Efektifkan Kerja DPR, Tambah Jumlah Komisi!
Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai pimpinan DPR (ketua dan wakil ketua DPR). Belakangan, beredar informasi bahwa KMP juga sudah berbagi-bagi kursi Komisi dan alat kelengkapan lain. Berdasarkan kondisi ini, telah terjadi apa yang disebut parlementarisasi sistem presidensialisme sistem ketatanegaraan kita. Yang akan berlaku hingga lima tahun mendatang adalah logika sistem parlementer dalam sistem pemerintahan presidensial. Parlemen akan berlaku sebagai oposisi terhadap pemerintah karena KMP memegang kursi mayoritas.
Drama pemilihan Pemimpin DPR makin menguatkan logika tersebut setelah sebelumnya KMP (oposisi) berhasil “menjegal” kebijakan Pemerintahan baru Jokowi-JK melalui Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang hendak mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung. Mayoritas oposisi di DPR yang kuat, sebagai penyeimbang eksekutif rupanya akan terwujud pada DPR periode 2014-2019.
Sayangnya, hal tersebut muncul dalam konteks yang kurang ideal bagi masyarakat. Karena kebijakan yang dihasilkan DPR di masa yang akan datang akan sering bergesekan dengan aspirasi publik. Lihatlah, ketua DPR yang baru saja terpilih langsung diperiksa oleh KPK dan DPR menyetujui RUU Pilkada yang mencabut hak milih rakyat. Banyak hal yang menyandera KMP di masa yang akan datang, sehingga kemungkinan besar mereka akan selalu memilih posisi tawar menawar dengan pemerintah. Akhirnya, kepentingan publik bakal terabaikan oleh DPR, tapi nuansa politik transaksional akan lebih kental.
DPR yang kuat seharusnya menjadi alat kontrol dalam sistem ketatanegaraan kita melalui check and balances, diwujudkan dalam mengontrol kebijakan pemerintah agar pro rakyat, bukan diarahkan pada upaya mendelegitimasi pemerintahan yang ada. Belakangan ini upaya delegitimasi tersebut dan bagi-bagi kekuasaan malah yang dominan muncul dan dibaca dengan jelas oleh publik. Check and balances bukanlah jegal menjegal. Tak semata urusan politik transaksional. Tapi melihat apakah kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah sesuai dengan visi dan misi partai dan menjawab kebutuhan social masyarakat atau tidak.
Karenanya, adanya blok koalisi-oposisi mesti diikuti dengan dorongan penguatan efektifitas kerja DPR. Upaya tersebut hendaknya difokuskan pada restrukturisasi komisi dengan menambah jumlah komisi. Komisi merupakan tulang punggung DPR dalam melaksanakan tugasnya. Setiap Anggota DPR harus masuk dalam setiap komisi. Pelaksanaan tugas DPR baik di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran sehari-hari dilaksanakan dalam komisi. Yang menjadi permasalahan adalah DPR kaku dalam menentukan jumlah komisi. Padahal Berdasarkan UU MD3, kewenangan tersebut dimiliki oleh DPR Setiap awal periode DPR menetapkan jumlah komisi, mitra kerja komisi dan jumlah anggota alat kelengkapan DPR.
Baik pada DPR Periode 2004-2009 atau DPR Periode 2009-2014 menetapkan 11 komisi. 11 komisi tersbut harus menangani 46 ruang lingkup kerja dan berhadapan dengan 31 kementerian (plus 3 kementerian koordinator) dan mitra kerja lainya. Artinya satu komisi DPR harus menangani rata-rata empat ruang lingkup kerja atau tiga kementerian atau badan/lembaga negara lainnya. Dengan kondisi yang ada, dimana jumlah komisi di Indonesia lebih rendah ketimbang jumlah ruang lingkup kerja atau kementerian, bisa dibayangkan besarnya beban kerja setiap komisi. Ini tidak efektif. Maka jumlah Komisi harus diperbanyak untuk meningkatkan focus kerja anggota DPR dalam Komisi.
Berdasarkan kondisi diatas, kami dari Indonesian Parliamentary Center, mendorong DPR agar:
- Dalam penentuan jumlah komisi hendaknya mengikuti perkembangan dan kebutuhan yang ada, dan harusnya didasarkan pada ruang lingkup kerja atau jumlah kementerian yang ada. Jika didasarkan pada ruang lingkup kerja, berarti DPR membentuk 46 komisi. Jika mengacu pada penyesuaian jumlah kementrian, maka DPR membentuk 34 komisi pada permulaan masa sidangnya. Dengan adanya 34 Komisi tersebut diharapkan para anggota bisa lebih focus.
- Alternatif lainnya, DPR bisa saja tetap dengan 11 komisi, tetapi membentuk sub komisi sesuai dengan jumlah kementerian atau ruang lingkup kerja. Misalnya di Komisi II yang memiliki empat ruang lingkup kerja yaitu Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reformasi Agraria, dibentuk empat subkomisi yang masing-masing mengurus keempat bidang tersebut. Hal ini bertujuan agar kerja DPR lebih efektif karena setiap komisi bisa fokus dalam melaksanakan tugasnya baik dibidang legislasi, pengawasan dan anggaran disetiap bidang kerja komisi masingmasing.
Kontak Person: Erik Kurniawan; 081932930908
Usulan penambahan jumlah komisi dapat diunduh disini: