Mendorong Efektivitas Kerja DPR
Oleh: Erik Kurniawan
Bahan masukan yang disusun ini akan mencoba memberikan rekomendasi pada dua hal; pertama untuk mengefektifkan kerja parlemen, dan; kedua terhadap upaya penguatan kepada sistem pendukung parlemen.
- 1. Mendorong efektifitas kerja Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat)
Upaya mendorong efektifitas kerja parlemen dalam hal ini DPR telah dilakukan melalui beberapa tahap. Sedari awal salah satu mandat UU pemilihan umum legislatif adalah mendorong efektifitas kerja DPR melalui penyederhanaan partai politik atau menciptakan sistem multipartai sederhana. Sebagai produk dari pemilu, proyeksi kelembagaan sistem kepartaian di DPR bisa dilihat dari hasil Pemilu 2014.
Pemilu 2014 meloloskan 10 partai politik ke DPR, jumlah ini lebih banyak dari Pemilu 2009. Namun pertanyaannya apakah sistem kepartaian yang dibangun pasca pemilu juga membentuk sistem kepartaian?
Jika dilihat berdasarkan komposisi perolehan kursi yang sangat terfragmentasi (menyebar) dan porsi penguasaan kursi pemenang pemilu hanya 19,46% akan mengindikasikan sistem kepartaian yang juga menyebar. Jika dihitung berdasarkan indeks Effective Number Of Parliamentary Parties ((ENPP)[1] sistem kepartaian yang terbentuk adalah 8,1 atau 8 sistem kepartaian. Dengan demikian misi penyederhanaan partai untuk meciptakan sistem multipartai sederhana telah gagal[2].
Sebagai perbandingan berikut hasil penghitungan Indeks ENPP dari empat kali pemilu paskareformasi
Pemilu |
Jumlah Partai Politik masuk DPR |
Sistem kepartaian dengan Indeks ENPP |
1999 |
21 |
4,7 |
2004 |
12 |
7,1 |
2009 |
9 |
6,2 |
2014 |
10 |
8,1 |
Dari data tersebut bisa diambil kesimpulan semakin sederhana sistem kepartaian yang dibentuk hasil pemilu maka akan berbanding lurus dengan efektifitas kerja parlemen. Indikator sederhana DPR periode 1999-2004 mampu melaksanakan fungsi legislasi dengan baik (175 dari 200 RUU di Prolegnas) ditambah dengan empat kali perubahan UUD 1945. Ini lebih baik jika dibandingkan dengan DPR periode 2004-2009 maupun 2009-2014.
Beberapa hal yang bisa menjadi rekomendasi dalam rangka mengefektifkan kerja parlemen melaui sistem kepartaian:
- a. RUU MD3 bisa meneruskan mandat UU Pemilu untuk mencapai tujuan penyederhanaan sistem kepartaian di parlemen melalui pengetatan syarat pembentukan fraksi.
- b. Pengelompokan legislator dengan tiga model pengelompokan: 1. Fraksi; 2. Kelompok anggota; 3. Legislator tanpa Fraksi.[3] Hal ini untuk mengakomodasi partai yang lolos ke parlemen dengan porsi penguasaan kursi yang minin dan tidak mau bergabung untuk membentuk fraksi.
- c. Penyederhanaan partai melalui pengisian anggota komisi. Opsi ini bisa diambil jika syarat fraksi tetap seperti yang diatur dalam RUU Perubahan UU MD3. Setiap partai yang lolos ke parlemen berhak membentuk fraksi, namun tidak semua frkasi bisa masuk ke seluruh komisi.
Simulasi penyederhanaan partai melalui pengisian anggota Komisi.
