pada kepentingan umum atau tidak.
Contoh lainnya, seorang calon Gubernur memiliki sejumlah perusahaan tambang. Ini adalah informasi pribadi yang mungkin saja tidak bisa didapatkan dari formulir resmi pada saat pencalonan (formulir BB.2-KWK), tetapi pers mengetahuinya melalui investigasi. Informasi ini memiliki relevansi dengan kepentingan umum sehingga layak untuk diberitakan (potensi konflik kepentingan).
Beda halnya, jika informasi tersebut menyangkut strategi perang TNI untuk menghadapi ancaman serangan dari negara lain. Jika ini dibuka, maka bisa saja kelemahan Indonesia terungkap dan berpotensi menyebabkan terganggunya keutuhan wilayah Indonesia. Pers bertanggungjawab untuk tidak memberitakannya.
Apakah ada batasan wilayah privasi seorang pejabat publik? Bagi badan publik, batasan ini jelas. Informasi pribadi pejabat publik dikecualikan (yang dapat dibuka) pada batas-batas tertentu. Untuk calon Kepala Daerah dapat dilihat di Formulir BB.2-KWK. Isi formulir ini, yaitu:
- Data pribadi (Nama lengkap, tempat tanggal lahir, NIK, usia, alamat tempat tinggal, email, jenis kelamin, status perkawinan, agama, NPWP, hobi, moto hidup);
- Riwayat pendidikan (jenjang, institusi, tahun masuk-keluar);
- Pengalaman pekerjaan (jabatan, institusi, tahun);
- Pengalaman organisasi (jabatan, institusi, tahun);
- Publikasi (judul, tahun terbit);
- Penghargaan (nama penghargaan, institusi, tahun);
- Data keluarga (hubungan keluarga, nama, pekerjaan);
- Lain-lain.
Selain itu, calon Kepala Daerah juga diwajibkan melaporkan Laporan Harta Kekayaan. Inilah informasi pribadi yang dibuka ke publik. Jika pers ingin mendapatkan di luar informasi di atas, maka mereka perlu melakukan investigasi. Bagi pers, batasan informasi pribadi yang boleh dibuka memiliki batasan yang lebih lentur. Kembali pada sejauhmana mereka memaknai “kepentingan umum”.
Kedua, wartawan sebaiknya menggunakan hak tolak, yaitu merahasiakan nama dan identitas lain dari sumber/pemberi informasi publik yang potensial dikecualikan atau bersifat sensitif. Ketiga, kadang kita menemukan pers memberikan sebuah informasi yang tidak tepat secara substansti karena informasi tersebut belum final. Dalam hal ini, wartawan perlu memberikan ruang bagi Badan Publik untuk mengajukan hak jawab, hak koreksi, dan memberikan tanggapan atas somasi yang dilayangkan.
(Arbain, Manager Kampanye IPC)