Keterkaitan UU Pemilu dan UU MD3 dalam Kerangka Efektifitas Kinerja Parlemen dan Relasi dengan Konstituen

Urusan bernegara kian hari kian berkembang. Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai representasi masyarakat dituntut untuk mampu menjawab masalah yang berkembang dalam berbagai urusan tersebut dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu DPR harus mampu bekerja secara efektif, namun di sisi lain juga harus representatif. Representatif dicapai jika relasi antara anggota DPR dan konstituen berjalan dengan baik.

Memenuhi tuntutan bekerja secara efektif dan representatif secara bersamaan bukan hal mudah. Membutuhkan desain kelembagaan, mekanisme kerja dan sistem pendukung yang kuat serta komunikasi publik.

Pada Januari 2016, Indikator Survey Indonesia mempublikasikan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap DPR berada pada urutan kelima dari enam lembaga negara sebesar 48,5 persen. Agustus 2016, CSIS merilis tingkat kepercayaan publik terhadap DPR pada urutan ke 13 lembaga negara sebesar 60,1 persen dan tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja DPR sebesar 55,2 persen. Dalam persepsi publik, DPR belum dianggap sebagai lembaga yang dipercaya dan bekerja dengan baik.

Dalam pandangan Indonesian Parliamentary Center, persepsi yang kurang baik tersebut muncul setidaknya dikarenakan tiga hal. Pertama porsi pemberitaan media mengenai DPR yang lebih banyak menyangkut isu-isu korupsi, pelanggaran hukum dan intrik poltik. Kedua, desain kelembagaan yang kurang efektif sehingga berdampak pada kinerja yang kurang efektif. Ketiga, desain kelembagaan yang kurang representatif berdampak pada relasi dengan konstituen yang kurang maksimal. Selengkapnya bisa klik link bawah ini

https://drive.google.com/file/d/1QzWrb8FutMRlzZODiAMz68Icxnz4d_6H/view?usp=sharing

Share your thoughts