No |
Partai |
Jumlah Perolehan Suara |
% |
Perolehan Kursi |
% |
Alokasi Komisi |
1 |
Partai Nasdem |
8.402.812 |
6,89% |
35 |
6,25% |
4 |
2 |
PKB |
11.298.957 |
9,26% |
47 |
8,39% |
5 |
3 |
PKS |
8.480.204 |
6,95% |
40 |
7,14% |
4 |
4 |
PDI Perjuangan |
23.681.471 |
19,41% |
109 |
19,46% |
11 |
5 |
Partai Golkar |
18.432.312 |
15,11% |
91 |
16,25% |
9 |
6 |
Partai Gerindra |
14.760.371 |
12,10% |
73 |
13,04% |
7 |
7 |
Partai Demokrat |
12.728.913 |
10,43% |
61 |
10,89% |
6 |
8 |
PAN |
9.481.621 |
7,77% |
49 |
8,75% |
5 |
9 |
PPP |
8.157.488 |
6,69% |
39 |
6,96% |
4 |
10 |
Partai Hanura |
6.579.498 |
5,39% |
16 |
2,86% |
2 |
Total |
122.003.647 |
100,00% |
560 |
100,00% |
Komisi dan Efektifitas Kerja Parlemen
Komisi merupakan tulang punggung DPR dalam melaksanakan tugasnya. Setiap Anggota DPR harus masuk dalam setiap komisi. Pelaksanaan tugas DPR baik di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran sehari-hari dilaksanakan dalam komisi[4]. Yang menjadi permasalahan adalah kekakuan DPR dalam menentukan jumlah komisi, padahal kewenangan tersebut dimiliki oleh DPR.
Bisa dibayangkan dengan jumlah komisi yang saat ini hanya sebelas, harus menangani 46 ruang lingkup kerja dan berhadapan dengan 31 kementerian (plus 3 kementerian koordinator) dan mitra kerja lainya. Artinya 1 komisi DPR harus menangani rata-rata 4 ruang lingkup kerja atau 3 kementerian – dan belum badan/lembaga negara lainnya. Artinya, jumlah komisi di Indonesia lebih rendah ketimbang jumlah ruang lingkup kerja atau kementerian.
Tabel Komisi dan Mitra Kerja
Komisi |
Mitra Kerja |
Komisi I | Kemenhan, Kemenlu, TNI, Kominfo, Wantannas, BIN, LEMSANEG, Lembaga Kantor Berita Nasional, Dewan Pers |
Komisi II | Kemendagri, Kemen PAN, SetNeg, LAN, BKN, BPN, ANRI, KPU, Bawaslu |
Komisi III | Kemenkumham, Kejagung,PORRI, KPK, Komisi Ombudsman Nasional, KHN, KOMNAS HAM, MA, MK, Setjen MPR,Setjen DPD, PPATK, BPHN, KY |
Komisi IV | Kementan, Kemenhut, Kemen K&P, Bulog, dan Dewan Maritim Nasional |
Komisi V | Kemen PU, Kemenhub, Kemenpera, Kemen PPDT, BMKG |
Komisi VI | Kementrian Perindustrian, Kemendag, Kemenkop & UKM, Kementrian BUMN, BKPM, BSN, BPKN, KPPU |
Komisis VII | Kementrian ESDM, Kementrian LH, Kemenristek, BPPT, Dewan Riset Nasional, LIPI,BATAN, BAPETAN, BAKOSURTANAL, LAPAN, BPH Migas, BP Migas. |
Komisi VIII | Kemenag, Kemenag, KPP & PA, KPAI, BNPB |
Komisis IX | Kemenkes, Kemenakertrans, BKKBN, BPOM, BNP2TKI,PT Jamsostek, PT Askes |
Komisi X | Kemendiknas, Kemenbudpar & ekonomi Kreatif, Kemenpora, Perpustakaan Nasional, BPBUDPAR |
Komisi XI | Kemenkeu, BAPPENAS, BI, Lembaga Keuangan Bukan Bank, BPKP), BPS, BPK |
Diolah dari www.dpr.go.id
Sebagai perbandingan, Di Cile pada tahun 2002, terdapat 17 kementerian, 18 komisi di DPR, dan 19 komisi di Senat. Di DPR Jerman, untuk setiap ruang lingkup kerja terdapat satu komisi, bahkan dalam masa kerja periode ke 17, Bundestag (DPR Jerman) memiliki 22 Komisi dengan 22 ruang lingkup kerja dan hanya berhadapan dengan 14 kementerian. Lebih lanjut, beberapa negara cukup royal dalam menentukan jumlah komisi, misalnya di Argentina dan dan Meksiko, DPR di masing-masing negara tersebut memiliki 38 dan 43 komisi.[5]
Tabel Jumlah komisi di berbagai negara
Negara |
Jumlah Komisi |
Masa Jabatan |
Ditetapkan oleh |
Argentina |
38 |
2 tahun | Pleno atau Ketua Parlemen |
Bolivia |
12 |
1 tahun | Ketua Parlemen&Fraksi&Pleno |
Brazil |
16 |
tak ditetapkan | Ketua Parlemen&Komisi Pengendalian |
Cile |
17 |
4 tahun | Ketua Parlemen&Pleno |
Ekuador |
20 |
1 tahun | Ketua Parlemen |
Kolumbia |
16 |
4 ahun | Pleno |
Meksiko |
42 |
2 tahun | Komisi Pengendalian&Pleno |
Paraguay |
22 |
1 tahun | Pleno atau Ketua Parlemen |
Peru |
15 |
tak ditetapkan | Ketua Parlemen&Fraksi&Pleno |
Uruguay |
15 |
tak ditetapkan | Fraksi&Komisi Khusus |
Venezuela |
22 |
1 tahun | Ketua Parlemen&Presidium |
(Tabel dikutip dari: Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 97) diambil dari makalah Pipit R kartawidjaja, Memperkuat Sistem Presidensialisme, Makalah yang disampaikan pada Expert Meeting di Indonesian Parliamentari Center (IPC), Jakarta, 2012.
