RUMAH SAKIT MEMBUKA INFORMASI SAKIT PEJABAT PUBLIK. BOLEH?

Jakarta, ipc.or.id – Mau badan publik atau bukan badan publik, mau swasta atau pemerintah, mau dibiayai APBN atau tidak, Rumah Sakit tidak berhak mempublikasikan jenis sakit pejabat publik ke publik. Tugas rumah sakit adalah memeriksa dan mengobati pasien. Data-data atau informasi yang diperoleh selama proses pemeriksaan (diagnosa) dan pengobatan itu, diserahkan ke pasien atau pihak tertentu atas perintah Undang-Undang, seperti penyidik. Itu prinsip dasarnya.

Yang jadi persoalan ketika UU KIP dijadikan sebagai alasan untuk membuka informasi tentang pasien dengan mengacu pada pasal 18 ayat (2) huruf b: Tidak termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan huruf h, antara lain apabila: b. pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik. Di sinilah letak kesalahan menafsirkan UU KIP.

Dalam kasus Rumah Sakit, maka konteks kalimat pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik ini ditujukan bagi pejabat pada Rumah Sakit tersebut dan/atau calon pejabat pada Rumah Sakit tersebut pada saat proses seleksi (jika rumah sakit itu adalah Badan Publik, RSUP/RSUD). Pasal itu bukan memberikan kewenangan bagi Rumah Sakit untuk membuka informasi tentang pasiennya ke publik.

Pengecualian atas Kerahasiaan Pasien

Prinsip kerahasiaan pasien ini (baik pejabat publik atau bukan pejabat publik), memang dapat dikecualikan. Namun bukan mengacu pada UU KIP di atas, tetapi mengacu pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

PASAL 57 ISI
Ayat (1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
Ayat (2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:

a. perintah undang-undang;

b. perintah pengadilan;

c. izin yang bersangkutan;

d. kepentingan masyarakat; atau

e. kepentingan orang tersebut.

Untuk mengecualikan kerahasiaan pasien ini, maka harus diperjelas:
  1. Tujuan pengungkapan rahasia pasien dan dasar hukumnya.
  2. Kepada siapa informasi pasien ini dibuka. Apakah kepada publik atau kepada pihak-pihak tertentu yang berkepentingan saja. Misalnya kepada majelis Hakim dimana seorang dokter menjadi saksi. Dalam kondisi demikian, maka dokter dapat meminta agar persidangan berlangsung secara tertutup, atau menyampaikan Hak Undur Diri (tidak bersedia menjadi saksi). Hakim yang akan menentukan apakah permintaan Hak Undur Diri ini dapat diterima atau tidak.
  3. Siapa yang diperintahkan membuka informasi pasien. Apakah pasien bersangkutan, apakah pihak yang berwenang pada Badan Publik tempat pasien bekerja, apakah pihak Rumah Sakit, apakah pihak Rumah Sakit atas izin Badan Publik tempat pasien bekerja, atau pihak lain seperti Kepolisian.
  4. Batasan pengungkapan informasi pasien. Sejauhmana informasi tentang penyakit pasien tersebut diungkap. Hal ini tergantung pada tujuan pengungkapan.

Bagaimana Jika Rumah Sakit Ditanya Wartawan?

Jika pasien bersangkutan adalah pejabat publik, maka ada kemungkinan Pihak Rumah perlu memberikan tanggapan/pernyataan karena dua kondisi:

  1. Pada saat ditanya oleh wartawan. Dalam hal ini, pers menjalankan peran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 huruf d UU No. 40 Tahun 2009 tentang Pers: melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
  2. Pada saat tersebarnya informasi yang tidak benar tentang penyakit pasien dan/atau tentang Rumah Sakit dalam proses pelaksanaan diagnosa/pengobatan dan perlakuan terhadap pasien.

Ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan pihak Rumah Sakit, ketika ditanya oleh wartawan tentang penyakit pasien.

  1. Pihak Rumah Sakit meminta izin kepada pejabat publik bersangkutan untuk menyampaikan jenis penyakit yang bersangkutan jika ditanya wartawan. Jika pasien menyatakan tidak bersedia dipublikasikan, maka pihak Rumah Sakit wajib merahasiakan (kecuali atas perintah UU).
  2. Pihak Rumah Sakit dapat menyampaikan kepada wartawan bahwa mereka telah memberikan informasi tentang pasien kepada pihak keluarga, penyidik, atau yang lainnya. Untuk itu, pihak Rumah Sakit mempersilakan wartawan untuk menanyakan tentang penyakit pasien kepada pihak-pihak tersebut.
  3. Pihak Rumah Sakit sebaiknya tetap melayani wartawan. Melayani tidak berarti memberikan informasi tentang penyakit pasien. Pihak Rumah Sakit juga dapat memberikan informasi secara umum. Misalnya, berapa lama dirawat, kondisi pasien, upaya yang sedang dan telah dilakukan pihak Rumah Sakit, gejala umum penyakit pasien sepanjang tidak menyangkut aib seseorang. Misalnya, pasien mengalami pusing-pusing, badannya lemas, dan lain-lain. Penyakit yang menyangkut aib, misalnya: Sipilis, AIDS, dan lain-lain.

Sayangnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, belum memberikan panduan kepada dokter dan penyelenggara kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit, dll),  tentang bagaimana menghadapi pers (media). Mudah-mudahan suatu saat nanti ada penambahan mengenai hal tersebut. Semoga.

(Arbain, Manager Kampanye dan Edukasi Publik IPC)

Share your thoughts