Belum adanya Regulasi Program Just Energy Transition Partnership , Upaya Transisi Energi Berkeadilan Berjalan Stagnan.

Jakarta, ipc.co.id – Upaya Indonesia dalam mencapai net zero emisi dan mendorong transisi energi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui skema kerjasama multilateral secara global yaitu Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP ) . Namun keberadaannya, struktur kelembagaan serta dana hibah yang diberikan oleh negara-negara yang tergabung dalam G7 melalui instrumen JETP belum memiliki payung hukum, sehingga tidak ada legalitas untuk memperkuat implementasi program tersebut. DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai peran penting dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi berkeadilan.

“Saat ini keberadaan dan struktur kelembagaan JETP masih lemah karena tidak adanya peraturan yang mengaturnya. Peran DPR sebagai lembaga legislatif sangat penting, tidak hanya berfungsi di bidang legislasi, anggaran dan pengawasan saja, melainkan pelaksanaan kebijakan transisi energi berkeadilan perlu diperkuat,” ujar Agung Budiono, (Peneliti IPC) dalam memaparkan hasil Policy Paper pada Multi Stakeholder Forum yang oleh Indonesia Parliamentary Center dengan tema “Memperkuat Pengawasan DPR terhadap Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia”, di Hotel Novotel, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis (14/9).

Pembahasan khusus terkait JETP di ranah parlemen masih minim, khususnya di Komisi VII DPR RI yang menuaungi pembahasan energi, riset dan inovasi, serta industri. Saat ini pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) menjadi agenda terdekat bukan regulasi untuk JETP.

“Obrolan terkait JETP secara masif memang pernah ada sekitar bulan Februari 2023, setelah Sekretariat JETP dibentuk. Tapi tidak lama kemudian, pembahasannya redup dan menghilang seperti ramai diawal saja namun tidak ada tindak lanjutnya kembali.” ungkap Bravitasari Nafthalia, Tenaga Ahli Fraksi Partai Demokrat.

Muhammad Sigit Cahyono, Tenaga Ahli Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, implementasi transisi energi yang bermula energi fosil dan peralihan ke energi terbarukan memiliki dampak terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan yang ada. Oleh karena itu, koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan sangat diperlukan sehingga dapat mendorong adanya regulasi JETP. Jika bisa regulasi tersebut disetujui menjadi Undang-Undang, tidak hanya di tingkat Peraturan Pemerintah saja.

Dampak sosial dari gambaran transisi energi yang berkeadilan masih sangat tertinggal, khususnya dalam hal ketenagakerjaan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Peta jalan ketenagakerjaan dalam implementasi JETP masih belum ada kejelasan. Terlihat dari tidak adanya keterlibatan langsung oleh para pekerja hingga serikat buruh. Hal ini diungkapkan oleh perwakilan partai buruh.

“Upaya Indonesia dalam mencapai Net Zerro Emition perlu kita dorong, namun jangan sampai lupa dampaknya untuk masyarakat seperti para pekerja, buruh,UMKM sekitar, bahkan penduduk setempat. Sebenarnya kami tidak mengetahui terkait JETP maupun dokumen-dokumennya,” ujar Mohammad Yahya, anggota Partai Buruh.

Pernyataan tersebut diperkuat dengan temuan survei opini publik terkait JETP dalam Policy Brief yang disusun oleh Agung Budiono, lebih dari 1.245 orang responden secara nasional, terdapat 76% masyarakat Indonesia tidak mengetahui keberadaan JETP. Hal ini menunjukkan gambaran bahwa JETP belum terlalu dipahami oleh masyarakat luas dan cenderung elitis dan teknokratis.

Dari berbagai kendala tersebut Agung mengungkapkan, pemerintah perlu menerapkan prinsip good governance yaitu adanya keterbukaan, transparansi, partisipasi serta inklusifitas seperti membentuk platform informasi kordinasi yang memungkinkan seluruh terkait JETP dapat diakses oleh lebih banyak pihak agar dapat memberikan masukan ke dalam proses penyusunan, perencanaan, implementasi. . . , pemantauan serta evaluasi JETP.

Share your thoughts