- 2. Upaya penguatan kepada sistem pendukung parlemen.
Pembangunan sistem pendukung yang dijalankan oleh birokrasi harus menyasar pada dua hal; Pertama, susunan organisasi sekretariat jenderal (setjen) dan kedua mengenai model kepegawaian dalam rangka mendorong profesionalitas kerja sistem pendukung.
Mengenai susunan organisasi struktur yang ada berdasarkan Draf RUU sudah cukup baik dengan adanya pusat kajian legislasi, pusat kajian anggaran, pusat perancangan UU dan P3Di. Bisa disesuaikan dengan kolompok ruang lingkup kerja DPR atau berdasarkan fungsi yang melekat di DPR.
Mengenai model kepegawaian Beberapa negara yang telah mengalami transformasi administrasi negara secara modern personel birokrasi tidak hanya diisi oleh PNS. Jerman Misalnya, personel birokrasi dibedakan kedalam beberapa kalsifikasi yaitu PNS, Pegawai Publik Non-PNS, dan pegawai Honorer.
Model kepagawaian seperti ini bia menjadi rujukan dalam perekrutan personel sistem pendukung di DPR. PNS didisain sebagai posisi yang istimewa dalam sistem kepegawaian. PNS diproyeksikan untuk menempati jabatan struktural. Sedangkan pegawai publik non-PNS direkrut untuk mengisi posisis-posisi yang membutuhkan pegawai tetap dan dapat diproyeksikan terhadap tenaga ahli AKD dan Tenaga Ahli Anggota, dimana perekrutannya berdasarkan keahlian dan dan sistem penggajiannya berdasarkan prestasi. Sementara tenaga honorer direkrut untuk mengisi kebutuhan pelaksanaan tugas keparlemenan yang sifatnya tidak permanen, misalnya pembahasan RUU tertentu saja.
Selain dua hal diatas, skema sistem pendukung juga perlu juga mengkaji mengenai dukungan negara terhadap anggota dewan. Berapakah ideal jumlah tenaga ahli bagi setiap anggota DPR?
berdasarkan pada tipologi parlemen yang dikemukakan oleh Willfred Steffani yang membedakan parlemen kepada Rede (parlemen yang berbicara) dan Arbeitsparlament (parlemen yang bekerja). Pembedaan tersebut memunculkan juga pembedaan dalam hal dukungan negara kepada seorang anggota dewan. Misalnya, di Jerman seorang anngota dewan didukung oleh 4 sampai 5 tenaga ahli –Jerman merupakan tipe parlemen yang berbicara-. Sementara di AS seorang senator bisa didukung lebih dari 100 tenaga ahli –AS merupakan sistem parlemen yang bekerja-.[6] (lihat lampiran I)
Mengacu pada tipologi diatas, perlu dibaca kecenderungan model parlemen kita lebih condong kemana. Hal ini sebagai dasar dalam pemberian dukungan oleh negara terhadap anggota DPR. Tentunya disesuiakan dengan kondisi sosiologis dan kemampuan keuangan negara.
