I. KAJIAN REPRESENTASI MASYARAKAT ADAT


Ada tiga daerah yang menjadi objek kajian. Pertama, masyarakat adat Gayo di Aceh. Di daerah ini, kami memfokuskan diri pada problem representasi yang disebabkan penataan dapil yang tidak memperhatikan kohesivitas masyarakat adat. Dampaknya, suku Gayo tidak memiliki kepastian representasi di tingkat DPR RI. IPC mencoba menawarkan tiga alternatif penataan dapil yang dapat mengakomodir prinsip-prinsip global dan prinsip-prinsip yang telah ada dalam UU Pemilu.


Kedua, suku Kajang. Di daerah ini, IPC meneliti tentang bagaimana mekanisme pemilu yang ramah pada masyarakat adat (mengakomodir nilai-nilai dan prinsip-prinsip). Selama ini, demokrasi liberal dengan system pemilu mekanis, yang berbasis pada satu orang, satu suara, satu nilai, potensial memecah belah kesatuan masyarakat adat dan merusak nilai-nilai yang berjalan dengan baik. Daripada menjadi “api dalam sekam”, sebaiknya ditawarkan kombinasi antara pemilu mekanis dan organis (berbasis komunitas). Konsep inilah yang ditawarkan IPC.


Ketiga, suku Samin. Di suku ini, IPC meneliti terjadinya disfungsi representasi pada para wakil yang memiliki otorisasi di sejumlah dapil yang didiami suku Samin. Terlepas dari perbedaan pendapat di internal suku Samin, tentang pembangunan pabrik semen. Namun aspirasi penolakan dari warga Samin, seharusnya didengar, didiskusikan, dan difasilitasi proses advokasi yang mereka lakukan sendiri. Partai-partai tidak bisa membedakan antara sikap partai dan fungsi partai. Sikap partai, boleh berseberangan dengan konstituen. Namun, fungsi partai: penyerapan aspirasi dan edukasi, seharusnya tetap berjalan.


Secara umum, penelitian ini berupaya menemukan sejumlah faktor yang mempengaruhi kualitas representasi:

  1. Faktor teknis kepemiluan (antara lain penyusunan dapil dan sistem pemilu)
  2. Faktor partai politik (antara lain perlunya pembedaan sikap dan fungsi partai)
  3. Faktor kapasitas pihak wakil dan terwakil (paradigm, pengetahuan, dan keterampilan)

II. PENYUSUNAN DAPIL BERBASIS KOHESIVITAS


Pembentukan daerah pemilihan (dapil) berbasis kohesivitas adat merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memperkuat representasi masyarakat adat. Prinsip kohesivitas sendiri merupakan prinsip global dalam pembentukan daerah pemilihan. Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa salah satu dari tujuh prinsip penyusunan dapil adalah kohesivitas (Pasal 185). Beberapa dapil, yang secara konsep ditata ulang oleh IPC, antara lain:

  1. Dapil DPR RI Untuk Provinsi Aceh Berbasis Kohesivitas Suku Gayo
  2. Dapil DPRD Kabupaten Luwu Utara Berbasis Kohesivitas Warga Perbukitan
  3. Dapil DPRD Kabupaten Enrekang Untuk Kesetaraan Keterwakilan Tiga Sub-Etnis
  4. Dapil DPRD Kabupaten Simalungun
  5. Dapil DPRD Kabupaten Lebak Untuk Penguatan Komunitas Kasepuhan

KESIMPULAN


  1. Pembentukan dapil berbasis kohesivitas adat, merupakan upaya untuk menghadirkan keterwakilan identitas dan keterwakilan kepentingan masyarakat adat di parlemen.
  2. Keterwakilan identitas lebih potensial didapatkan dengan satunya dapil masyarakat adat sebab semakin besarnya dapil, maka semakin besar pula kuantitas masyarakat adat. Kuantitas diperlukan sebagai konsekuensi demokrasi elektoral berbasis suara (one man, one vote, one value)
  3. Kesatuan dapil masyarakat adat, memungkinkan hadirnya keseragaman kebijakan yang mereka dapatkan dari wakil masyarakat adat, baik di eksekutif, maupun legislatif.
  4. Kesatuan dapil masyarakat adat juga memungkinkan terbangunnya meritokrasi perwakilan, yang melampaui perwakilan simbolik atau identitas. Masyarakat adat yang telah disatukan dalam sebuah dapil dan menjadi mayoritas, kemungkinan tidak lagi disibukkan dengan membangun representasi identitas. Hal ini karena siapapun yang menjadi wakil di dapil tersebut, merupakan wakil masyarakat adat yang telah menjadi mayoritas. Dalam kondisi demikian, maka kemungkinan masyarakat adat akan beralih melihat figur yang memiliki kapasitas untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Figur tersebut, bisa berasal dari internal maupun eksternal masyarakat adat.
  5. Adanya dapil yang berbasis kohesivitas adat perlu diikuti dengan langkah-langkah lainnya, antara lain: kesadaran masyarakat adat tentang persoalan bersama yang mereka perjuangkan, soliditas internal dalam mendukung kandidat mereka, pengetahuan tentang teknis kepemiluan, pengetahuan dan keterampilan tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara.
  6. Masyarakat adat perlu memiliki kesadaran dan pengetahuan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengajukan usulan tentang pendapilan yang mempertimbangkan prinsip kohesivitas. Hal ini dimungkinkan karena secara regulasi, ada jaminan terhadap partisipasi dalam penyusunan peraturan dan kebijakan. Selain itu, prinsip kohesivitas juga telah termaktub dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
  7. Perwakilan di parlemen penting bagi masyarakat adat karena: Pertama, sebagai hak politik (azas universalitas). Kedua, karakteristik yang khas dan mendapatkan pengakuan oleh negara. Ketiga, kepentingan masyarakat adat yang secara ril membutuhkan wakil di parlemen. Misalnya pembentukan perda adat hingga UU Masyarakat Adat serta sejumlah kasus kriminalisasi yang menimpa masyarakat adat. Selain itu, ada berbagai regulasi yang terkait dengan masyarakat adat. Keempat, anggota parlemen di luar masyarakat adat dinilai belum serius menghadirkan kepentingan masyarakat adat dalam setiap pembahasan regulasi, anggaran, dan pengawasan.

BUKU TERBITAN IPC TERKAIT REPRESENTASI


  1. Politik Representasi Masyarakat Adat (2017);
  2. Mengelola Partisipasi Komunitas (2017);
  3. Pendapilan Berbasis Kohesivitas (2017); dan
  4. Panduan Pilkada untuk Masyarakat Adat (2018).