Jumlah Perisalah Terbatas Mengakibatkan Minimnya Publikasi Risalah

Pewarta: Dwi Kurnia

Editor: Arbain

Jakarta, ipc.co.id – Publikasi risalah di tingkat komisi DPR masih minim, selama 2022 ada dua komisi yang tidak pernah mempublikasikan risalah yaitu Komisi VIII dan Komisi IX. Sementara itu, jumlah perisalah terbatas, petunjuk teknis atau jangka waktu pembuatan risalah masih dalam proses, hingga kriteria rapat tertutup belum diperjelas menjadi pemicu minimnya publikasi risalah. Hal ini menjadi perbincangan dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesian Parliamentary Center (IPC) di Hotel Santika, Cikini, Jakarta Barat pada Kamis, (9/3).

Annisa Nur Nia Rahmah, Perisalah Legislatif Ahli Pertama, Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR menjelaskan, proses pembuatan risalah di DPR, tidak secepat yang diperkirakan. Mekanisme yang panjang hingga menjadi risalah dimulai dengan transkip, kemudian perlu validasi dengan melihat kembali bahan rapat, setelah itu dilakukan verifikasi oleh anggota Alat Kelengkapan Dewan (AKD), barulah risalah tersebut di upload di kanal partisipasi publik seperti Sistem Informasi Risalah (SIRIH), Sistem Informasi Legislasi (SILEG) DPR, dan Sistem Informasi Arsip (SIAr). Beban kerja tersebut tidak sebanding dengan jumlah perisalah.

Saufa A Taqiya, peneliti IPC mengungkapkan hasil temuannya, saat ini DPR memiliki 30 Perisalah Legislatif dan 18 Asisten Perisalah Legislatif. Padahal jumlah idealnya ada 55 Perisalah Legislatif dan 110 Asisten Perisalah Legislatif. Jika dibandingkan dengan jumlah rapat DPR dengan memerlukan risalah, masih jauh dengan sebutan jumlah ideal. Sedangkan regulasi yang mengatur risalah seperti Permenpan No. 26/2017 tentang Jabatan Fungsional Perisalah Legislatif, Permenpan No. 27/2017 tentang Jabatan Fungsional Asisten Perisalah Legislatif, Peraturan Badan Kepegawaian Negara No. 20/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Jabatan Fungsional Perisalah Legislatif, dan Peraturan Badan Kepegawaian Negara No. 25/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Jabatan Fungsional Perisalah Legislatif tidak dijelaskan secara terperinci mengenai jumlah kebutuhan Perisalah Legislasi dan Asisten Perisalah Legislasi.

Ketentuan mengenai jangka pembuatan risalah, petunjuk teknis ataupun standar operasional prosedur masih dalam tahap proses pembuatan. Setjen DPR, masih terus berupaya menyesuaikan petunjuk teknis dengan kondisi yang ada serta sesuai dengan peraturan diatasnya.

Novianti, Kepala Sekretariat Komisi III DPR menjelaskan, ada beberapa risalah yang tidak dapat di upload atau dikecualikan, seperti rapat-rapat panja dalam rangka penyusunan RUU atau rapat yang diadakan secara tertutup. Hal ini diatur dalam Pasal 229 UU  No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan bahwa semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. Namun, tidak ada aturan lengkap terkait rapat tertutup. “Rapat tertutup tidak bisa ditentukan oleh satu atau dua orang saja, tapi dengan persetujuan pimpinan melalui rapat pimpinan,” lanjutnya.

“Walaupun semua rapat DPR pada dasarnya bersifat terbuka, jika terlalu banyak rapat tertutup bisa menjadi polemik karena tidak ada kriteria yang jelas, alasan rapat tertutup hingga SOP nya tidak ada. Hal ini bisa dikaji lagi oleh teman-teman IPC terkait rapat tertutup,” ujar Lumina Mentari, Staf Tenaga Ahli Open Parlemen Indonesia.

Perisalah tetap membuat transkrip risalah untuk seluruh rapat meski rapat dinyatakan tertutup, namun transkrip tersebut tidak dipublikasikan jika tanpa perizinan dari pimpinan rapat. “Semua rapat DPR harus ditranskrip karena menurut saya, DPR bagaikan rumah yang seharusnya dibuka tirainya dan dikasih pintu bagi masyarakat untuk berpartisipasi, salah satunya produk risalah,” ujar Nia.

Perisalah dan Asisten Perisalah Legislatif merupakan jabatan fungsional di Setjen DPR, yang memiliki tugas khusus dalam melayani DPR terkait perekaman, penulisan, penyimpanan risalah setiap kegiatan rapat yang dilakukan anggota dewan. Jabatan tersebut sangat penting dalam upaya pengawalan transparansi serta pembentukan kebijakan yang dihasilkan dari rapat serta persidangan yang dilakukan anggota dewan. 

Choris Satun Nikmah, Peneliti IPC menyatakan, demi terwujudnya tata pemerintahan yang baik, DPR masih mempunyai pekerjaan rumah dalam memenuhi prinsip partisipasi, akuntabilitas, pengawasan publik, serta transparansi. Salah satu yang diharapkan oleh masyarakat adalah transparansi kebijakan pemerintah, khususnya penyusunan undang-undang. Maka dari itu, terjaminnya kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai bagi masyarakat perlu dipenuhi. 

 

CP: Choris Satun Nikmah: 089647883761

Share your thoughts