Perbandingan dukungan negara untuk Legislatur dan Parlemen
Tunjangan Negara Untuk Seorang |
|
Perwakilan |
Delegasi |
Legislatur AS |
Parlemen Jerman |
sampai dengan 15 Tenaga Ahli (DPR) dan antara 13 sampai dengan 70 Tenaga Ahli (Senat) | sampai dengan 4 atau 5 Tenaga Ahli |
Tenaga Ahli terdiri dari asisten legislatif dan administratif (di kantor legislatif) serta case worker (di daerah pemilihan) | Tenaga Ahli terdiri dari 2 TA bidang administratif dan sisanya lingkup kerja sang legislator |
Data untuk tahun 1980. Untuk bisa membayangkan, TA DPR dan Senat AS tahun 1960an berjumlah 6.300 orang. Dua dasawarsa kemudian meningkat menjadi 15.000 orang (Sumber: Kurt L. Shell, Kongress und Praesident, dalam Willi Paul Adams/Peter Loesche (Hrsg.), Laenderbericht USA, Bundeszentrale fuer politische Bildung alias Lembaga Pendidikan Politik Federal Jerman, Band 357, Bonn 1998, hal. 213-214) | Sumber: Aufwandsentschädigung für die Abgeordneten des Deutschen Bundestages, http://www.bundestag.de/ bundestag/abgeordnete17/mdb_diaeten/1334d.html dan Suzanne S. Schuette-meyer, Parlamentarische Demokratie, Informationen zur politischen Bildung, No 295/2007, Bundeszentrale fuer politische Bildung, Bonn, hal. 23 |
Sumber: makalah Pipit R kartawidjaja, Memperkuat Sistem Presidensialisme, Makalah yang disampaikan pada Expert Meeting di Indonesian Parliamentari Center (IPC), Jakarta, 2012
Sebagai perbandingan berikut ditampilkan dukungan negara terhadap anggota dewan beberapa negara di Amerika Latin.
Dukungan Tenaga Ahli (TA) di Beberapa Negara
Negara |
DPR |
Senat |
Badan Perlengkapan |
Argentina |
2 TA |
10 TA |
Komisi 8 s/d 12 TA |
Brazil |
Per bulan maksimal 20.000 US$, per pos jabatan 4.000 US$ |
6 s/d 9 TA |
Baleg memiliki 188 TA |
Kolumbia |
5 TA |
5 TA |
|
Meksiko |
tak ada |
tak ada |
TA per fraksi |
Uruguay |
5 TA (biasanya PNS Kementerian) |
Sumber: makalah Pipit R kartawidjaja, Memperkuat Sistem Presidensialisme, Makalah yang disampaikan pada Expert Meeting di Indonesian Parliamentari Center (IPC), Jakarta, 201
[1] Indeks ini dikenalkan oleh Marku Laakso dan Rein Tagaapera dan disepakati oleh ahli pemilu untuk mengukur sistem kepartaian berdasarkan jumlah efektif partai di parlemen bukan jumlah riil partai di parlemen.
[2] Merujuk pada sistem kepartaian berdasarkan definisi Giovani Sartori dinyatakan sebagai berikut; sistem partai tunggal (dimana terdiri dari satu partai dominan), sistem dua partai (dimana terdapat dua partai dominan), sistem multipartai sederhana (dimana terdapat 3-5 partai dominan), dan sistem multi partai ekstrim (dimana terdapat lebih dari 6 partai yang hadir di parlemen). Namun harus diingat, jumlah partai yang dimaksudkan oleh Sartori adalah jumlah efektif partai berdasarkan indeks ENPP, dan bukan berdasarkan jumlah riil partai politik yang hadir di parlemen. Lihat Sartori, Giovanni, Parties and Praty system: A Frameworks of Analysis, New York: Cambridge University Press, 1976.
[3] Biasanya perbedaan antar pengelompokan anggota tersebut pada hak yang melekat. Fraksi paling kuat dalam kepemilikan hak, misalkan masuk AKD dan mengajukan RUU, kelompok anggota hanya bisa masuk AKD tapi tidak bisa mengusulkan RUU namun ikut membahas. Sedangkan legislator tanpa fraksi hanya menjadi penyerap informasi yang ikut rapat saja tanpa hak megusulkan RUU dan masuk dalam AKD. Pipit R Kartawidjaya, Mempekuat sistem Presidensialisme, Bahan Ekspert Meeting Indonesian Parliamentary Center (IPC), 2012.
[4] Pasal 96 UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan pasal 53 Peraturan Tata Tertib DPR mengatur tugas komisi mencakup tugas di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran.
[5] Pipit R Kartawidjaja, Tentang Efektivitas dan Efisiensi Keparlemenan atau Penciptaan Multikepartaian Sederhana di dalam Tubuh Parlemen, naskah tidak diterbitkan.
[6] Pipit R Kartawidjaja. Penguatan Sistem Presidensial Melalui Pemerkasaan Parlemen. 2012